Wartapilihan.com – Siyasah (politik) menurut para penulis disiplin ilmu ini mempunyai beberapa arti dan cakupan makna yang dapat dibatasi dalam tiga pengertian:
Pertama: Wilayah urusan rakyat dan penanganannya berupa perintah maupun larangan, baik yang dikeluarkan dari seorang imam (kepala negara) atau dari bawahannya, seperti gubernur, menteri, jaksa, hakim dan yang lainnya.
Kedua: Tata aturan kepemimpinan negara atau kekhalifahan umum, dari sisi kecakapan penguasa, kewajiban-kewajibannya, kewajiban rakyat terhadapnya, kewenangan hukum yang diberikan oleh Allah Yang Maha pembuat aturan kepada penguasa untuk menjamin pengayoman bagi para bawahannya.
Ketiga: Hukuman pidana yang sesuai dengan syari’ah.
Melalui pembagian ini, terlihat bagi peneliti bahwa as-siyasah asy-syar’iyyah merupakan istilah yang berkisar pada dua pengertian:
Pertama, yang bersifat umum, yaitu sinonim dengan tata aturan hukum kekuasaan.
Kedua, yang bersifat khusus, yaitu pembahasan yang berkisar pada masalah-masalah yang aturan hukumnya berubah seiring dengan perubahan pijakan aturan hukumnya. Atau aturan hukum yang memberi pilihan bagi seorang pemimpin sesuai dengan hukum yang paling bermaslahat yang mana salah satu di antara keduanya tidak dipastikan berlaku tetap. Inilah yang membutuhkan definisi dan penjelasan.
As-siyasah asy-syar’iyyah dalam pengertian khusus ini adalah segala hal yang keluar dari pemegang kekuasaan (ulil amri), berupa aturan hukum dan kebijakan-kebijakan yang berpijak pada kemaslahatan dalam masalah yang didalamnya tidak terdapat dalil khusus dan spesifik tanpa menyalahi syari’ah. Oleh karena itu harus bersumber dari dan atas ijtihad syar’i sehingga itu menjadi sebuah batasan yang mengesampingkan hal-hal berikut ini:
1. Aturan hukum ibadah dan hal-hal yang berlaku tetap bukanlah ruang lingkup siyasah syar’iyyah
2. Aturan hukum dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan karena ketidaktahuan dan hawa nafsu maka ia bukanlah bagian dari hukum siyasah syar’iyyah. Akan tetapi jika hukum tersebut sejalan dengan siyasah syar’iyyah, maka tidak mengapa dinisbatkan kepadanya, dengan tetap ada dosa bagi orang yang mengeluarkannya dikarenakan kebijakannya itu akibat ketidaktahuan dan hawa nafsu, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam “Majmu’ al-Fatawa, juz XXIX, halaman 43 dan seterusnya.
Klausa “tanpa menyalahi syari’ah” merupakan batasan penting. Dengan demikian, mengeluarkan semua jenis kebijakan yang bertentangan dengan syari’ah sama sekali bukan wilayah siyasah syar’iyyah dan hal-hal yang berlaku yang tidak bertentangan dengan syari’ah. Itulah pada hakikatnya yang sejalan dengan siyasah syar’iyyah. Pertama, dari sudut nash. Kedua, dari sudut kaidah dan prinsip.
Sebuah pesan singkat yang didalamnya terdapat gabungan antara siyasah Ilahiyah dan kepemimpinan Nubuwwah yang sangat dibutuhkan, baik oleh pemimpin maupun oleh rakyatnya, yang menjadi keharusan terhadap orang yang memegang kekuasaan (ulil amri) untuk dinasihati, sebagaimana sabda Rasulullah dalam Shahih Muslim dan riwayat-riwayat lainnya bahwa: “Sesungguhnya Allah meridhai kalian atas tigal hal: Hendaknya kalian beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu pun; hendaknya kalian berpegang teguh pada tali Allah dan janganlah bercerai-berai; hendaknya kalian menasihati orang yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin kalian.” HR. Muslim No 1715.
Ini adalah sebuah pesan yang dibangun di atas ayat tentang para pemimpin dalam Kitabullah, yaitu firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Para ulama mengatakan bahwa ayat pertama turun mengenai para penguasa, yaitu agar mereka menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Jika mereka memutuskan perkara di antara manusia, maka mereka harus berbuat seadil-adilnya. Adapun ayat kedua turun mengenai orang-orang yang dipimpin. Jika ayat ini telah mewajibkan menunaikan amanah kepada pemiliknya dan memutuskan perkara dengan adil, maka kedua hal inilah gabungan antara politik yang adil dan kekuasaan yang baik.
Memutuskan perkara yang terjadi di antara manusia adalah dalam perkara ketentuan-ketentuan Allah (hudud) dan hak-hak-Nya (huquq). Ketentuan-ketentuan hukuman Allah (hudud) dan hak-hak-Nya (huquq) yang bukan untuk satu kelompok tertentu melainkan manfaatnya untuk keseluruhan kaum muslimin atau jenis kelompok dari mereka. Seperti para pencuri. Jika di suatu negeri berkumpul kelompok orang yang mencuri, maka pemotongan tangan pencuri di antara mereka adalah perbaikan bagi jenis manusia yang diuji dengan pencurian.
Hudud dan Huquq bagian ini wajib diberlakukan terhadap orang terhormat maupun rakyat jelata, yang kuat maupun yang lemah. Tidak boleh digugurkan karena adanya suatu pertolongan keringanan hukuman dari seseorang (amnesti), tidak karena adanya hadiah (gratifikasi), tidak pula karena hal-hal lainnya.
Dalam Sunahnya, Abu Dawud meriwayatkan dari `Abdullah bin `Umar ia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang memberi pertolongan keringanan hukuman untuk menggugurkan pelaksanaan salah satu ketentuan sanksi hukum (hudud) Allah, maka sungguh ia telah menentang Allah dalam perintah-Nya. Dan barangsiapa yang menuntut dalam suatu perkara kebathilan sementara ia mengetahui, niscaya ia senantiasa berada dalam kemurkaan Allah hingga ia mencabut tuntutannya. Serta barangsiapa yang memberi kesaksian palsu terhadap seorang muslim, niscaya ia akan dikurung dalam radghah al-khabal (perasan penguni neraka), hingga ia keluar dari apa yang ia katakan. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu radghah al-khabal?” Beliau menjawab, “Perasan (nanah) penghuni neraka. Lalu Nabi menyebutkan para penguasa, para saksi dan orang-orang yang menuntut perkara hukum dalam kebathilan. Padahal merekalah para penegak pilar hukum.” HR. Abu Dawud no 3597-3598. |
Peresensi : Ahmad Zuhdi
———————————————-
Judul Buku : Politik Islam; Penjelasan Kitab Siyasah Syar’iyah Ibnu Taimiyyah
Penyusun Buku : Muhammad Bin Shalih al-‘Utsaimin
Penerbit Buku : Griya Ilmu
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2014
Tebal Buku : 382 halaman
Ahaa, its fastidious dialogue concerning this paragraph at this place at this web site, I have read all that, so at this time me also commenting here.
Thanks for the good writeup. It in fact was a enjoyment account it. Look advanced to more introduced agreeable from you! However, how could we keep up a correspondence?
This paragraph will assist the internet viewers for setting up new blog or even a weblog from start to end.