Pembangunan infrastruktur yang masif di seluruh wilayah Indonesia dua tahun terakhir, membawa dampak bagi keuangan negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, peningkatan utang pemerintah pusat ini memang mengikuti besaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017.
Di mana penerimaan negara tahun lalu tercatat Rp 1.750 triliun atau lebih kecil dari belanja pemerintah yang sebesar Rp 2.020 triliun. Salah satu pengeluaran terbesar, adalah untuk pembiayaan infrastruktur.
Setidaknya, pemerintah kini mulai menumpuk utang lebih cepat. Setiap tahun pemerintah diperkirakan mencetak hutang rata-rata 2.5% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selama 3 tahun terakhir.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mengumumkan utang pemerintah pusat sampai dengan April 2017 mencapai Rp 3.667,41 triliun.
Jumlah tersebut naik Rp 16,37 triliun dibanding posisi bulan sebelumnya sebesar Rp 3.651,04 triliun. Utang tersebut berasal dari pinjaman senilai Rp 734,71 triliun dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 2.932 triliun hingga akhir April 2017.
Dengan posisi ini, rasio utang Indonesia cukup tinggi bila disandingkan dengan Gross Domestic Product (GDP). Rasio utang Indonesia saat ini mencapai 27 persen dari GDP, atau sekitar Rp 13.000 triliun. Dengan rasio ini, setiap penduduk Indonesia memiliki tanggungan utang negara sebesar US$ 997 atau Rp 13 juta per kepala.
Meski begitu, pemerintah belum khawatir dengan posisi ini. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menilai kondisi utang Indonesia belum pada taraf yang membahayakan.
Alasannya, hingga saat ini, utang Indonesia tidak termasuk ke dalam kategori tinggi bila dibandingkan negara-negara lain. Rasio utang dalam negeri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih di bawah 30 persen. Sementara, sejumlah negara justru memiliki rasio utang terhadap PDB mencapai 100 persen hingga 200 persen.
Sehingga penduduk negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat beban utangnya jauh lebih tinggi. DI Amerika Serikat, setiap kepala menanggung utang US$ 62.000. Sedangkan di Jepang sebesar US$ 85.000.
Selain itu, kondisi utang Indonesia masih bisa terbantu dengan banyaknya jumlah penduduk usia produktif, yang menjadi aset negara. Sementara di negara maju, rata-rata penduduknya sudah masuk usia kurang atau tidak produktif atau di atas 60 tahun.
Ini membuat harapan melunasi utang Indonesia lebih tinggi ke depannya seiring digenjotnya ekonomi oleh pemerintah serta penerimaan pajak. Atas pertimbangan itu, Indonesia dinilai bukanlah negara yang bermasalah dalam urusan utang.
Namun, menumpuk hutang, bagaimanapun juga bukan solusi yang baik. Apalagi Indonesia tidak memiliki cadangan devisa yang besar sebagai pengaman untuk pembayar hutang, khususnya yang jangka pendek. Saat ini Indonesia memiliki cadangan devisa sekitar US$ 123 miliar per April lalu.
Selain itu, aset negara yang tercatat saat ini, juga relatif kecil, hanya sekitar Rp 4000 triliun. Begitu pun dengan aset perusahaan-perusahaan milik negara yang mencapai Rp 3.800 triliun, di sisi lain juga masih memiliki utang hampir Rp 2.000 triliun.
Karenanya, sebelum utang ini membengkak dan membebani lebih dalam, pemerintah harus mencari alternatif pendanaan yang lebih aman, sebagai pengganti utang.
Mengoptimalkan penerimaan pajak, bisa menjadi salah satu jalan keluar agar pembiayaan pembangunan tidak membebani APBN. Selain itu, pembangunan infrastruktur juga harus melibatkan swasta juga Badan Usaha Milik Negara dengan catatan pembiayaan dilakukan secara mandiri, bukan dari penyertaan modal negara.
Pemerintah juga perlu lebih disiplin dalam melunasi utang luar negeri yang jatuh tempo, dan tidak memperpanjangnya. Utang sektor swasta di luar yang berorientasi ekspor juga harus diperketat dan dikendalikan.
Karenanya, pengelolaan utang luar negeri ini haru lebih efektif dan cermat. Utang luar negeri harus diarahkan untuk pembiayaan yang berorientasi pada sektor produksi yang berdampak luas bagi pembangunan seperti pemberian insentif bagi UMKM.
Yang perlu diperhatikan, pemerintah juga perlu segera memberi kemudahan bagi sektor industri dan manufaktur yang berorientasi ekspor. Karena penerimaan ekspor Indonesia selama ini cenderung semakin berat.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu fokus membenahi dan mencari jalan keluar agar ekspor Indonesia memiliki nilai tambah yang lebih besar. Ini mengingat sebagian besar ekspor Indonesia masih bergantung pada komoditas dasar yang amat terkait dengan kondisi ekonomi global.
Rizky Serati