Pemegang Gas dan Batubara terbesar yakni pihak swasta daripada negara, hal ini dikarenakan swastalah yang mendikte harga bukan negara.
Wartapilihan.com, Jakarta –– Dalam pameo ekonomi dikatakan, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin dan kemudian menciptakan kesenjangan serta ketidakadilan. Termasuk Indonesia yang belum mampu keluar dari kondisi perekonomian nasional yang belum membaik.
Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noersy mengatakan Indonesia sedang berhadapan dengan sistem power gate. Terjadinya depresiasi 6,6%, cadangan devisa hancur, SBN ambruk, IHSG terjun bebas dan rakyat tak bisa berbuat apa-apa. Perekonomian nasional babak belur.
“Berbagai indikator memperlihatkan ketidakmampuan pemerintah menghadapi risiko pasar. Rupiah melemah signifikan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bulan lalu berada pada kisaran 6.000, sementara saat ini drop pada kisaran 5.000,” ujar dia.
Jika dikatakan perhitungan dan penilaian APBN menggunakan analisis sensitifity terhadap resiko, lanjutnya, maka mudah saja melihat resiko pasar yakni suku Bunga dan nilai tukar. Oleh karenanya Gubernur Bank Indonesia baru-baru ini meminta perbankan agar tidak ikut main di pasar nilai tukar uang.
“Ini menunjukkan ketakutan dan ketidakmampuan menghadapi dampak berupa pelemahan nilai tukar yang terus terjadi. Pemerintah telah melakukan manipulasi akutansi makro untuk menutupi ketidakmampuan mengendalikan situasi ekonomi yang memburuk. Salah satunya dengan cara memindahkan defisit kepada laporan keuangan BUMN,” paparnya.
Sehingga, di mata publik yang mengalami kerugiaan adalah BUMN, padahal BUMN milik pemerintah, dan hutangnya rakyat yang bayar. Bagaimana mengukur keberhasilan Pemerintahan Jokowi? Hal mudah yakni menguji semua indikator Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang dituangkan dalam Perppres 2/2015.
“Dari persepsi tersebut, kita cermati bahwasanya seluruh kemampuan Pemerintah melalui payung hukum undang-undang yakni undang-undang yang tetap rente. Kita lihat, pemegang Gas dan Batubara terbesar yakni pihak swasta daripada negara, hal ini dikarenakan swastalah yang mendikte harga bukan negara,” ungkapnya.
Menurut dia, keseluruhan sistem power gate ini bermuara pada pembuat undang-undang itu sendiri, dan partai politik yang menjadi pemegang saham terbesar dari sistem yang ada di Indonesia. Sebagai contoh, soal pertarungan antara dua jenis modal dalam lanskap politik mutakhir Indonesia. Di tengah sistem politik liberal saat ini, hanya ada 2 (dua) jenis modal yang bertarung. Pertama, modal finansial, dan kedua adalah modal sosial.
“Ketiadaan modal finansial bukan berarti jalan buntu, kemenangan Anies Baswedan dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu menjadi bukti bahwa oligarki modal finansial dapat dikalahkan oleh modal sosial,” tuturnya.
“Menghadapi Pilpres 2019 mendatang, kalau nanti Jokowi tetap dinyatakan keluar sebagai pemenang Pilpres 2019, maka hal yang lebih buruk akan menimpa negara Indonesia yakni kita dapat lihat dari meningkatnya tingkat kejahatan yang diakibatkan oleh Social distrust akan meningkat, lalu berubah menjadi social disorder dan akhirnya menjadi social disobedience,” tandas dia.
Senada dengannya, peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mengatakan kondisi saat ini mirip dengan 20 tahun yang lalu yang sangat liberal. Menunjukkan semakin tidak adanya negara, tidak ada subsidi, semuanya satu paham yang sama.
“Kemarin sempat baca strategi kerja Kementerian Kesehatan, bahwa dalam analisisnya membaca peluang tertulis banyaknya orang sakit. Konteks ini menunjukkan bahwa banyaknya orang sakit menjadi captive market. Bisa saja terjadi bahwa banyaknya orang bodoh menjadi peluang dan captive market di bidang pendidikan,” ungkapnya.
“Pesan yang kita cerna yaitu segala sesuatu yang kita anggap masalah akan menjadi peluang bagi Pemerintah saat ini. Kita lihat di dalam negeri, aturan yang dipakai dalam menjalankan negara adalah aturan liberal semua, contohnya pengetatan anggaran dibahasakan disiplin anggaran,” imbuh dia.
Menururnya, hal ini dilakukan agar semua pembangunan dibangun oleh mereka bukan buat negara. Artinya, ini bukan negara lagi, dan inilah regulasi yang digunakan oleh Pemerintah Jokowi saat ini. Ratifikasi WTO, pasar tunggal, basis produksi tunggal dan semuanya berproduksi tidak ada batasan lagi yang menggunakan aturan dari luar yang disepakati melalui perjanjian-perjanjian seperti Asean Summit dan lain-lain yang bersifat Legally Binding, yang secara nyata kedudukannya dalam mengambil keputusan lebih tinggi dari UUD 1945.
“Ini jelas hanya akal-akalan saja, dengan tujuan akhirnya untuk mengatur negeri ini melalui perjanjian tingkat tinggi atas perlindungan investasi asing di Indonesia,” terangnya.
Sisi lain, kata dia, struktur penguasaan tanah sudah bukan punya negara lagi. Banyak Kabupaten memiliki kontrak investasi yang luar biasa. Sehingga terdapat Kabupaten yang luas wilayah investasi asing melebihi luas wilayah administrasi Kabupaten itu sendiri. Tenaga kerja bergeser dari padat karya menjadi mesin. Struktur transformasi saat ini menjadi tidak jelas seperti petani beralih profesi menjadi menjadi pedagang jasa.
“Bagaimana jalan keluarnya? Harus dari pintu manakah? Bagaimana cara memutus mata rantai internasional seperti WTO, perjanjian bilateral ekonomi dan lain-lainnya? Apakah dengan cara-cara politik ataukah transformasi struktural?,” tanya Salamuddin penuh kebingungan.
Sementara itu, Fahmi Idris menuturkan esensi dalam demokrasi dan ekonomi adalah hal yang sama, tidak ada perubahan mendasar yang mendasari perubahan yang mendasar. Mengacu pada pasal 33 UUD 1945, itu adalah misi ekonomi nasional, bukan sistem perekonomian nasional.
“Misinya adalah sosialis, namun yang terjadi malah sistem kapitalis yang lebih dahsyat dari Amerika yakni terjadinya perubahan praktek ekonomi imperialism berupa penyimpangan terhadap sistem itu sendiri secara ugal-ugalan,” katanya.
Dalam merubah sistem ekonomi Indonesia jangan hanya berubah kostum saja dari periodesasi kepemimpinan yang berganti, namun secara sistem tidak berubah. Ke depan, tukas dia, Indonesia membutuhkan keberanian yang luar biasa dalam merombak hal-hal yang paling mendasar dalam tatanan perekonomian Indonesia.
“Bangsa kita tidak mempunyai bakat untuk berontak atau revolusioner. Tidak ada konfrontasi, yang terjadi saat ini hanyalah pendukung dan oposisi. Namun, pintu demokrasi yang mulus dan berani dalam merombak sistem, itu yang ditunggu-tunggu oleh rakyat Indonesia,” tandasnya.
Peneliti senior Taufiqqurahman Ruki menambahkan, sistem bernegara Indonesia sudah berat. Jika masyarakat masuk pada sistem yang sekarang ini bisa dipastikan hasil output dan outcome pasti tidak benar. Kerusakan negeri ini bukan hanya terjadi pada bad people tetapi juga bad system.
Ratusan Bupati/Walikota saat ini terjerat korupsi dan ditangkap KPK menunjukkan dua kerusakan itu terjadi. Mereka berbuat hal tersebut karena proses menuju jabatan itu membutuhkan modal besar.
“Jadi, ini cara dalam pengembalian modal politik yang dikeluarkannya, istilahnya Return On Investment (ROI) nya harus balik, minimal impas. Kita harus mulai berfikir bagaimana menata sistem agar kerusakan sistem ini tidak lagi menggerogoti hajat hidup kita dalam berbangsa dan bernegara,” tutupnya.
Ahmad Zuhdi