Sebuah foto Muhammad Amien Rais dengan kepala menunduk, sedang berdoa ketika menanti kelahiran cucunya, sejatinya adalah pemandangan yang amat wajar. Menjadi tidak wajar ketika foto itu dikomentari oleh Goenawan Soesatyo Mohamad(akrab dipanggil GM) dalam akun twitter-nya, “Tegaklah, Mas Amien Rais. Anda terima Rp 600 juta tapi belum tentu bersalah. Kita tak boleh cepat mencerca, bukan?” tulis @gm_gm, Ahad 4 Juni 2017. Sontak, komentar GM itu jadi viral dan menggegerkan jagat medsos.
GM, dalam komentarnya itu, menulis, “Kita tak boleh cepat mencerca, bukan?”. Tapi kalimat itu sendiri, telah mencerca, bahkan menista Amien Rais. GM maunya menulis dengan satir. Tapi, nampaknya, kepiawaiannya dalam olah-kata sudah tumpul. Bagaimana sebuah foto dengan kepala tertunduk karena berdoa, disuruh tegak untuk menghadapi tudingan menerima aliran dana dari mantan Menkes Siti Fadilah Supari, sebagaimana tudingan JPU KPK. Yang benar adalah Amien Rais menerima dana dari lembaga filantropi milik pengusaha Sutrisno Bachir. Ketika aliran dana itu terjadi, antara 15 Januari sampai 13 Agustus 2007, baik Amien maupun Sutrisno sama-sama bukan pejabat negara. Dan uang dari Sutrisno itu tidak ada hubungannya dengan Siti Fadilah.
Muhammad Amien Rais (lahir di Surakarta, 26 April 1944) adalah seorang akademisi dan cendekiawan sejati. Ia pernah menjabat sebagai Ketua MPR periode 1999 – 2004. Menjelang reformasi, Amien Rais adalah seorang muadzin yang nyaring suaranya. Peran Amien dalam reformasi yang menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998, tidaklah kecil. Faktor Amien Rais sangat dominan atas jatuhnya rezim Orde Baru yang berkuasa selama 30 tahun itu.
Konsistensi Amien Rais sebagai seorang cendekiawan tak pernah lapuk oleh waktu. Sebagai tokoh reformasi, ia terus menerus mengawalnya. Juga, ketika ia melihat ada “kehendak” mengkriminalkan para ulama, Amien Rais tampil di garis depan, di usianya yang 73 tahun itu. Pernyataannya, juga tulisannya, jelas dan tangkas, dalam mengkritisi rezim yang sedang berkuasa. Ketika Amien Rais jadi pejabat negara, sebagai ketua MPR misalnya, tak ada celah untuk menembaknya.
Tapi, Amien Rais, yang suara “adzan”-nya begitu nyaring, harus dibungkam. Ia lalu diubek-ubek. Ketika menjadi dosen di UGM dan ketika menjadi Ketua MPR, ia bersih. Tak ada celah untuk “menembak”-nya. Lalu, dicari-carilah, dikais-kais, ketemulah aliran dana ke rekeningnya yang berasal dari lembaga filantropi milik Sutrisno Bachir. Dan Sutrisno Bachir juga sudah mengklairifikasi, bahwa dana tersebut tak ada hubungannya dengan Siti Fadilah. Yang mendapat sumbangan dari yayasannya Sutrisno Bachir itu bukan hanya Amien Rais, tapi banyak pihak, baik perorangan maupun kelembagaan.
Jika akhirnya Amien Rais “ditembak” dengan cara mengkait-kaitkan bahwa aliran dana itu berasal dari Siti Fadilah, sungguh sebuah tuduhan yang amat keji. Tendensi character assasination terhadap tokoh reformasi ini, sebagaimana diutarakan oleh mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, sangat terasa dan kentara.
Jika mereka yang menyuarakan kebenaran, seperti para ustadz, cendekiawan, dan ulama mulai dicari-cari kesalahannya, maka bangsa ini sejatinya berada di persimpangan jalan.
Bagaimana dengan Goenawan Soesatyo Mohamad (lahir di Batang, 29 Juli 1941) adalah seorang sastrawan dan pendiri Majalah Tempo. Pikiran-pikiran GM –juga perilakunya– sangatlah liberal. GM lebih tua 3 tahun dari Amien Rais. Karya-karyanya lebih banyak dalam bentuk tulisan. GM lebih fasih menulis daripada berpidato atau berceramah.
Tidak seperti Amien Rais yang selain piawai menulis, ia juga seorang orator ulung dan jago debat terbuka. Sebaliknya, GM, hanya piawai menulis, dengan sedikit berpidato. GM bukanlah seorang yang ahli debat secara terbuka. Ia lebih cocok dalam suasana “ngobrol” ala cangkrukan di pos-pos ronda.
Di usia yang sudah mendekati 76 tahun, banyak orang berharap agar GM menjadi bijak dan tidak menyebarkan kebencian, apalagi menista lewat postingan foto dan mengomentarinya secara salah. Jika pakai patokan usia Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang 63 tahun, maka usia 76 tahun adalah sebuah anugerah yang tak terhingga. Karena itu merupakan bonus yang mestinya diisi dengan amalan-amalan yang baik dan bermanfaat, sebagaimana disabdakan oleh Baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ رضي الله عنه أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ خَيْرُ النَّاسِ قَالَ «مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ» رواه الترمذى
Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa ada seorang Arab Badui bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, siapakah sebaik-baik manusia?” Beliau menjawab, “Siapa yang paling panjang umurnya dan baik amalannya.” Hadits riwayat Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahihut Targhib wat Tarhib (no. 3363).
Semoga hadits tersebut bisa menjadi nasihat kita bersama, terutama bagi mereka yang sudah berusia diatas 60 tahun. Wallahu A’lam.
Herry M. Joesoef