MENJAGA DEBIT AIR DAN MENCEGAH BENCANA

by
Tuwel, 7 Januari 2019. Foto: Tuk Mudal, sumber mata air desa Cempaka Bumijawa, selokasi dengan kebun bambu yang kini jadi Pasar Slumpring, destinasi wisata baru kebanggan Tegal.

Dulu aku sama sekali tak membayangkan krisis debit air di desaku, Tuwel. Pasalnya, air di kaki Gunung Slamet ini melimpah ruah, warga mengambil air dengan selang-selang yang berhulu di mata air desa. Kolam-kolam warga berukuran besar-besar dengan ruahan air jernih menyegarkan. Kini mata air itu sudah mati, tak lagi menyumber.

Wartapilihan.com, Tegal— Kebutuhan air warga kini dimodernisasi dengan adanya pelayanan air PDAM, dengan kualitas yang –sayangnya- tidak sejernih dahulu, dan debit air tanah yang –kabarnya- sering kritis. Tak semelimpah dahulu. Aku sadar bahwa desa sesubur Tuwel pun bisa jadi kekeringan, dan sungai-sungai kaki gunung pun sangat mungkin mendangkal. Seperti ramalan Jayabaya; kali ilang kedhunge.

SEBAB-AKIBAT-SOLUSI

Ada banyak penyebab krisis debit air. Di antaranya penggundulan lahan yang berakibat hilangnya pengikat air tanah, yakni akar-akar pepohonan. Juga berkurangnya area-area resapan air berupa tanah terbuka, sebab ditutup rapat dengan semen atau rabat beton tanpa pori-pori.

Ini yang kulihat di kampungku, semua pemukiman warga sudah rata dengan semen tanpa ruang khusus untuk resapan air, terutama halaman-halamannya. Tentu saja hal ini sangat mengurangi tingkat peresapan air hujan ke dalam tanah. Sehingga limpahan air yang turun di musim penghujan hanya akan ‘terbuang’ ke sungai dan kembali ke laut, tanpa penyerapan berarti yang bisa jadi cadangan ketika kemarau.

Apa yang bisa terjadi sebab krisis debit air? Efek ‘paling ringan’ ya susah air alias kekeringan. Namun mengeringnya mata air bisa jadi semacam penanda bagi masalah ekologis lain. Seperti bencana-bencana alam yang berkaitan dengan air (hidrometeorologi).

Saat curah hujan tinggi, di dataran rendah bisa terjadi banjir sebab volume air sungai meluap sedangkan area resapan berkurang. Belum lagi longsor di daerah-daerah dengan kemiringan curam. Saat musim kemarau, bisa terjadi suhu panas, kekeringan, hingga kebakaran hutan. Tahun 2019 ini diprediksi akan ada banyak bencana hidrometeorologi menyusul longsor di Cisolok Sukabumi kemarin.

Lalu bagaimana cara menjaga debit air? Banyak yang bisa kita lakukan untuk menjaga debit air dan berikhtiar mencegah bencana hidrometeorologi. Aku sepakat dengan anggapan bahwa bencana berkaitan erat dengan dosa, dalam hal ini ialah dosa sosio-ekologis. Mengabaikan limpahan air yang merupakan berkah dari Tuhan, merusak segala perangkat tata kelola alamiah air, adalah dosa-dosa ekologis yang –aku yakin- bakal ada persidangannya di Hari Pembalasan. Tiga upaya bisa menjadi solusi untuk menjaga debit air, yakni pembuatan sumur resapan di setiap keluarga, pembangunan embung di setiap desa, dan reboisasi di setiap sumber air.

SUMUR RESAPAN KELUARGA

Solusi pertama adalah pembuatan sumur resapan. Di halaman bersemen rumah Pak Ahmad Bahrudin (Pak Din, kepala Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah, Kalibening Salatiga) kulihat ada lubang-lubang kecil. Ternyata di bawah rongga-rongga itu ada sumur resapan dengan kapasitas 24 meter kubik. Pak Din sengaja menggali halaman rumahnya untuk membuat sumur resapan, lalu menutupnya dengan beton cor berlubang. Posisi halaman rumahnya lebih rendah dibanding area pekarangan tetangga-tetangganya. Yakni area seluas 3000 meter persegi meliputi 10 rumah. Nah, semua air hujan yang tercurah di area itu habis terserap ke sumur tersebut.

Setiap tahun, dengan asumsi curah hujan 3000 milimeter permusim, sumur resapan depan rumah Pak Din mampu memanen air hujan sebanyak 9 juta liter. Artinya, sumur resapan sederhana itu menjadi bank bagi 9 juta liter air di dalam bumi, tepatnya di area lingkungan keluarga Pak Din dan sekitarnya. Tak terasa, Pak Din –melalui sumur resapannya- sudah bersedekah dua hal; (1) Menyuplai air tanah yang akan memenuhi sumber-sumber mata air sekitarnya, dan (2) Mengurangi resiko bencana banjir.

Tak sampai di situ. Selain menyerap air hujan, sumur resapan juga menjadi produsen humus. Setelah dua kali musim hujan, Pak Din memanen humus dari sumur resapannya dengan ketebalan hingga 1,5 meter penuh dengan cacing. Tentu saja humus ini sangat bagus diterapkan untuk kesuburan tanaman. Bersama kawan-kawannya di Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT), Pak Din mencanangkan gerakan mengembalikan air hujan ke bumi dengan membuat sumur-sumur resapan. Yakni dengan membangun 800 sumur resapan di Kaliangkrik dan Ngablak, Magelang.

Keberadaan sumur resapan ini mutlak diperlukan di area tangkapan air hujan, perkebunan, pemukiman, dan tentu saja di lingkungan perkantoran maupun instansi-instansi pendidikan. Membuat sumur resapan tidaklah mahal dan tak harus sebesar yang dibuat Pak Din. Apalagi untuk area rumahan kecil yang tak lebih dari 100 meter persegi. Cukuplah dengan sumur/lubang resapan berkapasitas 2 meter kubik (2x1x1 m atau 1x1x2 m) sudah sangat mumpuni.

EMBUNG DESA

Solusi kedua adalah pembangunan embung, waduk, sendang. Sebagai cekungan besar di permukaan tanah, tentu embung jadi perangkat efektif pengelolaan air untuk berbagai keperluan manusia, sekaligus upaya pencegah bencana alam. Disamping sebagai cadangan air di musim kemarau, mengendalikan banjir dan longsor di musim penghujan, embung juga bisa berfungsi sebagai alat produksi (kolam ikan) dan destinasi wisata. Banyak embung yang pengelolaannya kemudian dibiayai oleh wisatawan.

Misalnya yang dilakukan pemerintah desa Ponggok, Klaten. Mereka menginisiasi pengelolaan sumberdaya desanya berupa umbul atau sendang. Saat itu belum ada kucuran dana desa. Bermodalkan kurang dari satu milyar, kini Umbul Ponggok sudah menghasilkan sekitar 15 milyar pertahun. Pemasukan utamanya jelas dari wisatawan.

Tentu penghasilan besar Umbul Ponggok itu ‘hanya’ efek plus dari fungsi utama embung sebagai perangkat konservasi air. Pada musim kemarau tahun lalu, embung di desa Doho Wonogiri sudah punya andil menanggulangi kekeringan, hutan tetap tumbuh subur, dan mata air tetap memancar deras. Di musim hujan, Embung Doho berkontribusi mengendalikan banjir dan tanah longsor. Di embung seluas 1,5 hektar ini juga diproyeksikan untuk budidaya ikan, destinasi wisata, serta sarana edukasi masyarakat sekitar.

Januari 2017, Presiden Joko Widodo menghimbau desa-desa seluruh Indonesia agar memanfaatkan kenaikan dana desa sebesar 20 triliun untuk pembangunan embung. Harapannya, akan ada 30.000 unit embung terbangun. Sampai saat ini baru terbangun sekitar 2000-an unit.

REBOISASI SUMBER AIR

Solusi ketiga yang tak kalah vital adalah reboisasi alias penghijauan. Yakni menanam kembali pepohonan sebagai pengikat air tanah. Terutama di area-area sumber air seperti sekitaran mata air serta bantaran sungai. Tentu saja prioritas pepohonan yang ditanam adalah jenis-jenis pohon yang terkenal kuat mengikat air tanah. Salah satunya adalah bambu. Hal ini bisa dilihat hasilnya dari kerja keras Haji Chaerudin (Bang Idin, Kelompok Tani Sangga Buana) di sepanjang sungai Pesanggrahan, Jakarta Selatan.

Bantaran sungai Pesanggrahan awalnya kumuh, kotor, tandus, dan difungsikan jadi pembuangan sampah oleh warga perumahan di sekitar sungai. Bang Idin beserta warga mengusahakan bibit pohon-pohon yang cocok ditanam di bantaran sungai, dan menanamnya secara berkelanjutan hingga sekarang.

Sebagian besar pohon pengikat air tanah itu adalah bambu. Bang Idin paham betul bahwa bambu juga bermanfaat untuk menanggulangi pencemaran. Bambu bisa menjadi filter untuk memroses air yang tercemar menjadi layak dikonsumsi. Pori-pori di kedua sisi daun bambu juga bermanfaat menyerap sisa polutan dari proses pembakaran sampah.

Kukira dengan adanya dana desa, pembuatan sumur-sumur resapan di setiap halaman rumah warga, pembangunan embung setiap desa, dan penghijauan sumber-sumber air bisa diwujudkan dengan mudah. Tinggal bagaimana keniatan pemerintah desa dan penggerak masyarakat untuk bersama-sama ikhtiar mewujudkannya.

Diawali riset hidrogeologi mendalam tentang sumber-sumber mata air, naik-turun debit air, hingga pemetaan wilayah. Kemudian musyawarah desa tentang apa yang akan digarap, penganggaran proyek, dan eksekusi langkah. Tentu saja semua itu musti dilandasi kesadaran terhadap kelestarian lingkungan, khususnya limpahan air sebagai berkah dari Tuhan.

Zia Ul Haq ( @ziatuwel)

Link asli: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10157614757179564&id=751574563

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *