LIPI Telah Prediksi Krisis Qatar Sejak Tahun 2016

by
Peneliti LIPI sedang memaparkan hasil penelitiannya terkait Qatar. Foto : Meilia

Wartapilihan.com, Jakarta –  Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di bawah Tim Agama dan Politik sejak tahun 2016 telah memprediksi potensi konflik di Qatar.

Melalui hasil temuannya, LIPI meneliti potensi krisis Qatar dengan Arab Saudi dimulai dari historikal perdebatan kekuasaan dalam keluarga kerajaan Qatar. Arab Saudi melakukan intervensi untuk mempertahankan kekuasaan Syeikh Khalifa bin Hamad Al Thani dari manuver politik anaknya Syeikh Hamad bin Khalifa.

Menurut Hamdan Basyar, Peneliti LIPI, “Syeikh Hamad memiliki karakter lebih terbuka daripada ayahnya sehingga, perbedaan gaya kepemimpinan inilah yang membuat potensi konflik di Timur Tengah semakin kuat.” dalam Media Briefing di Kantor LIPI, Senin (19/6).

Melalui politik “Honest broker”, Qatar berubah menjadi negara mediator setiap kali terjadi konflik di kawasan Timur Tengah. Kebijakan Qatar sebagai aktor baru di kawasan Timur Tengah.

“Manuver dari Qatar di bawah Syeikh Hamad tersebut, dianggap telah melampaui norma-norma dan tata nilai regional (Unified destiny) yang telah dibangun Saudi di wilayah Teluk (negara negara GCC), sehingga negara negara di kawasan “gerah”, rilis LIPI dalam siaran pers tentang Qatar dan Krisis Diplomatik di Timur Tengah.

Syeikh Hamad selalu berbeda pandangan dan kebijakan dari Arab Saudi dan negara Timur Tengah lainnya. Sikap Qatar yang pro terhadap Ikhwanul Muslimin (IM), dukungan Qatar terhadap Hamas dan kelompok-kelompok oposisi pemerintah (pro demokrasi), lalu pernyataan Syeikh Hamad terkait Iran, “Qatar lebih dekat dengan Iran dan IM” memicu krisis diplomatik di negara tersebut.

Nostalgiawan Wahyudhi, Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI mengatakan “jika Syeikh Hamad tidak mengubah gaya kepemimpinannya, maka akan memicu perang. ”

Dalam hasil penelitiannya, LIPI memberikan masukan kepada pemerintah untuk konflik Qatar dan Timur Tengah.

Pertama, pemerintah Indonesia tidak mengambil sikap politik luar negeri hitam-putih, tidak berpihak pada satu kubu, serta berupaya merajut kembali kawat diplomatik yang terputus antara Qatar dan negara sekitarnya.

Kedua, pemerintah Indonesia bisa menawarkan diri sebagai fasilitator perdamaian bukan mediator karena Indonesia belum memiliki diplomatic pressure yang kuat terhadap negara negara yang bersitegang, sehingga peran mediator kurang efektif.

Ketiga, negara super power seperti Amerika, Rusia dan Tiongkok atau organisasi internasional, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), memiliki potensi kuat menjadi mediator yang efektif dan diharapkan lebih netral dalam menyikapi ketegangan konflik di Timur Tengah.

Dengan masukan tersebut diharapkan Indonesia mampu memainkan peran dalam penyelesaian konflik Qatar. ||

Meilia Irawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *