Bagaimana sunnah Rasulullah SAW ketika terjadi gerhana bulan/matahari (khusuf dan kusuf)?
Wartapilihan.com, Jakarta –-Gerhana Bulan adalah peristiwa ketika terhalangnya cahaya Matahari oleh Bumi sehingga tidak semuanya sampai ke Bulan. Peristiwa yang merupakan salah satu akibat dinamisnya pergerakan posisi Matahari, Bumi dan bulan ini hanya terjadi pada saat fase purnama dan dapat diprediksi sebelumnya. Adapun Gerhana Matahari adalah peristiwa terhalangnya Cahaya Matahari oleh Bulan sehingga tidak semuanya sampai ke Bumi dan selalu terjadi pada saat fase Bulan baru.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) merilis, pada tahun 2018 ini diprediksi terjadi lima kali gerhana, yaitu, Pertama, Gerhana Bulan Total (GBT) 31 Januari 2018 yang dapat diamati dari Indonesia. Kedua, Gerhana Matahari Sebagian (GMS) 15 Februari 2018 yang tidak dapat diamati dari Indonesia. Ketiga, Gerhana Matahari Sebagian (GMS) 13 Juli 2018 yang tidak dapat diamati dari Indonesia. Keempat, Gerhana Bulan Total (GBT) 28 Juli 2018 yang dapat diamati dari Indonesia, dan kelima, Gerhana Matahari Sebagian (GMS) 11 Agustus 2018 yang tidak dapat diamati dari Indonesia.
“Gerhana bulan total 31 Januari 2018 ini merupakan anggota ke-49 dari 73 anggota pada seri Saros 124. Gerhana bulan sebelumnya yang berasosiasi dengan gerhana ini adalah Gerhana Bulan total 21 Januari 2000,” papar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati di Jakarta, Senin (29/1).
Adapun gerhana bulan yang akan datang, lanjut Dwikorita, berasosiasi dengan gerhana bulan ini adalah Gerhana Bulan total 11 Februari 2036. Semua gerhana Bulan dalam seri Saros 124 terjadi saat Bulan bergerak ke arah utara Ekliptika Bumi.
“Terkait fenomena supermoon yang akan terjadi pada tanggal 31 Januari 2018, kami menghimbau masyarakat untuk mewaspadai tinggi pasang maksimum,” sambungnya.
Ia menjelaskan, pasang maksimum dapat mencapai 100 – 140 cm dan surut minimum – (100 – 110 cm) pada tanggal 30 Januari – 01 Februari 2018 di seluruh wilayah pesisir antara lain di pesisir Sumatera Utara, barat Sumatera Barat, selatan Sumatera Selatan, Lampung utara Jakarta, utara Jawa Tengah, utara Jawa Timur, dan Kalimantan Barat karena dapat berdampak pada terganggunya transportasi di pelabuhan dan pesisir, aktivitas petani garam dan perikanan darat serta kegiatan bongkar muat di pelabuhan.
“Kami menghimbau masyarakat untuk waspada kenaikan tinggi gelombang potensi rob dan dampaknya, serta tidak berlindung di bawah pohon jika hujan disertai petir. Para nelayan baiknya juga menunda penangkapan ikan secara tradisional, hingga gelombang tinggi mereda,” saran dia.
Anjuran Shalat Khusuf/Gerhana Bulan
Jika terjadi gerhana bulan/matahari (khusuf dan kusuf) maka disunnahkan :
Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan amal shalih. Sebagaimana sabda Nabi saw : Oleh karena itu, bila kaliannya melihat, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah. (Muttafaqun ‘alaihi). Keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat gerhana berjama’ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits: Maka Rasulullah saw keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangnya. (Muttafaqun ‘alaihi). Wanita keluar untuk ikut serta menunaikan shalat gerhana, sebagaimana dalam hadits Asma’ binti Abu Bakr ra berkata: Aku mendatangi ‘Aisyah istri Nabi saw tatkala terjadi gerhana matahari. Aku melihat orang-orang berdiri menunaikan shalat, demikian pula ‘Aisyah aku melihatnya shalat… (Muttafaqun ‘alaihi).
Shalat gerhana (matahari dan bulan) tanpa adzan dan iqamah, akan tetapi diseru untuk shalat pada malam dan siang dengan ucapan “ash-shalâtu jâmi’ah” (shalat akan didirikan), sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr ra, ia berkata:Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah saw diserukan “ash-shalatu jâmi’ah” (sesungguhnya shalat akan didirikan). (HR Bukhâri).Khutbah setelah shalat, sebagaimana disebutkan dalam hadits, ‘Aisyah ra berkata:
Sesungguhnya Nabi saw , tatkala selesai shalat, dia berdiri menghadap manusia lalu berkhutbah. (HR Bukhâri).
Sementara tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa shalat gerhana dua raka’at. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam hal tata cara pelaksanaannya. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama. Imam Mâlik, Syâfi’i, dan Ahmad, mereka berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at. Pada setiap raka’at ada dua kali berdiri, dua kali membaca, dua ruku’ dan dua sujud. Pendapat ini berdasarkan beberapa hadits, di antaranya hadits Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata:
Telah terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi saw, maka beliau shalat dan orang-orang ikut shalat bersamanya. Beliau berdiri sangat lama (seperti) membaca surat al-Baqarah, kemudian ruku’ dan sangat lama ruku’nya, lalu berdiri, lama sekali berdirinya namun berdiri yang kedua lebih pendek dari berdiri yang pertama, kemudian ruku’, lama sekali ruku’nya namun ruku’ kedua lebih pendek dari ruku’ pertama. (Muttafaqun alaih)
Hadits kedua, dari ‘Aisyah ra, ia berkata :
Bahwasanya Rasulullah saw pernah melaksanakan shalat ketika terjadi gerhana matahari. Rasulullah berdiri kemudian bertakbir kemudian membaca, panjang sekali bacaannya, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya, kemudian mengangkat kepalanya (i’tidal) seraya mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah,” kemudian berdiri sebagaimana berdiri yang pertama, kemudian membaca, panjang sekali bacaannya namun bacaan yang kedua lebih pendek dari bacaan yang pertama, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya, namun lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian sujud, panjang sekali sujudnya, kemudian dia berbuat pada raka’at yang kedua sebagimana yang dilakukan pada raka’at pertama, kemudian salam…(Muttafaqun ‘alaihi).
Pendapat kedua. Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at, dan setiap raka’at satu kali berdiri, satu ruku dan dua sujud seperti halnya shalat sunnah lainnya. Dalil yang disebutkan Abu Hanifah dan yang senada dengannya, ialah hadits Abu Bakrah, ia berkata:
Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah saw, maka Rasulullah keluar dari rumahnya seraya menyeret selendangnya sampai akhirnya tiba di masjid. Orang-orang pun ikut melakukan apa yang dilakukannya, kemudian Rasulullah saw shalat bersama mereka dua raka’at. (HR Bukhâri, an-Nasâ‘i).
Dari pendapat di atas, pendapat yang kuat ialah pendapat pertama (jumhur ulama’), berdasarkan beberapa hadits shahih yang menjelaskan hal itu. Karena pendapat Abu Hanifah Rahimahullah dan orang-orang yang sependapat dengannya, riwayat yang mereka sebutkan bersifat mutlak (umum), sedangkan riwayat yang dijadikan dalil oleh jumhur (mayoritas) ulama adalah muqayyad. Syaikh al-Albâni Rahimahullah berkata: “Ringkas kata, dalam masalah cara shalat gerhana yang benar ialah dua raka’at, yang pada setiap raka’at terdapat dua ruku’, sebagaimana diriwayatkan oleh sekelompok sahabat Nabi saw dengan riwayat yang shahih”.
Ringkasan tata cara shalat gerhana sebagai berikut:
Bertakbir, membaca doa iftitah, ta’awudz, membaca surat al-Fâtihah, dan membaca surat panjang. Ruku’ dengan ruku’ yang panjang. Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan : Sami’a-llohuliman hamidah.. Tidak sujud (setelah bangkit dari ruku’ pertama), akan tetapi membaca surat al-Fatihah dan surat yang lebih ringan dari yang pertama. Kemudian ruku’ lagi dengan ruku’ yang panjang, hanya saja lebih ringan dari ruku’ yang pertama.Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan: Sami’al-llohu liman hamidahKemudian sujud, lalu duduk antara dua sujud, lalu sujud lagi. Kemudian berdiri ke raka’at kedua, dan selanjutnya melakukan seperti yang dilakukan pada raka’at pertama.Setelah sujud kedua dirakaat yang kedua, maka tahiyat akhir mengucapkan salam, kemudian Khutbah atau mendengarkan khutbah
Demikian secara ringkas penjelasan tentang shalat gerhana, semoga bermanfaat. Allohu A’lam. Dari berbagai sumber.
Ahmad Zuhdi