Indonesia Akan Kolaps? (Bagian I)

by
foto:istimewa

Krisis ekonomi semakin mendalam bahkan luput dari pemberitaan dan publikasi media yang sesungguhnya harus diketahui oleh rakyat.

Wartapilihan.com, Jakarta — Saat ini dunia tengah menghadapi bukan hanya ketidakpastian, tapi juga kekacauan, dan kerusakan akumulatif. Hal ini sebenarnya berpangkal pada Sistem Dunia (World System) yang rancu. Kerancuan itu, menurunkan sub-sub sistem dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang juga mengandung kerancuan.

Ketua Majelis Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin mengatakan Indonesia sebagai negara besarpun harus berhadapan dengan pergesran ekonomi global, geopolitik ekonomi yang kini semakin bergeser dari atlantik ke pasifik, dari barat hingga ke Afrika.

“Pergeseran ini harus diantisipasi secara seksama. Kekuatan perang China-Amerika yang saat ini tengah berhadapan, nyaris sebagai momok yang menghantui ekonomi Amerika, Jepang dan lainnya,” ujarnya.

Kaitannya dengan kebangkitan Cina dewasa ini, lanjut Din, harus diselenggarakan dalam suatu wawasan kawasan Asia Timur dan lewat mekanisme internasional. Jika tidak demikian, kebangkitan Cina dengan ambisi One Belt One Road (OBOR) akan berpotensi menimbulkan ketegangan dunia, karena Cina hanya melanjutkan perilaku Amerika Serikat yang hegemonik. “Meskipun, China sendiri menyadari tidak cukup siap menghadapi hal tersebut,” katanya.

Menurut Din, amanat pasal 33 UUD 1945 belum terwujud. Masih terdapat deviasi, distorsi, disorientasi pada implementasi pasal 33 UUD 1945 hasil amandemen yang sangat ambigu, misleading, misreading secara khusus sangat imperative pada ayat terakhir.

“Tidak adanya Undang-undang yang khusus tentang ekonomi membuat bangsa ini membuka diri pada semua yang akan masuk, sehingga negeri ini kehilangan akar dan arah,” katanya.

Dalam konteks ini, ungkap Din, negara harus hadir. Ditengah ramainya politik nasional dan perubahan geo politik dunia yang menimbulkan pertentangan yang demikian tajam, tetap harus di terima sebagai realitas yang ada, namun tidak kehilangan identitas sebagai bangsa yang besar.

“Indonesia, dalam hal ini, merupakan negara dengan posisi tengahan dan orientasi jalan tengah (the middle way), menjadi tawaran solusi krisis yang bisa dikedepankan dan terimplementasi dalam ekonomi, politik serta budaya sebagai pandangan ideologi nasional,” jelasnya.

Penguatan ekonomi nasional bersifat konstitusional, menurutnya adalah ekonomi jalan tengah. Perkuat ekonomi nasional. Indonesia mesti kembangkan provinsi yang mampu mengelola sumber daya alam yang baik sebagai upaya menangulangi capital violence, economic violence yang terjadi di Indonesia. Pemerintah dan DPR harus memiliki kesadaran yang berorientasi pada kesadaran akan Satu Kemanusiaan, Satu Tujuan, dan Satu Tanggung Jawab (One Humanity, One Destiny, One Responsibility).

“Hiruk pikuk yang terjadi di negeri ini karena kita jauh dari Pancasila. Intinya, Indonesia harus punya Undang-Undang Ekonomi Nasional, sehingga bangsa ini tidak kehilangan identitasnya, akarnya dan arahnya dalam mensejahterakan seluruh rakyatnya,” pungkasnya.

Pengamat ekonomi dan politik Syahganda Nainggolan berasumsi
Indonesia bakal kolaps. Saat ini, kata dia, rakyat Indonesia terlena oleh ‘utak atik politik’ jelang Pilpres 2019, dan media serta ruang publikpun ‘memakan’ isu-isu kentalnya politik dengan gurihnya. Krisis semakin mendalam bahkan luput dari pemberitaan dan publikasi media yang sesungguhnya harus diketahui oleh rakyat.

“Kecenderungan Indonesia akan mengalami tragedi kolaps nasional seperti tahun 1998 bisa saja terjadi. Pertanyaannya, kita sebagai bangsa besar bisa bertahan atau tidak?,” tanyanya.

Tahun 1998, ungkap Syahganda, ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi dan politik, masih memiliki figure-figur sentral yang dikenal sebagai figur yang mendorong terciptanya ‘Ciganjur 1 dan 2”, dimana rakyat masih menggantungkan harapan adanya tokoh-tokoh bangsa yang dapat dipercaya untuk bersama rakyat mengatasi persoalan bangsa yang menghimpit.

“Saat ini siapa tokoh-tokoh itu? Oligarki kekuatan partai politik dan elit kekuasaan dalam menentukan Kepala-Kepala Pemerintahan baik di daerah maupun pusat sudah mempertontonkan wayang politik dagang sapi yang sudah keluar dari nilai-nilai perjuangan bangsa,” tuturnya.

Menurut dia, kecepatan oligarki ini memiliki kecepatan puluhan kali lipat. Dampaknya, bukan hanya dalam politik nasional, tetapi juga mempengaruhi kekuatan ekonomi nasional. “Inilah yang mengakibatkan kita lumpuh, dan Indonesia berada di ambang krisis ekonomi,” ujar dia.

Senada soal keadaan Indonesia hari ini, ekonom Rizal Ramli menuturkan Indonesia bagaikan ‘badan’ sedang tidak sehat. Antibodi lemah. Bertemu dengan virus langsung tumbang dan sakit, tanpa ada kekuatan untuk melawannya.

“Ekonomi kita harus meninggalkan ekonomi neo liberal. Pemerintahan Jokowi menganut sistem ekonomi neo-liberal dengan mengandalkan utang dalam pembangunan. Cara tersebut harus diubah sehingga Indonesia tak melulu mengandalkan utang sebagai stimulus pembangunan,” kata pria sapaan RR ini.

Dikatakan Rizal, cara-cara yang dipakai oleh pemerintah adalah cara konvensional. Faktanya, ekonomi saat ini hanya tumbuh 5 persen, bergerak stagnan, dan hari ini Indonesia rangking 16 di GDP. “Kondisi ekonomi Indonesia harus diperhatikan secara serius, yakni mengenai defisit yang terjadi dalam neraca perdagangan. Defisit yang terjadi harus mampu kembali diseimbangkan,” katanya.

Tercatat, pada Januari 2018 neraca perdagangan RI defisit sebesar USD -0,68 miliar sedangkan defisit transaksi berjalan (-USD 5,8 miliar), service payment defisit APBN atau pembayaran cicilan pokok dan bunga utang yang tahun ini mencapai Rp 800-an triliun. Porsinya hampir dua kali lipat anggaran infrastruktur atau pendidikan. Dan defisit neraca keseimbangan primer minus Rp 68,2 triliun pada tahun 2017.

Sri Mulyani (Menteri Keuangan RI) melakukan acrobat akunting, dimana pembayaran bunga pada kwartal pertama dibesarkan, padahal hanya untuk pembayaran bunga pelayanan saja. kalo tetap ‘on schedule’, maka payment balance akan negatif. Terkait ketimpangan penyaluran kredit, masih didominasi industri besar.

“Ibarat sebuah gelas anggur di mana bisnis besar dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di cawan gelas yang mendapatkan kredit, selanjutnya bisnis menengah hanya di leher gelas, dan mayoritas rakyat dasar gelas. Sebanyak 83 persen kredit hanya mengalir ke bisnis besar, sisanperse persen ke bisnis menengah dan rakyat,” terang mantan Menko Maritim dan Sumber Daya itu.

Selain itu, indikator ekonomi lain, lanjut RR, yakni semakin memburuk nilai tukar rupiah yang terus anjlok hingga daya beli masyarakat yang tak kunjung membaik. Kondisi itu dipantau investor asing. Meskipun Menteri Keuangan menyerahkan laporan ke Presiden bahwa Indonesia surplus, dan mengatakan bahwa ekonomi baik-baik saja.

“Padahal investor asing itu pintar-pintar. Dia bisa menganalisa dari CDS (Credit Default Swap) negara kita dari komputernya. Tingkat CDS Indonesia meningkat cukup drastis, dari posisi 80 di Januari 2018 menjadi 160-170 pada Mei, mungkin hari ini mencapai 144. Jika CDS Indonesia kembali naik, rating investasi Indonesia bisa kembali turun,” paparnyam

Nilai CDS saat ini menjadi indikator fundamental yang paling dicari oleh para investor besar dan para fund manager di seluruh dunia. Menurutnya, nilai CDS suatu negara bisa menjadi acuan sebagai indikator forex paling akurat untuk memprediksi pergerakan mata uang negara tersebut dalam medium/long-term.

“Kemudian ada indikator yang disebut country vulnerability index atau indeks kerentanan. Sekarang kita nomor dua paling beresiko. Artinya kalau terjadi sesuatu paling gampang digoyang. Kita tidak pernah lihat pejabat Indonesia lihat dua indikator penting itu. Ini bedanya dengan pemerintah, terjadi goncangan, selalu mengatakan terjadi karena faktor eksternal, adanya ketidak jujuran bahwa sesungguhnya penyebabnya adalah faktor intenal,” jelas Rizal.

Misalnya, soal pelemahan rupiah, bukan hanya karena tekanan eksternal, tapi ada juga faktor domestik yang membuat rupiah melemah. Seperti masih banyaknya aliran modal jangka pendek di pasar keuangan, dan juga neraca transaksi berjalan yang terus menyisakan lubang defisit. Gubernur BI yang sekarang tidak pernah menyebutkan komponen domestiknya yang membuat rupiah melemah.

“Padahal ekonomi kita masih sangat rentan. Selalu disebutkan alasannya, negara-negara lain juga mata uang melemah, dikomparasikan, padahal ada pekerjaan rumah di kondisi domestik yang bisa menjadi catatan BI. Sekarang ekonomi sudah lampu setengah merah. Kalau tidak hati-hati ini bisa jadi krisis kembali. Jangan sampai kita jatuh ke lubang yang sama,” Rizal mengingatkan.

Jika Indonesia terjadi krisis, saran Rizal, sebaiknya hindari bantuan dari IMF. Belajar dari kejadian krisis ekonomi 1998, Indonesia terjerat utang dengan IMF yang sulit untuk dilepaskan. Intelek ekonom tidak mengerti bahwa ketika IMF masuk, sesungguhnya hanya untuk bayar kreditor, namun semua hutang dibebankan kepada rakyat dan mereka mengatur seluruh sendi-sendi perekonomian hanya untuk kepentingan mereka. “Oleh karenanya, solusinya yakni rubah struktur ekonomi Indonesia,” tandas Rizal.

Sementara itu, pengamat ekonomi Arief Budimanta menjelaskan kondisi perekonomian Indonesia masih stabil, secara fundamental cukup kuat, serta jauh dari kecenderungan menuju krisis. Dibandingkan dengan situasi perekonomian pada 1998 maupun 2008, kondisi ekonomi nasional sekarang masih jauh lebih kuat. Meskipun saat ini Indonesia berada dalam tekanan global, khususnya terkait dengan nilai tukar rupiah.

“Pergerakan nilai tukar masih sangat stabil. Kondisi ini sangat berbeda dengan dua kali krisis, dimana fluktuasi rupiah sangat tajam. Cadangan devisa masih stabil dengan rasio terhadap utang luar negeri masih berada pada 35,12 persen. Krisis 1997 rasionya hanya 12,03 persen,” papar Arief.

Berdasar pengalaman krisis pada tahun 1998, lanjut Arief, jelas saat ini lebih kuat dapat dilihat dari fenomena nilai tukar, harga minyak, fiskal, moneter keadaan baik . Politik juga stabil, penyelenggaraan Pilkada lebih dewasa, gugatan ke Mahkamah Konstitusi menurun secara prosentase, dan lebih dari lebih 170 tuntutan Pilkada menurun.

“Saat ini pemerintah masih terus mendorong terjadinya transformasi struktural, khususnya di bidang ekonomi. Kebijakan ini dilakukan untuk mewujudkan kemajuan bangsa, baik secara umum dan juga secara ekonomi,” katanya.

Dikatakan Arief, kebijakan tersebut cukup positif secara struktural. Hal tersebut terlihat dari berbagai indikator yang menunjukkan bahwa kondisi Indonesia semakin baik, khususnya dilihat dari pembangunan di bidang perekonomian.

“Transformasi struktural terus berlangsung yang sejalan dengan prioritas pembangunan. Indikatornya sederhana dan paling fundamentalis dimana ekonomi tumbuh, harga-harga, deflasi dan inflasi serta daya tahan hidup masyarakat, orang-orang yang bekerja bertambah dan kemiskinan berkurang. Hari ini bisa dikatakan semua indikator menunjukkan kestabilan yang membaik,” tuturnya.

Arief menjelaskan, transformasi struktural dapat dilihat dari 3 (tiga) hal yakni pelaku, alokasi sumber daya dan kebijakan. Pemerintahan Jokowi telah melakukan ketiga hal tersebut secara benar. Beberapa kebijakan transformasi struktural yang dilakukan Pemerintahan Jokowi seperti mendorong kemajuan bangsa seperti adanya pemangkasan pajak untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi 0,5% dari sebelumnya 1%.

“Kebijakan tersebut akan mendorong usaha kecil bisa masuk ke sektor formal, sehingga usaha tersebut akan mampu mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang memiliki bunga lebih rendah. Jangan hanya dilihat sebagai sekadar tarif. Tapi bagaimana sektor usaha informal yang awalnya secara administrasi unbankable menjadi bankable,” terang dia.

Selain itu, pelaku UMKM bisa melakukan ekspansi usahanya lebih besar lagi karena tarif pajaknya dipangkas. Sehingga ruang yang 0,5% bisa dipakai ekspansi, untuk modal investasi, untuk membesarkan usaha.

Mengutip data Kementerian ATR/BPN di tahun 2017 yang menyebutkan sebanyak 5 juta sertifikat tanah telah diterbitkan. Program Reforma Agraria sendiri akan mendistribusikan 9 juta hektar tanah sebagai objek reforma agraria dan skema perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar kepada rakyat. Pemerintah mempercepat redistribusi aset dan akses untuk meningkatkan penguasaan aset masyarakat bawah dan memberikan alat untuk berproduksi.

“Kebijakan tersebut dapat meminimalisasi penguasaan aset yang sangat besar oleh sedikit orang atau oligarki. Oligarki membuat penguasaan aset terkonsentrasi pada sekelompok orang, sehingga dapat mengakibatkan ketimpangan,” katanya.

Karena itulah, kebijakan (Reforma Agraria) sebagaimana juga sudah termaktub dalam undang-undang Agraria tersebut merupakan koreksi secara struktural penguasaan aset di Indonesia dengan membuat masyarakat jadi lebih berdaya.

Konteks kebijakan Pemerintah di atas, menunjukkan negara hadir dalam sendi kehidupan rakyat. Transformasi struktural berjalan dengan baik yang ditunjukkan dengan alokasi pelaku ekonomi khususnya ekonomi menengah ke bawah terpenuhi, sumber daya, akses modal tanah dilakukan dan perlindungan sosial masyarakat tercapai.

“Hitungannya kita lihat dari Material Power Index dalam dua tahun terakhir yakni dengan menurunnya kekuatan oligarki ekonomi. Kenaikan harga minyak misalnya selalu dikaitkan dengan fiscal. Analisis sensitifity APBN dihitung kenaikan nilai tukar rupiah terhadap kenaikan harga minyak, dan itu memang surplus,” tukas dia.

Arief menandaskan, hal itu terjadi karena tidak ada lagi subsidi BBM, sehingga bergerak positif dan diperuntukkan bagi perlindungan sosial lainnya. Bagaimana mengangkat harkat matrabat masyarakat kecil saat ini?

“Solusinya bahwa kita semua perlu dukungan agar golongan bawah naik ke atas melalui transformasi struktural yang tengah dilakukan oleh Pemerintah berjalan,” tutupnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *