Mesir Sebagai Penopang Romawi Bizantium

by

 

Wartapilihan.com – Mesir sejak dahulu kala dikenal sebagai negeri yang sangat subur. Kerajaan-kerajaan kuno yang pernah menguasainya terbukti telah mengekploitasi sumber daya alamnya untuk menopang kebutuhan masyarakatnya. Tidak terkecuali Kekaisaran Romawi Timur atau Bizantium. Ketika Islam harus berhadapan dengan Romawi Bizantium, para sahabat Rasulullah nampaknya memahami bahwa negeri Sungai Nil tersebut memang menjadi aset berharga Romawi. Tulisan ini bermaksud mendeskripsikan arti penting Mesir sebagai penopang pusat imperium Romawi.

Khalifah Umar bin Khaththab (memimpin 13-23 Hijriyah/H) merupakan seorang khalifah yang visioner. Beliau didukung panglima-panglima yang jenius, sebut saja dari mulai Saad bin Abi Waqqash, Khalid bin Walid, Yazid dan Muawiyah bin Abu Sufyan, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, Mutsanna hingga Amr bin Ash radhiyallahu’anhum. Panglima yang terakhir inilah yang menjadi tokoh kunci pembebas (al-fath) negeri Mesir. Dikisahkan waktu Amr bin Ash hendak ke Mesir yang saat itu di bawah kekuasaan Muqauqis, Amr sempat meminta izin kepada Khalifah Umar untuk membebaskan negeri Koptik itu. Amr bin Ash memandang bahwa Mesir adalah negeri yang kaya dan subur. Secara geopolitik dan geografis, negeri Mesir juga sangat penting. Sudah seharusnya keberadaan Mesir menjadi faktor penguat Romawi selama berabad-abad. Demikian juga Kekhalifahan Islam kelak, Amr bin Ash menilai bergabungnya Mesir ke dalam Kekhalifahan berarti memperkuat kedudukan Islam di seluruh Syam. Hal ini berarti juga memperlemah kekuatan Romawi.

Futuhat Mesir menurut Ibnu Ishaq dan Al-Waqidi terjadi bulan Rabi’ul Awwal 16 H, demikian pula yang disebutkan dalamTarikh Ath-Thabari 4: 104 dan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah Masa Khulafa Ar-Rasyidin bab Penaklukan Mesir. Tentunya seorang Amr bin Ash pun harus meminta terlebih dahulu atas rencananya ini kepada Khalifah Umar. Umar pun sadar betul kalau Mesir merupakan salah satu penopang Romawi Bizantium, salah satunya dalam bidang ekonomi dan ketahanan pangan.

Wilayah-wilayah di Timur Mediterania termasuk Mesir di bawah imperium Romawi Bizantium, benar-benar merepresentasikan lapisan budaya hellenistiknya, padahal asal maupun bentuk budaya Mesir sebenarnya memiliki perbedaan besar dengan Byzantium sendiri.  Memasuki abad ketujuh, ketika unsur utama budaya imperium romawi (hellenis) akhirnya punya pengaruh lebih kecil daripada budaya-budaya lokal di Anatolia, Thrace serta di Mesir, beragam budaya lokal tersebut selanjutnya memainkan peranan yang lebih banyak ketimbang budaya hellenis. Selain itu, beragam situasi sosial-politik secara luas memang mewarnai internal Romawi. Kita harus akui bahwa politik dunia di masa-masa kekuasaan akhir Romawi di Syam dan Mesir telah berporos pada tiga wilayah, yakni Balkan, Asia Kecil dan Timur Tengah, hingga ke Eufrat dan Mesir. Wilayah-wilayah inilah yang menjadi pusat perhatian politik Romawi dari akhir abad keenam hingga memasuki abad ketujuh (J. F Haldon, Byzantium in the Seventh Century: The Transformation of a Culture, Cambridge: Cambdridge University Press, 2003, h. 10). 

Sebelum kehilangan wilayah Timurnya, Romawi secara keseluruhan kaya dengan hasil dari tanah yang subur, Romawi juga memiliki akses dan pasokan gandum yang cukup dari tiga wilayah tersubur, Mesir, Trakiya (Thrace) dan pesisir Barat Laut dan bagian Barat Anatolia semuanya adalah daerah-daerah penghasil gandum. Hal itu disebutkan oleh Procopius dalam The Secret History, catatan sejarah Romawi yang ditulis oleh seorang sarjana Romawi di paruh pertama abad keenam Masehi (Procopius, The Secret History (Anecdota), chapter XXII Further Corruption in High Places dan XXVI How He Spoiled The Beuaty of the Cities and Plundered the Poor, Michigan University Press, 1961). Mesir memang telah lama menjadi pemasok utama bahan makanan Bizantium, terutama gandum.

Di sinilah, kehilangan Mesir menjadikan Romawi mesti menyesuaikan dengan krisis pangan dan akhirnya meningkatkan ketergantungan Konstantinopel kepada Trakiya dan sumber gandum Anatolia. Waktu Mesir menjadi bagian dari Kekhalifahan Islam, Romawi harus mencukupi kebutuhannya dengan produksi langsung dari pedalaman kota Konstantinopel sendiri.

Mesir, di samping Balkan dan Anatolia, memang menjadi parameter kekayaan ekonomi Romawi. Setelah hilangnya bumi Mesir dan pengerucutan wilayah-wilayah Romawi di Timur (Syam dan sekitar) dalam Studies In Byzantine Monetary Economy c. 300-1450, Cambridge: Cambridge University Press, 1985, h. 625, M. F. Hendy memperkirakan total pendapatan imperium Romawi di abad ketujuh hanya berkisar tiga perempatnya atau 75% dari pendapatan abad keenam. “Kerugian dramatis yang pasti mempengaruhi semua aspek administrasi negara secara fundamental,” jelas J. F. Haldon saat membicarakan perkiraan implikasi ekonomi tersebut (Haldon, ibid, h. 10). Dampak dari semakin mengecilnya wilayah Romawi telah mengurangi secara drastis baik pendapatan maupun sumber daya manusianya. Itulah mengapa pada masa selanjutnya Balkan dan Anatolia begitu dipertahankan oleh Romawi, meskipun di masa Bani Umayyah dan Abbasiyah kelak Anatolia pun sudah menjadi bagian dari Kekhalifahan Islam. Mesir merupakan aset berharga Romawi yang sama-sama telah disadari baik oleh Amr bin Ash dan Khalifah Umar. Negeri Mesir menjadi sendi-sendi ketahanan pangan dan kebutuhan yang mencukupi pusat Byzantium. Bahkan disebutkan ketiga wilayah tersebut (Mesir, Balkan dan Anatolia) merupakan area-area yang telah membentuk aparatus (alat) administrasi negara dari keseluruhan Romawi (Haldon, ibid). Jika kehilangan Mesir, berarti Romawi kehilangan area yang menjadi sumber jalannya roda pemerintahan.  

Secara sosiologis Romawi Bizantium memang didominasi masyarakat pedesaan dan wilayah-wilayah pertanian, pemukiman baik desa maupun kota, hampir tanpa terkecuali disuplai kebutuhannya dari wilayah pedalaman mereka, dari semua kebutuhan dasar, seperti makanan, minuman, pakaian, bahan-bahan pokok sehari-hari. Hanya di kota-kota besar, kekayaan individual masyarakat dan sumber dayanya ditunjang dari bahan-bahan impor, terutama barang mewah untuk para elit yang tinggal di kota. Bahkan dua kota terbesar yakni Roma dan Konstantinopel termasuk yang bergantung pada impor dari Mesir. Di sinilah arti pentingnya gagasan Amr bin Ash. Setelah kehilangan Mesir, kebutuhan Konstantinopel akan bahan makanan gandum tidak terkecukupi sebagaimana sedia kala (Haldon, ibid, h. 11) Ingat peristiwa kemarau panjang zaman Khalifah Umar (Ramadah)? Kala itu Amr bin Ash sebagai gubernur Mesir siap memasok kebutuhan masyarakat Hijaz dengan menyiapkan perbekalan yang besar dari Mesir yang subur (Ibnul Atsir, Al-Kamil fii Tarikh, 2: 563 dan Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah Masa Khulafa Ar-Rasyidinbab Penaklukan Mesir) Semua karena pandangan yang visioner dan jeli dari seorang Amr dalam memahami kekuatan lawan. Dari sini saja jelas, mengapa hampir tidak ada perlawanan dari Romawi ketika Islam berhasil menguasai negeri Mesir. Jawabannya mungkin bisa karena banyak faktor, tetapi justru kuncinya ada dalam arti penting Mesir. Wallahu’alam. I

Penulis : Ilham Martasyabana, pegiat sejarah Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *