Kekerasan seksual terjadi kepada dua orang anak SD berusia enam tahun. Hal yang lebih miris, yang memperkosanya adalah dua anak SD pula yang juga di bawah umur, kelas 6 SD. Mengapa hal ini terus terjadi?
Wartapilihan.com, Jakarta — Kejadian ini terjadi di Serang, Banten. Dua bocah yang merupakan tetangga dari dua korban diduga melakukan hal ini karena terpengaruh dari video porno yang ditontonnya pada sebuah ponsel. Mereka melakukan kekerasan seksual tersebut di lapangan bola, pada bulan Juni lalu.
Hal tersebut disampaikan Kapolres Serang Kota, AKBP Komarudin. Akibat perbuatan dua bocah SD itu, korban pun mengalami luka lecet pada alat vitalnya. Meskipun tidak sampai merusak selaput dara.
Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Serang Kota, AKP Richardo Hutasoit mengatakan, kendati ada bukti atas perbuatan kedua anak tersebut, namun pihak kepolisian tidak bisa menahannya. Pasalnya, terdapat UU nomor 3 tahun 2012 tentang perlindungan anak, dan juga UU nomor 3 tahun 1997 tentang batas usia anak yang boleh divonis di pengadilan.
“Walau tidak dilakukan penahanan, bukan berarti tidak diproses. Proses tetap berjalan, tetapi tidak dilakukan upaya hukum penahanan,” kata Richardo di Serang, Jumat (20/7/2018).
Uut Lutfi, selaku Kepala Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Banten mengatakan, kejadian ini baru diproses karena sampai saat ini pihak kepolisian masih dalam proses penyelidikan. Uut menekankan, pihaknya akan terus mendampingi korban lebih lanjut.
“Kami tidak hanya melakukan pendampingan hukum terhadap korban, tetapi juga pendampingan psikologis,” kata Uut, di acara ‘Apa Kabar Indonesia’ tvOne, Jum’at, (20/7/2018).
Pendidikan Seksual yang Rendah
Mellisa Grace selaku Psikolog menjelaskan, adalah hal yang lumrah jika anak berusia remaja di usia 10 hingga 12 tahun memiliki hasrat seksual. Pasalnya, pada usia remaja tersebut, terjadi perubahan hormon seksual yang memerlukan penyaluran.
“Di tahap ini, ialah tahap yang belum matang secara dewasa tapi bukan anak-anak. Maka terjadilah kebingungan peran, kebingungan perilaku, dan juga bingung, kemana dorongan (seksual) ini harus disalurkan,” tutur dia, dalam kesempatan yang sama.
Jika tidak dilakukan edukasi seks oleh orangtua, maka remaja akan cenderung melakukan coba-coba.
“Kalau tidak diedukasi, remaja cenderung coba2 trial dan error’. Bisa meniru, bisa fantasi, bisa juga lihat dari lingkungan sosmed, dan lainnya,” lanjutnya.
Mellisa menambahkan, mengapa korban yang dipilih lebih muda, karena dia merasa lebih aman dan juga memiliki kebutuhan untuk merasa ‘lebih’.
“Itu terjadi karena kebutuhan untuk feel superior. Adanya dorongan seksual yang tidak diikuti pendampingan, akhirnya mereka memikirkan, bagaimana harus menyalurkan itu tanpa memikirkan efek jangka panjangnya,” tegasnya.
Oleh karena itu, ia menekankan agar orangtua harus mengajarkan pendidikan seksual sejak dini, dalam bahasa psikologi disebut sebagai program tumbuh kembang anak.
“Contoh, anak disuruh menyebutkan alat vital dengan bahasa yang dipakai secara formal dan medis, pada konteks yang tepat. Anak tahu bagian tubuh mana yang boleh dilihat sama orang lain, mana yang gak boleh,” imbuh Mellisa.
Kendati masih berusia sangat kecil, empat tahun misalnya, anak telah diajarkan bagian tubuh yang privat dan tidak boleh diperlihatkan pada publik.
“Tangan, misalnya, boleh dilihat publik, orangtua perlu memberikan bekal agar anak punya perlindungan untuk dirinya-sendiri,” tukasnya.
Lebih lanjut, Mellisa mengungkapkan, kebutuhan fisik, emosi dan sosial anak perlu dicukupi oleh keluarga, sehingga anak tidak mencari hal tersebut di luar kelurarga.
“Kalau kebutuhan itu sudah dipenuhi di rumah akan mengurangi resiko, apakah anak masih di bawah umur atau bagaimana. Ketika beraktivitas di sosmed situs apa yang dibukanya, hal itu sangat dibutuhkan orangtua dan pendidik. Lakukan kegiatan positif olahraga, kursus dan beragam hal,” pungkasnya.
Eveline Ramadhini