Dengan langkah malu-malu, empat anak perempuan menyusuri jalan sepanjang Depok. Membawa nampan berisikan potongan pizza seharga lima ribuan, mereka bulatkan tekad menjualnya hingga habis.
Wartapilihan.com, Depok –Penulis belum pernah sekalipun menjadi santri yang tinggal jauh dari orangtua dan harus makan bersama dalam sebuah nampan besar. Begitulah umumnya gambaran santri di Indonesia.
Kemandirian, keberanian dan keuletan terasa betul pada anak-anak ini ketika penulis berkunjung ke Pondok Pesantren At-Taqwa, atau yang sering disebut Pesantren Shoul-Lin ini, yang terletak di bilangan Cilodong, Depok, Jawa Barat.
Pagi itu penulis disambut salam hangat tangan anak-anak yang terlihat sudah sangat terbiasa mencium punggung tangan gurunya ketika berpapasan. Pukul 7 pagi, mereka sedang bergegas membungkus potongan demi potongan pizza panggang bertoppingkan keju dan sosis itu. Mereka memasaknya sendiri. “Ikhwan (laki-laki) yang masak ini (pizza), Kak. Karena kami sibuk belajar kemarin,” kata seorang anak perempuan bernama Hanin, ketika Warta Pilihan menemuinya, Ahad, (29/1/2018).
Setelah selesai membungkus, bermodalkan nampan biru dan langkah kaki, mereka bergegas menuju ke daerah Car Free Day di Depok, di wilayah sekitar Grand Depok City. Nama mereka Asiah, Mutia, Sarah dan Hanin. Keempat anak ini sama-sama kelas yang setara dengan kelas 1 SMA, atau disebut PRISTAC (Pesantren for The Study of Islamic Thought and Civilization) untuk setingkat SMA.
Mutia yang paling gesit geraknya adalah anak jurusan entrepreneur di pesantren, sedangkan Asiah, Mutia dan Sarah mendalami jurusan Pemikiran Islam. Mereka bersama-sama menyelesaikan apa yang telah dipilihnya: berjualan Pizza di Car Free Day Depok secara sukarela. Tanpa imbalan, tanpa bagi hasil walau sedikit. Begitu juga anak-anak yang Ikhwan (laki-laki) mereka dengan semangat menggoes sepeda, berpencar jualan pizza. Ada 60 pizza yang mereka jual hari itu. Sejak sore hingga pukul 2 pagi, merekalah yang sangat berjasa mengadon dan memasak pizza itu.
Pendanaan awal dimodali oleh gurunya Bu Megawati, dan dibimbing oleh Kak Syamil yang merupakan lulusan IPB Ekonomi Syariah, untuk kemudian mereka kelola sendiri pengeluaran dan pemasukannya. Di sekolah, mereka diajarkan mulai dari memproduksi makanan, hingga kini praktek menjualnya kepada khalayak.
Dari pesantren, mereka berjalan kaki menuju tempat sejauh 3,7 kilometer. Penulis yang turut membersamai mereka jadi kewalahan oleh pasal belum sarapan dan terbiasa berkendara dengan motor, bukan dengan kaki. Perjalanan memakan waktu sekitar 35 menit untuk jalan kaki.
Ketika kaki saya mulai pegal, tak ada sedikitpun raut wajah lelah dari mereka; mereka justru senang dan malah lari-larian. Saya tertinggal jauh di belakang. Untungnya, Hanin menemani saya yang jalan paling belakang ini. Ketika saya tanya apa rahasianya, ternyata mereka memang setiap dua Minggu sekali lari pagi dari pesantren ke ujung jalan komplek yang jaraknya sekitar 4 km lebih, untuk kemudian kembali lagi ke Pesantren.
Akhirnya tiba juga di tempat yang sangat ramai orang, dan tentunya gerobak-gerobak jualan. Mulai dari sepatu, celana levis, baju daster, mukena, hingga makanan berjejer sangat banyak memenuhi jalanan. Melihat keramaian itu, mereka jadi makin bersemangat untuk berjualan, melawan rasa malu dan kikuk mereka sendiri.
“Pizza Santri! Pizza Santri! Ayo, Kak, dibeli… Cuma 5.000 rupiah aja, enak dan murah. Ayo jangan sampai kehabisan, Bu, Pak,” kata mereka.
Bahkan, penulis tak sangka mereka sangat kreatif. Tanpa malu-malu mereka menyanyikan yel-yel ‘Pizza Santri’ dengan menggunakan nada ‘Di Sini Senang Di Sana Senang’. Otomatis orang yang lewat pun tercuri perhatiannya manakala keempat anak perempuan lugu ini terus bernyanyi sambil jualan.
Meski hujan rintik-rintik, mereka tak kehabisan akal untuk terus berjualan. Jam setengah 10 mereka sudah kembali lagi ke pesantren. Mereka sangat senang dan lega karena pizza telah habis, artinya tanggungjawab sudah selesai hari itu.
“Tidak ada anak yang bodoh di dunia ini. Mereka hanya unik saja, buktinya ada yang tidak begitu pandai di Pemikiran Islam, tapi ketika berjualan langsung habis jualannya dan semangat luar biasa. Mereka bisa melakukan apa yang mereka sukai,” kata Bu Mega, salah satu pengurus yang siaga 24 jam mengurus para santri.
Bu Mega mengatakan, tadinya di Pesantren ini hanya ada satu jurusan, yakni Pemikiran Islam. Namun, melihat banyak anak-anak yang ternyata memiliki bakat lain, maka ada satu jurusan lagi yang dibuka, yaitu jurusan entrepreneur atau bisnis.
“Ya, ke depannya akan ada jurusan lain mungkin, kami mengikuti bagaimana bakat dan minat anak-anak,” lanjut dia.
Di pesantren ini, anak-anak tidak dipaksa belajar banyak atau jadwal yang padat belajar seperti pesantren pada umumnya. “Kebanyakan santai belajarnya, bahkan seringkali terlalu santai,” ujar Bu Mega diselingi tawa.
“Yang penting dalam pendidikan, anak merasa suka dan nyaman belajar di sini, sesuai kemampuan dia,” pungkasnya.
Dari hari ini, penulis jadi belajar satu hal yang sangat penting di dalam pendidikan, yakni tidak boleh memaksa anak tentang pelajaran yang tidak dia sukai. Biarkan anak mengeksplorasi dan mengekspresikan apa yang disukainya, karena dengan demikian jiwa anak akan lebih hidup, dan anak akan terus gemilang pada bidang yang ia mampu, dan sukainya. Pemaksaan tak ada guna, selain menghasilkan manusia-manusia yang jiwanya mati karena tak mengenal dirinya.
Teringat sebuah perkataan dari Albert Einstein, “Janganlah kamu menyuruh ikan memanjat pohon, sampai kapanpun takkan berhasil.” Yang kira-kira bermakna, jangan sampai kita menempatkan anak bukan pada bidangnya, dan hanya sesuai keinginan guru atau orangtuanya, karena dengan demikian anak tidak menyukainya dan tidak membuat yang terbaik.
Eveline Ramadhini