Biasanya, jika dalam mengerjakan sesuatu, anak memiliki kekurangan; terlebih dalam proses calistung (baca, tulis, hitung) di usia dininya. Ada kalanya memuji anak soal calistung ini dibutuhkan; tanpa satu kritik pun, meski anak melakukan kesalahan.
Wartapilihan.com, Jakarta —Hal tersebut disampaikan Pak Ading, pelatih di Childhood Optimizer Trainer. Ia menceritakan soal pengalaman anaknya yang sudah selesai mengerjakan soal dari ibunya; kemudian hendak ditunjukkan kepada ayahnya yang baru saja pulang kerja.
Sang anak merasa bangga karena dapat mengerjakan soal matematika itu dengan susah payah. Semua jawaban, setelah diperiksa oleh sang ayah, benar semua. Tetapi ada satu hal yang kurang, yaitu penulisan angka yang terbolak-balik.
Melihat hal tersebut, sang ayah tergelitik untuk mengkritik sang anak. “Tapi, kok angkanya masih banyak yang kebolak-balik kak…” Begitu ujar sang ayah memberi kritik halus.
Sang anak yang tadinya senang karena dipuji, jadi muram seketika. Barangkali ia merasa, seperti disalahkan atau tidak berguna.
“Tapi Nak, tahu enggak? Ini kan kalau hitung-hitungan begini baru belajarnya di SD. Nah, ini anak ayah baru TK B. Berarti udah layak SD nih… Apa SD aja langsung ya?” tutur sang ayah menghibur anak, berupaya menaikkan rasa percaya dirinya.
Sang anak pun yang tadinya sedih menjadi ceria kembali, rasa sedihnya terobati.
Pak Ading yang menceritakan pengalaman pribadinya tersebut mengungkapkan, dari peristiwa ini ada hal-hal yang dapat dipelajari, yaitu ketika ada momentum untuk memuji anak karena ia bisa sesuatu, maka lakukanlah dan jangan ditunda.
“Fokus memperhatikan anak. Namun perlu diperhatikan, tidak perlu berlebihan dengan memuji anak kita anak pintar, anak soleh, tapi cukup landasi pujian itu dengan Alhamdulillah, lalu sebutkan apa yang ia sudah bisa lakukan itu. Kenapa tidak boleh memuji berlebihan? Agar ada ruang di otaknya untuk bertumbuh. Dia tidak cepat puas,” tutur Pak Ading, dalam Grup Optimasi Masa Kecil Anak, Sabtu, (21/7/2018).
Dia melanjutkan, sebagai orangtua perlu peka dalam membaca sinyal yang diberikan anak kepada kita. Ketika kasus sang anak di atas, dia memberikan gesture minta diberi feedback, dan harapannya hasil dari karyanya bisa mengejutkan dan minta diapresiasi.
“Maka, ketika saya apresiasi, dia senang, tapi ketika apresiasi langsung dihantam kritik, itu adalah cara yang kurang tepat untuk kasus malam itu. Saya menyadari hal itu,” imbuh dia.
Terkadang, kritikan atas sesuatu yang tak sempurna atau belum sempurna, tidak perlu kita sampaikan on the spot.
Ia mengaku baru kepikiran, kalaupun sang anak masih kebolak-balik angka yang ia tulis, maka pelurusan dari kekeliruan itu, tidak perlu saya sampaikan, tapi langsung kita praktikkan di main bersama berikutnya.
“Langsung masuk ke ACTION di lain waktu. Anggap kekurangsempurnaan itu adalah PR bagi orangtuanya, bagaimana caranya agar anak tidak kebolak-balik lagi menulis angka-angka itu,” tegasnya.
Mengkritik anak saat ia butuh pujian, adalah hal yang tidak tepat. Maka dari itu, ia menekankan, orangtua perlu iqra’ (membaca lebih dalam) tentang apa kebutuhan anak saat itu, saat moment itu datang.
“Adapun kekurangan-kekurangan yang ada, bisa kita sampaikan kritikan atau pelurusannya di moment lain. Ini berlaku untuk anak usia dini 0-7 tahun, agar rasa penasaran yang ia miliki, tinggi,”
Dalam mengkritik, tutur dia, ada seninya.
Mengkritik yang efektif, biasa diajarkan di pelatihan-pelatihan pengembangan diri. Anak kecil biasanya belum siap menerima pujian plus kritikan sekaligus.
“Kadang, kita orang dewasa, tergoda untuk melakukan pemaksaan standar pemikiran kepada anak kita, secara serta-merta di moment yang tidak tepat, karena kita ingin cepat. Ingin cepat anak kita pintar, pandai, hebat,” jelas Alumni Sosiologi UI ini.
Pak Ading menambahkan, boleh saja mengkritik, dan harus dilakukan jika anak kita salah. Apalagi untuk situasi yang penting dan genting atau sangat prinsipil.
“Namun, pada situasi santai, tenang, isunya ringan, agar anak kita tumbuh lebih optimal lagi, kita agaknya perlu memilah dan memilih kapan saat yang tepat untuk mengkritik, kapan memuji.
Semakin sensitif/ peka kita sebagai orangtua dalam merespon apa kebutuhan anak di moment tertentu, makin indah dan lekat relasi orangtua-anak,” tukasnya.
Jika anak sudah semakin lekat dengan orangtua, maka kepercayaan dirinya terbangun.
“Ia tak takut mencoba sesuatu yang baru. Ia berani menghabiskan jatah salahnya di saat masih belia. Ia belajar pengalaman sebab-akibat dari tindakannya. Ia berani eksplorasi. Maka, di saat kondisi-kondisi seperti ini tercipta, maka di situlah anak akan tumbuh lebih optimal di masa kecilnya,” imbuh dia.
Selain itu, anak-anak yang diperlakukan dengan hormat dari orangtua ataupun gurunya dalam belajar calistung, tanpa paksaan, akan merasa lebih cinta belajar.
Kelak di kemudian hari, dia akan caritahu sendiri jika tahu sesuatu, karena rasa penasarannya tinggi. Hal lain yang bisa kita rasakan adalah anak tersebut akan mempunyai skill yang bagus dalam interaksi dengan manusia lain.
“Empatinya menyala radarnya. Ia bisa membaca kapan rekan kuliah/ kerjanya butuh bantuan, kapan tidak. Kapan koleganya butuh dinasehati, kapan perlu diintervensi. Dia tahu diri. Dia tahu kapan nge-gas, kapan nge-rem, kapan menginjak kopling untuk transisi,” pungkasnya.
Eveline Ramadhini