Membangun rumah tangga harmonis bukan hal yang mudah. Pasalnya, dua orang yang disatukan dari keluarga berbeda, pengalaman berbeda, menjadikan masing-masing diri memiliki karakteristik berbeda sehingga rentan terjadi konflik. Bagaimana atasi konflik tersebut?
Wartapilihan.com, Depok –Konflik dalam bahtera rumah tangga ialah suatu yang niscaya terjadi. Hal ini diungkapkan oleh Hilman Rosyad Shihab selaku konsultan syari’ah dan keluarga. Maka, konflik tersebut harus diatasi oleh kedua pihak, baik istri maupun suami.
“Pertama, harus selalu merujuk pada tujuan, visi dan misi. Yang paling pokok, menikah itu tujuannya adalah mencari ridho Allah. Jadi, mencari pahala bukan mencari gara-gara,” ujar Hilman, dalam Kajian Ahad Pagi, di Masjid Ukhuwah Islamiyah (MUI), Universitas Indonesia, Depok, Ahad pagi, (24/9/2017).
Hilman menambahkan, untuk menjadi keluarga sakinah membutuhkan proses panjang. “Sakinah menggunakan kata kerja (fiil). Fiil mudhori (present tense). Jadi, makna sakinah itu sekarang, besok dan terus-menerus. Sakinah bukan stempel, tapi proses. Kehidupan suami istri menjadi tangga mengabdi kepada Allah. Cita-citanya menjadi sakinah,” ujar Ustadz yang memiliki akun Twitter @ustadzhilman ini.
Kedua, Hilman menjelaskan, perbedaan di dalam keluarga sebaiknya tidak dijadikan bahan bakar konflik. Justru, keduanya mesti berupaya saling menyesuaikan dan saling pengertian. “Ada cerita, perempuan baik sholeh cantik dapat suami jahat tapi selalu bersyukur dan bersabar. Nah, perbedaan itu sesuatu yang harus diselesaikan. Bersuami istri harus ikhlas. Bisa menerima jika tidak sesuai dengan harapan,” tutur dia.
Lelaki kelahiran Garut ini pun menegaskan, kemampuan komunikasi sangat penting bagi suami dan istri. “Meski seseorang ekstrovert maupun introvert, jika dilatih komunikasi yang baik, pasti akan bisa. Maka, manusia harus terampil berkomunikasi,” imbuhnya.
Ketiga, saling meringankan beban pasangan akan sangat membantu meminimalisir konflik dalam rumah tangga. “Misal, suami sibuk bekerja, istri sibuk bebenah rumah. Keduanya merasa yang paling capek. Jadinya keduanya saling emosi, padahal kalau saling meringankan, misal suami bantu beres-beres, istri bantu pijitin, tanya masalah di kantor apa, pasti bisa baik,” tutur Helmi.
Dan yang paling penting, menurut dia, belajar menjadi pasangan yang penyabar. Karena pasti ada sesuatu yang tidak disukai dari pasangan karena punya cara pandang yang berbeda terhadap sesuatu. “Ada istri yang konsul ke saya, suaminya suka marah-marah. Padahal dulu, ia dididik orang tuanya yang single parent dengan keras. Jadi, dia enggak menganggap bahwa itu marah. Tapi, istri menganggap dia marah karena dibesarkan di keluarga yang lembut atau ‘anak mami’,” ujarnya.
“Maka, punyailah kesabaran yang tanpa batas. Karena sabat itu tidak ada batasnya. Kalau sudah melewati batas sabar, bukan sabar lagi namanya. Belajarlah dari kisah Khadijah istri Rasulullah dan juga Asiyah istri Fir’aun yang tetap beriman meski dizalimi,” pungkas Hilman.
Eveline Ramadhini