Wartapilihan.com – Bocoran surat Sekretaris Kota Administrasi Jakarta Pusat, Iqbal Akbarudin, yang ditujukan kepada Kepala Kementerian Agama dan Ketua Dewan Masjid Kota Administrasi Jakarta Pusat, tertanggal 24 Maret 2017, menorehkan persoalan baru. Surat tersebut tidak hanya memonitor kegiatan khotbah atau ceramah di masjid-masjid di gedung-gedung pemerintah pemerintah di wilayah DKI Jakarta. Tapi, lebih dari itu, juga dilakukan seleksi terhadap para pengkhotbah dan penceramah serta ditentukan topiknya.
Keluarnya surat tersebut menjelang Pilgub DKI Jakarta putaran ke-2 yang berlangsung pada 19 April nanti, tidak ada tafsir lain kecuali untuk kepentingan Pilgub tersebut. Sebagaimana diketahui, di masjid-masjid di DKI Jakarta, sejak menjelang Pilgub 15 Februari lalu, para khotib dalam khotbahnya acap mengingatkan pentingnya memilih pemimpin Muslim. Inilah yang dituduhkan oleh pihak pemerintah sebagai muatan politis dan agama dibawa-bawa dalam urusan politik.
Jika ini benar-benar dilaksanakan, maka nantinya akan terjadi dikhotomi: ada masjid pemerintah, ada masjid swasta. Di masjid pemerintah, isi khotbah atau ceramahnya tentang yang ma’ruf-ma’ruf; sedangkan di masjid swasta isinya amar ma’ruf nahi munkar.
Islam, sebagai Dien, menyuruh umatnya melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Inilah tugas umat Islam yang oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala diberi predikat sebagai umat yang terbaik. Umat terbaik itu punya misi menyampaikan amar ma’ruf dan nahi munkar, sebagaimana tersurat dalam surah Ali Imran ayat 110:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Amar ma’ruf nahi munkar adalah satu paket. Seorang Muslim tidak dibenarkan hanya melakukan yang ma’ruf-ma’ruf saja sementara kemunkaran di depan mata dibiarkan. Betapa pentingnya urusan amar ma’ruf nahi munkar ini, membuat Imam Al-Ghazali(1058 – 1111 M), dalam kitab babonnya, Ihya’ Ulumuddin, membahas khusus dalam satu bab tentang amar ma’ruf nahi munkar. Menurut Al-Ghazali, amar ma’ruf nahi munkar adalah inti dari ajaran Islam. “Inilah misi utama yang dibawa oleh para Nabi.” tulis Sang Imam.
Umat Islam yang tidak melaksanakan peran amar ma’ruf nahi munkar akan mendapat laknat dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala melalui lisan Nabi Daud ‘alaihi salam dan Nabi Isa ‘alaihi salam, sebagaimana yang pernah ditimpakan kepada Bani Israel.
Adapun peran seorang khotib atau penceramah di masjid-masjid, adalah untuk melaksanakan fungsi amar ma’ruf nahi munkar tersebut. Termasuk di dalamnya menyampaikan kebenaran Al-Quran tentang memilih pemimpin. Jadi, jika ada khotib atau penceramah menyampaikan isi surah Al-Maidah 51 tentang dilarangnya umat Islam memilih pemimpin kafir, maka itu adalah bagian dari dakwah, bukan menyampaikan ujaran kebencian (hate speech).
Oleh sebab itu, jika di masjid-masjid di Jakarta para khotib dan penceramah dilarang menyampaikan isi kandungan dari surah Al-Maidah 51, itu menyalahi UUD ’45. Dalam UUD ’45 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Mengapa amar ma’ruf nahi munkar menjadi penting? Setidaknya ada ada dua hal. Pertama, Sebagai hujjah untuk menyampaikan kepada umat manusia agar berjalan sesuai dengan ajaran-Nya. Jika ada bencana di tengah-tengah umat, tidak ada lagi yang berdalih bahwa selama ini tidak ada yang mengingatkannya; dan Kedua, untuk mendapatkan kepemimpinan yang terbaik di muka bumi.
Lalu, apa akibat meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar? Pertama, akan timbul kerusakan di muka bumi yang tidak khusus menimpa kepada mereka yang zalim dan dan gemar maksiat, tapi juga kepada mereka yang beriman(QS. Al-Anfal: 25); Kedua, tidak terkabulnya doa (HR. Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi, derajat hadits Hasan); dan Ketiga, mendapat laknat dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala melalui lisan Nabi Daud ‘alaihi salam dan Nabi Isa ‘alaihi salam, sebagaimana yang pernah ditimpakan kepada Bani Israel (QS. Al-Maidah; 78-79). Wallahu A’lam. |
Penulis: Herry M. Joesoef