Dalam aplikasinya, Fazlur menganggap bunga Bank bukan riba, menolak poligami dan membolehkan penyembelihan hewan qurban dengan mesin mekanik.
Wartapilihan.com, Jakarta —Akhir-akhir ini kritik yang ditujukan kepada para mufassir Al-Qur‘an baik klasik maupun modern semakin menajam. Diantara faktornya adalah masyarakat Muslim secara umum dianggap tidak responsif terhadap nilai-nilai modernitas. Hal ini diperparah lagi dengan kondisi umat Islam sendiri yang semakin merosot dalam berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, budaya serta sains dan teknologi.
Hal inilah yang melatarbelakangi kaum modernis terlepas dari berbagai motivasinya mengajak kaum Muslimin untuk berfikir kembali (rethinking) tentang cara berinteraksi dengan khazanah Islam (at-turats), terutama studi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Diantara tokoh tersebut adalah Fazlur Rahman.
Menurut Fazlur, kegagalan umum dalam memahami pokok-pokok keterpaduan Al-Qur’an adalah cara mentafsirkan Al-Qur’an yang terpisah-pisah (isolation), sepotong-potong (atomistic) dan tebang pilih (ad hoc), tanpa memperhatikan sifat graduasi (tanzil) dan kronologis historia sosialnya (asbab al-nuzul).
Jika metode pentafsiran tersebut, lanjut Fazlur, diterapkan secara individual dan terpisah dalam berbagai situasi, maka boleh jadi akan menyesatkan. Metode taf’sir AI-Qur’an seperti ini, cenderung dilakukan oleh banyak da’i, bahkan oleh banyak intelektual Muslim. Melihat fenomena ini, Fazlur mengumumkan agar memahami Metode Qur’an dengan metode yang tepat, yaitu melalui teori hermeneutika yang dia namakan Double Movement (Gerakan Ganda).
Gerakan Pertama: Situasi kini ke masa Al-Qur’an diturunkan
Menurut Fazlur, Al-Qur’an adalah respons llahi (a divine respone), melalui ingatan dan pikiran Nabi, kepada situasi sosial-moral (moral-social situation) Arab pada masa Nabi. Surat-surat awal Al-Qur’an menunjukkan sangat jelas betapa akutnya masalah yang terjadi di masyarakat Arab saat itu, politheisme (penyembahan berhala), eksploitasi kaum miskin, permainan kotor dalam perdagangan dan ketiadaan tanggungjawab umum terhadap masyarakat.
Kemudian Al-Qur’an turun tidak hanya menjelaskan gagasan tentang Tuhan Yang Esa dan kepada siapa semua manusia bertanggungjawab. Namun juga bertujuan menghilangkan ketimpangan sosial-ekonomi yang menyolok.
Teologi Al-Qur’an dan ajaran-ajaran moral serta hukumnya, lanjut Fazlur kemudian secara gradual mengungkapkan diri dalam arena politik seperti penolakan orang-orang Makkah terhadap risalah Muhammad hingga debat berkepanjangan yang menyusulnya. Setelah itu dalam periode Madinah, kontroversi yang dilancarkan terhadap orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen, membentuk latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an
Jadi, menurut Fazlur bahwa Al-Qur’an dan asal-usul komunitas Islam muncul dalam sinaran sejarah dan berhadapan dengan latar belakang sosio-historis. Sedangkan Al-Qur’an adalah respon terhadap situasi tersebut. Sebagian besarnya terdiri berbagai pemyataan moral, religius dan sosial yang menanggapi problem-problem spesifik yang dihadapkan dalam situasi-situasi konkrit.
Terkadang Al-Qur’an, hanya memberikan suatu jawaban bagi sebuah pertanyaan atau suatu masalah. Akan tetapi biasanya jawaban-jawaban ini dinyatakan dalam batasan-batasan suatu ratio legis (‘illah) yang eksplisit atau semi eksplisit.
Sementara ada juga hukum-hukum tertentu yang dipermaklumkan dari waktu ke waktu. Meskipun Al-Qur’an hanya memberikan jawaban-jawaban sederhana, tetapi sangat memungkinkan untuk menyimpulkan hukum-hukum umum dari alasan-alasannya dengan mengkaji latar belakangnya.
Langkah Pertama dari Gerakan Ganda yang disebutkan di atas, terdiri dari dua langkah. Pertama, orang harus memahami arti atau makna dari sesuatu pemyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pemyataan Al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya.
Tentu saja, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi-situasi spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat istiadat, lembaga-lembaga, bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam dan khususnya di sekitar Makkah -dengan tidak mengesampingkan peperangan-peperangan Persia-Byzantiumakan harus dilakukan.
Langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah memahami makna Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan di samping dalam batas-batas ajaran-ajaran khusus yang merupakan respons terhadap situasisituasi khusus.
Jadi, Gerakan Pertama (dari masa sekarang ke masa turunnya Al-Qur’an) terdiri dari dua langkah. Langkah Pertama adalah memahami makna Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan (whole) di samping dalam batas-batas ajaran-ajaran khusus (legal-spesifik) yang merupakan respons terhadap situasi-situasi khusus.
Langkah Kedua adalah menggeneralisir jawaban-jawaban spesifik tersebut (legal-spesifik), lalu menyimpulkan hukum-hukum umum (prinsip umum) untuk tujuan moral (ideal-moral) yang ‘disaring’ dari ayat-ayat spesiflk dengan memperhatikan sebab latar belakang kronologis-historisnya dan ratio-legis.
Gerakan Kedua: Situasi masa Al-Qur’an diturunkan ke masa kini
Gerakan Kedua, dari mas’a AI-Qur’an diturunkan kembali ke masa sekarang. Artinya bahwa setelah menemukan prinsip-prinsip umum (ideal-moral) yang disaring dari hukum spesifik, lalu akan diturunkan untuk masa sekarang. Dalam pengertian bahwa ajaran-ajaran yang bersifat umum tersebut harus ditubuhkan (embodied) datam konteks sosio historis yang konkrit di masa sekarang. Akan tetapi hal tersebut diperlukan kajian cermat atas situasi sekarang dan analisis berbagai unsur-unsur komponennya. Tujuannya agar bisa menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi sekarang jauh yang diperlukan dan menentukan prioritas kertas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’an secara baru.
Hubungan antara gerakan pertama dengan gerakan kedua adalah bahwa gerakan kedua berfungsi sebagai pengkoreksi hasil-hasil dari gerakan pertama; yaitu hasil-hasil dari pemahaman dan. Oleh karena itu, jika hasil-hasil pemahaman gagal dalam aplikasi sekarang, maka tentunya telah menjadi kegagalan dalam menilai situasi sekarang dengan tepat atau kegagalan dalam memahami Al-Qur’an.
Aplikasi dalam Bunga Bank
Fazlur memahamkan bahwa tidak sulit melihat titik poin yang sebenarnya dari sebuah sebuah ayat atau arti yang mendasar dari sebuah keputusan hukum. Al-Qur’an untuk sebagian sebagian besamya, secara eksplisit menyatakan mengapa sebuah perintah diberikan, atau atau sebuah pernyataan atau komentar dibuat, walaupun itu jarang merujuk kepada sebuah sebuah kasus khusus (specific case) yang terjadi. Fazlur berargumen tentang persoalan aktual aktual riba bahwa pada saat itu suku-suku Arab yang terbelenggu oleh riba (burdened by incurable riba debts) mengancam akan menimbulkan kerusuhan (threatening to cause cause trouble), tidak disebut sama sekali.
Namun, pranata riba dikutuk sekeras-kerasnya kerasnya sebagai bentuk penghisapan darah (exploitation) yang terkutuk. Adapun ancaman ancaman perang dari Allah dan Rasul-Nya adalah dipermaklumkan atas orang-orang yang yang tidak mau menghentikan riba. Ketika sebuah alasan untuk perintah pasti tidak secara secara eksplisit dinyatakan, adalah sulit untuk memperkirakan maksudnya.
Sedangkan Gerakan Kedua untuk penerapan masa sekarang, Fazlur menghalalkan bunga bank dengan alasan bahwa suatu sistem ekonomi dapat disusun dimana dimana bunga bank bisa dihapuskan. Akan tetapi, keadaan saat itu tidak memungkinkan bagi konstruksi idealis tersebut. Selama masyarakat Islam belum direkonstruksi berdasarkan pola lslam, maka akan merupakan langkah bunuh diri bagi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan sistem fmansial negara, serta bertentangan dengan spirit dan tujuan Al-Qur’an dan Sunnah jika bunga bank dihapus.
Kritik atas Penghalalalan Bunga Bank
Pandangan Fazlur di atas tidaklah tepat. Ayat Al-Qur’an yang awal tentang ribd, surat riba, surat ar-Rum (30:39) turun di Makkah (Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar ia bertambah paa’a harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat melipat gana’akan). Lalu praktek riba di kalangan Yahudi (4:161) turun tahun ke-3 H di H di Madinah (Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan-jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu mereka itu siksa yang pedih).
Setelah itu kaum beriman dilarang memakan riba dengan berlipat ganda (3:130) juga turun di Madinah (Hai orang-oran beriman, janganlah kamu memakan Ribd dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepaa’a Allah supaya kamu mendapat keberuntungan). Perintah Allah kepada kaum beriman agar meninggalkan riba (2:278) terjadi setelah fathu Makkah, Ramadhan 8 H (Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa rib (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman). Setelah itu saat haji wada’, Rasulullah SAW menegaskan, “Sesungguhnya semua riba jahiliyah dihapus. Maka bagi kalian hanyalah pokok dari harta kalian. Kalian tidak menganiaya dan tidak pula dianiya”.
Bunga bank adalah bank interest, yaitu sejumlah imbalan yang diberikan oleh bank kepada nasabah atas dana yang disimpan di bank, yang dihitung sebesar presentase tertentu dari pokok simpanan dalam jangka waktu tertentu. Selain itu juga tingkat bunga yang dikenakan terhadap pinjaman yang diberikan bank kepada debitur. Dengan demikian, bunga bank termasuk bagian dari jenis riba nasi’ah (rib jahiliyah). Oleh karena membayar hutang yang ditunda pembayarannya dengan adanya tambahan yang dipersyaratkan. Haramnya riba merupakan hukum yang qath ’i.
Namun Fazlur mengharamkan riba‘ dengan alasan ratio legis (‘illah) yang bersifat menimbulkan ancaman kerusuhan dan eksploitatif. Falur tidak setuju jika bunga bank termasuk riba. Sehingga tidak menolak penghapusan bunga bank di Pakistan dengan alasan ikut andil dalam proses pembangunan ekonomi, meskipun termasuk kedzaliman. Menghalalkan bunga bank (riba) walaupun tidak bersifat menimbulkan ancaman kerusuhan dan eksploitatif, adalah pandangan yang tidak tepat.
Aplikasi dalam Poligami
Fazlur menolak poligami sebagai salah satu contoh pemahaman reformasi sosial Al-Qur’an yang lebih menekankan pembedaan hukam legal (legal enactments} dengan tujuan moral (moral injunction. Bagi Fazlur, hanya dengan pembedaan ini, bukan hanya dengan memahami kebenaran orientasi ajaran Al-Qur’an, namun juga mampu memberi solusi berbagai persoalan rumit secara hati-hati namun pasti, contohnya tentang masalah reformasi wanita, termasuk poligami. Menurut Fazlur, tentang hal ini banyak Muslim yang memegang tradisi hukum legal secara esensi memandang Al-Qur‘an sebagai kitab hukum (lawbook) dan bukan sumber keagamaan dari hukum (religious source of the law), sehingga merasa tidak mudah disalahkan.
Fazlur berargumen tentang poligami, bahwa dengan bertahap secara psikologi AlQur’an dalam an-Nisa (4:3) menggariskan: jika seorang lelaki takut tidak dapat berbuat adil kepada perempuan yang yatim (bila mengawininya), maka dia diijinkan mengawini dua, tiga, atau empat orang diantara perempuan-perempuan lain; namun jika takut tidak dapat berlaku adil, maka cukup mengawini satu perempuan saja. Dalam surat an-Nisa’ (4:2) diingatkan bahwa para wali dari anak-anak yatim (korban peperangan yang sering terjadi) dikutuk karena menyelewengkan harta kekayaan mereka. Agar tidak menyelewengkan hana benda anak-anak perempuan yatim, maka para wali tersebut boleh mengawini sampai 4 orang di antara mereka, asalkan mereka dapat berlaku adil.
Konteks tafsir yang tepat dari teks didukung oleh keterangan yang mungkin lebih dahulu turun dari pada surat an-Nisa’ (4:3). Secara esensial masalah perempuan, adalah perempuan yatim yang hak-haknya tidak dapat dipenuhi oleh kaum lelaki tapi justru lebih suka mengawininya, dan masalah perempuan juga mengenai anak-anak yang lebih muda dan Iemah (4:127). Keterangan ini menunjukkan dalam konteks perempuan-perempuan yatim, namun Al-Qur’an menyatakan bahwa betapapun kalian menginginkannya, namun tidak akan dapat berlaku adil kepada perempuan-perempuan tersebut (4:129).
Menurut Fazlur, tentang masalah poligami di atas tampak ada kontradiksi antara izin menikahi sampai 4 istri dan keharusan bersikap adil terhadap para istri, dengan pernyataan tegas bahwa keadilan terhadap istri-istri tersebut adalah mustahil (impossible).
Kritik atas Penolakan Poligami
Pandangan Fazlur di atas tidaklah tepat. Sebab diturunkannya (asbab an-nuzul surat an-Nisa’ (4:128-129) berkenaan dengan Aisyah ra. Oleh karena Nabi saw. mencintainya dengan kecintaan yang lebih besar daripada istri-istri belau yang lainnya. Disebutkan bahwa: Artinya: Rasullullah SAW. pernah bersumpah dan berlaku adil seraya berdoa, “Ya Allah inilah pembagian giliran yang mampu aku miliki, maka janganlah engkau mencelaku pada sesuatu yang Engkau miliki, dan tidak kumiliki.”
Keadilan yang tidak akan pemah mampu direalisasikan sebagaimana yang dimaksud dalam surat dan hadits di atas adalah dalam hal yang bersifat bathim’yah, yaitu rasa cinta. Dengan demikian, syarat adil lebih bersifat dzahiriyyah seperti keadilan suami dalam memberi makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan giliran bermalam. Tidak termasuk keadilan dalam rasa cinta yang juga harus dituntut sama.
Adapun alasan lain penolakan poligami oleh Fazlur, sebagai penerapan Gerakan Kedua Double Movement untuk masa sekarang bahwa Al-Qur’an menggariskan monogamy sebagai hukum moral untuk tujuan jangka panjang, tetapi mengijinkan poligami sebagai jalan keluar yang sah karena situasi yang mendesak. Sungguh, kondisi di Arabia pada waktu itu dalam ha] tertentu adalah lebih buruk dari pada di Barat pada masa sesudah perang, dengan persamaan bahwa jumlah orang laki-laki menurun tidak seimbang dibanding dengan jumlah wanita, terutama sekali karena peperangan. Oleh karena di Barat kaum wanita secara ekonomis adalah independen dan bagaimanapun juga masih ada sesuatu bentuk jaminan sosial.
Argumen di atas terkesan kontradiksi. Salah satu ratio legis (‘illah) poligami saat AlQur’an turun adalah banyak sahabat Nabi saw. gugur dalam perang sehingga para istri mereka menjadi janda dan anak-anaknya menjadi yatim. Ketika diterapkan ke masa sekarang (dalam masa kehidupan Fazlur saat Perang Dunia ll), sebenarnya analisis sosiologis cukup menunjukkan butuhnya poligami bagi para janda akibat kematian suami mereka dalam perang. Akan tetapi, hal tersebut tetap dinegasikan Fazlur dengan alasan independensi ekonomi sebagai gantinya. Nam un di sisi lain, justru mengabaikan hasrat biologis dan psikis.
Metode Hermeneutika Fazlur Rahman dengan teori Double movement tidak relevan, kontradiksi dan inkonsistensi dengan beberapa alasan berikut:
Pertama, turunnya Al-Qur’an secara gradual (tanzil) sesuai latar belakang kronologi-historis (asbab al-nuzul) di Makkah di Madinah memang benar adanya. Ulama’ tarikh sekaligus mufassir seperti ath-Thabary, Ibnu Katsir dan Suyuthy serta Hisyam telah membahas hal ini dalam kitab at-Tarikh dan al-sirah al-nabawiyah, bukan kitab Tafs’ir AI-Qur’an. Sedangkan tafsir Al-Qur’an berdasarkan Mushaf ‘Utsmany bersifat Tauqify. Fazlur tidak memiliki karya buku al-sirah al-nabawiyah maupun hermeneutika dalam mentafsirkan Al-Qur’an berdasarkan kronologis-historis secara lengkap 30 juz.
Kedua, metode hermeneutika Double movement Gerak Pertama dalam dua langkah, untuk pengambilan ideal-moral dari legal-spesiflk berdasarkan ratio legis adalah tidak valid karena sangat spekulatif. Pengambilan ‘ibrah adalah berdasarkan keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab tanpa spekulatif.
Ketiga, implikasi Double Movement tentang penghalalan riba berupa bunga bank dan penolakan terhadap poligami adalah bertentangan dengan hukum Syari’at Islam yang bersifat qath ’i (pasti).
Rachmad Abdullah/Zuhdi