Berdasarkan penelitian dari Yayasan Kita dan Buah Hati pada tahun 2016, 97 persen anak pernah melihat pornografi, padahal responden anak merupakan kelas 4, 5 dan 6 Sekolah Dasar. Dengan keadaan seurgen ini, sayangnya pendidikan seksual terhadap anak masih sering dianggap sesuatu yang sangat tabu.
Wartapilihan.com, Jakarta –Data penelitian tersebut menunjukkan, sebanyak 17 persen anak rupanya pernah mengakses pornografi dari film bioskop/DVD; 16 persen pernah mengakses di video klip; serta 13 persen mengetahuinya dari games/permainan daring.
Elly Risman sebagai pakar parenting menjelaskan, orangtua yang tidak sensitif terhadap pornografi biasanya tidak membuat aturan ketika memberi gadget pada anak.
“Tidak berpesan bahwa dengan manfaat yang sangat banyak dari gadget yang diberikan, ada juga bahaya yang dapat merusak otak. Sehingga tidak mengingatkan anak untuk menjaga matanya dari hal-hal yang membahayakan,” kata Elly, kepada Warta Pilihan, Rabu, (15/11/2017).
Elly menambahkan, orangtua yang tidak sensitif terhadap pornografi, tidak sadar bahwa bencana dapat terjadi dari ujung jemari anaknya. Pasalnya, hanya dengan 1 buku jari, anak dapat terjerat jebakan pebisnis pornografi.
“Orang dewasa yang menganggap pornografi sebagai humor membiarkan lagu dangdut erotis didengar anak-anak, dan membiarkan acara TV beradegan dewasa dilihat anak-anak. Padahal, hal itu adalah pornografi kategori halus, yang memang bahayanya tidak langsung terlihat, namun berfungsi sebagai pancing bagi kategori yang lebih tinggi,” tukas Elly.
Maka dari itu, sebelum terlambat, Elly menyarankan langkah preventif yang dapat dilakukan orangtua, yaitu membangun komunikasi yang baik antara orangtua dan anak, dan melakukan edukasi dengan menjelaskan bahaya pornografi pada otak anak.
“Selain itu, menyepakati aturan yang dibuat dengan anak, dan mengontrol serta mendampingi dalam penggunaan gadget,” lanjut Direktur Yayasan Kita dan Buah Hati ini.
Jika Anak Pernah Terpapar Pornografi?
Ada hal-hal yang sangat penting perlu dilakukan oleh para orang tua untuk meminimalisir dampak buruk yang dapat terjadi pada otak anak.
Elly menekankan untuk tetap tenang, jangan panik, kemudian musyawarahkan dengan pasangan, serta menerima keadaan tersebut dan memaafkannya. “Anak adalah amanah Allah, bisa jadi permata hati, ujian dan musuh. Merasa takutlah jika kita meninggalkan anak dalam keadaan lemah,” tandas dia.
Psikolog parenting ini menegaskan untuk memperbaiki komunikasi dengan sang anak dengan cara cari waktu yang tepat untuk mengajak anak
berbicara, kemudian juga turunkan frekuensi saat berbicara.
“Perhatikan bahasa tubuh anak, dengarkan perasaannya, dan
bicara dengan benar, baik, dan menyenangkan
kepada anak,” imbuh Elly.
“Gunakan kalimat bertanya agar anak belajar. Berpikir, memilih, dan engambil keputusan,” pungkasnya.
Eveline Ramadhini