Qatar seringkali punya kebijakan politik yang berbeda dengan Saudi. Indonesia perlu menjadi fasilitator perdamaian.
Wartapilihan.com, Jakarta – Mengamati perkembangan politik di Qatar, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menghimbau pemerintah agar tidak bersikap hitam putih. “Tidak berpihak pada salah satu kubu, serta mendoring upaya untuk merajut kembali kawat diplomatik yang terputus antara Qatar dan negara sekitarnya,”kata peneliti LIPI Nostalgiawan Wahyudhi di Jakarta hari ini (19/6).
Kedua, pemerintah Indonesia bisa menawarkan diri sebagai fasilitator perdamaian, bukan mediator. Sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, Indonesia berpotensi kuat sebagai fasilitator yang menyediakan tempat berdialog perdamaian antara Qatar dengan negara-negara yang bersitegang dengannya.
Ketiga, negara superpower seperti Amerika Serikat, Rusia dan Tiongkok atau organisasi PBB memiliki potensi kuat menjadi mediator yang efektif dalam ketegangan diplomatik tersebut. Diharapkan negara tersebut bersikap netral.
Menurut LIPI, akar permasalahan konflik Qatar ini dimulai ketika naiknya Syeikh Hamad bin Khalifa Al Thani.sebagai Emir Qatar pada 1995 setelah mengkudeta kekuasaan ayahnya Syeikh Khalifa bin Hamad Al Thani. Waktu itu Arab Saudi melakukan intervensi politik untuk mempertahankan Syeikh Khalifa. Sikap Saudi ini didukung oleh mayoritas negara-negara Arab.
Banyak hal yang dilakukan oleh Syeikh Hamad yang membuat Qatar makin disegani. Diantaranya :
1. Politik honest broker membuat posisi Qatar sangat unik serta tak lazim bagi negara-negara teluk. Politik mediasi ini melangkahi dominasi Saudi di kawasan itu. Qatar hadir sebagai mediator dalam konflik antar negara, seperti di Libanon, Sudan, Yaman, Libia, Mesir, Palestina, Djiboutu hingga Eritrea. Bahkan ikut memediasi pertemuan pemimpin Taliban dan Amerika Serikat.
2. Qatar memiliki kebijakan yang berbeda dengan negara-negara sekitarnya, terutama Arab Saudi. Qatar menyatakan dukungannya kepada Hamas dan Ikhwanul Muslimin serta kelompok-kelompok oposisi pemerintah pro demokrasi.
3. Qatar melalui kantor berita Al Jazeera melakukan politik intervensionis yang terkenal dengan Al Jazeera Effect. Al Jazeera sangat tajam dalam meliput dan mengkritik ketimpangan ekonomi, pengangguran, praktik-praktik non demokratis dan framing media yang tidak pro terhadap pemerintah negara-negara Arab. Al Jazeera juga menjadi media utama yang ikut memasifkan gerakan Arab Spring di Timur Tengah yang berakibat pada perubahan rejim di sejumlah negara.
Menurut Wahyudhi, blokade diplomatik terhadap Qatar ini bukanlah hal yang mengejutkan. “Kejadian serupa pernah terjadi pada tahun 2002, ketika Saudi menarik dubesnya dari Doha. Dan pada tahun 2014, Saudi bersama Bahrain dan Uni Emirat Arab menarik dubesnya dari Doha,”paparnya. II
Izzadina