Baginya keperkasaan bukanlah
tontonan otot-ototnya yang
kuat kokoh
hanyalah demi bulir-bulir padi
yang berisi
urat-urat tubuh yang kesat
di dadanya dan tangannya
adalah demi sawah yang subur
padi yang menguning berjajar rapi
seribu tetas peluh dari
dakinya ia teteskan
ia persembahkan bagi anak istri
dan bagi makmurnya
bangsa
serta negara tercinta Indonesia
Puisi ‘Sang Petani’, Karyono (2004)
Wartapilihan.com, Jakarta–Hari ini, 24 September 2017 merupakan Hari Tani Nasional (HTN). Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki lahan hijau yang kaya dan strategis. Tapi, masih banyak permasalahan bagi petani.
Setiap tahun, Serikat Petani Indonesia (SPI) terus gelorakan perjuangan untuk desak pemerintah jalankan reforma agraria sesuai dengan amanah yang tertuang dalam UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yakni “pendistribusian aset terhadap petani melalui distribusi hak atas tanah petani melalui land reform dan program kepemilikan lahan bagi petani dan buruh tani; menyerahkan lahan sebesar 9 juta ha.”
Khusus tahun ini, para petani yang tergabung di SPI memperingati HTN bertemakan ‘Indonesia Darurat Agraria: Segera Laksanakan Reforma Agraria Sejati untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan’. Ruli selaku ketua SPI mengatakan, kebijakan mengenai pertanian ini cenderung lambat dan tidak melakukan perubahan mendasar, seperti sistem feodalisme yang masih erat.
“Kebijakan ini pada pelaksanaannya berjalan sangat lambat dan cenderung “mangkrak” serta tidak menyentuh persoalan yang mendasar yaitu merombak ketimpangan struktur penguasaan kepemilikan tanah yang ada. Hal ini dapat dilihat dari masih maraknya konflik-konflik agraria yang belum terselesaikan dan petani masih terus menjadi korban kekerasan, perampasan tanah maupun kriminalisasi,” papar Ruli, si Jakarta, pada laman www.spi.org.
Sisi Lain Petani
Di tengah hiruk-pikuk aksi yang dilakukan para petani SPI, Riki Frediansyah yang merupakan alumni Institut Pertanian Bogor terus berkarya. Ia memberdayakan masyarakat di Kampung Pasir Angling, yang terletak di bilangan Bandung, Jawa Barat melalui integrasi sistem peternakan dan pertanian.
Menurut dia, faktor-faktor penyebab petani kurang diminati bagi orang-orang yang studi pertanian ialah karena (1) stigma masyarakat tentang petani bahwa petani statusnya rendah, (2) penghasilan dianggap kecil, (3) lahan yang terbatas, dan (4) biaya produksi besar.
Menurutnya, biaya produksi dapat membesar manakala sistem pertanian dijauhkan dengan sistem peternakan. Padahal, jika digabung, akan sangat menekan biaya produksi. “Salah satu solusinya, pertanian dan peternakan tidak boleh terpisah dan harus terintegrasi. Jika terpisah, biaya produksi akan bertambah besar, dan terus besar seperti fenomena gunung es,” ujar Riki kepada Warta Pilihan, Ahad pagi, (24/9/2017).
Riki menambahkan, menjadi petani pun tidak memerlukan lahan yang luas. Pasalnya, penanaman tidak harus selalu dilakukan di lahan. Sekarang ada sistem penanaman organik, maupun menanam bibit dari polybag. “Kalau jadi petani harus punya lahan luas, ini waham yang keliru dan harus dihapuskan. Karena, kita bisa memberdayakan masyarakat dengan menanam cabe di polybag. Paling minimal untuk diri-sendiri dulu, kalau berhasil bisa bagi atau jual ke tetangga,” imbuh dia.
“Jika satu RT saja punya 100 polybag, kelebihannya bisa jadi kas RT. Ini saya menyebutnya sebagai kestabilan rumah tangga,” lanjut Riki yang sudah mulai terapkan hal tersebut di kampungnya.
Ia mengaku optimis, Indonesia dapat menjadi negara besar yang akan dimulai dari desa, yaitu kegiatan produksi dari pertanian dan juga peternakan. Namun, ia pribadi mengatakan, tidak banyak berharap kepada pemerintah. “Kita tidak berharap banyak ke pemerintah. Yang penting, berbakti untuk negeri,” tutup Riki.
Eveline Ramadhini