“Kalau pemerintah korupsi untuk kepentingan politik, maka bisa menjadi mantra sakti untuk melanggengkan perbuatannya,” ujar Adhie M Massardi.
Wartapilihan.com, Jakarta –Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir-akhir ini tidak kurang dari lima sampai enam kali dalam sebulan melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Di tengah hangatnya polemik antara KPK dan Pansus Angket KPK DPR RI, lembaga anti rasuah tersebut mampu bekerja dengan intens melakukan pemberantasan korupsi di berbagai daerah.
Namun, di antara kasus tersebut, sejumlah kasus mega korupsi belum dituntaskan hingga saat ini. Diantaranya kasus BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia), Bank Century, Hambalang, Pelindo, RS. Sumber Waras, reklamasi pantai utara, dan pengadaan bus transjakarta. Terlebih, kata dia, kasus korupsi yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ketika menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta menjadi pemantik kemarahan umat Islam selain kasus penistaan agama.
“Di KPK ada lima komisioner, kalau ada masalah-masalah biasanya diselesaikan melalui votting. Ketika KPK tak bisa masuk ke korupsi Balaikota (Ahok), pasti ada tiga komisionernya yang mendukung Ahok. Yang paling lantang menolak ini kan Basaria. Tingga dilihat saja, Basaria sama siapa lagi. Kita bisa chek mekanisme pengambilan keputusan di KPK seperti apa,” kata Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie M Massardi dalam sebuah diskusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (23/9).
Selain itu, lanjut Adhie, KPK berhak terus mengusut kasus mantan Bupati Belitung Timur tersebut, meskipun saat ini mendekam di Mako Brimob. Sebab, apabila kasus ini dibiarkan terus berlarut, masyarakat semakin sadar ada upaya yang dilakukan oleh KPK untuk melindungi Ahok. Ditambah, opini yang dibangun selama ini pemimpin non Islam bersih, anti korupsi dan jujur.
“Kalau BPK dan KPK bisa mengusut Ahok, saya yakin gerakan itu (ABI) akan hilang. Karena di dalam pikiran masyarakat ada kekuatan besar yang menindas dan memusuhi Islam. Saya melihat faktanya KPK tak berdaya saat menghadapi Ahok. BPK tak bisa meyainkan KPK untuk masuk ke Balaikota,” jelas dia.
Lebih jauh, kata Adhie, ada tiga pemain struktur utama budaya korupsi di Indonesia. Yaitu pihak swasta, politisi dan pejabat publik. Termasuk dari level presiden sampai tingkat lurah. Sebab itu, saran dia, jika KPK membuat masyarakat menjadi distrust (hilang kepercayaan), dia meminta Pansus Angket KPK merekomendasikan memilih ulang komisioner KPK.
“Sebab, sikap KPK kemarin hampir membawa bangsa ini ke dalam masa jahiliyah. Yaitu konflik antar suku, adat, ras dan agama. Ini yang harus kita ingatkan, KPK harus di format ulang agar tidak terjadi lagi. Wawasan kebangsaan dan kenegaraan harus diperkuat ketika fit and proper test nanti,” pungkasnya.
Dalam kesempatan itu, pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menuturkan, susbtansi OTT bukan terletak pada angka yang di korupsi seorang tersangka. Melainkan peningkatan kinerja KPK secara sustainable dalam memberantas budaya korupsi.
“Selemah apapun Komisioner, KPK tetap independen. Semua yang dilakukan KPK merupakan kerja yuridis. Saya merupakan yang tidak setuju dengan hak angket. Kesimpulan melemahkan atau menguatkan tetap ada. Dan angket arahnya kesana (melemahkan), berdasarkan kekuatan di media,” terangnya.
Terlebih, lanjutnya, ada mekanisme pengawasan hukum dalam internal KPK. Bahkan lembaga yang lahir dari rahim reformasi itu seringkali kalah dalam beberapa persidangan peradilan. DPR sebagai lembaga pengawasan, tuturnya, sudah jelas mendengarkan keterangan-keterangan dari KPK dalam RDP (rapat dengar pendapat). Tidak perlu menggulirkan hak angket.
“Teman-teman Pansus (angket KPK) itu sebenarnya menjatuhkan marwah DPR. Dalam supervisi Bab 84 Undang-Undang perbuatan korupsi, dia (DPR) boleh mendelegasikan ke lembaga lain apakah Kepolisian atau Kejaksaan,” tandas Fickar.
Ahmad Zuhdi