Ketika Budayawan Berkumpul Melawan Ahok

by
Dari kiri ke kanan, budayawan : Imam Ma'arif, Asrizal Nur, dan Chavcay Syaifullah. Foto : Ismail Alam.

Wartapilihan.com, Jakarta – Beberapa lelaki berambut gondrong tampak mondar-mandir di sekitar Aksi Kawal Sidang Ahok yang dilakukan massa gabungan ormas Islam di Jakarta, Selasa (24/1) lalu. Mereka berada di sekitaran sebuah posko berlambang Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi). Di posko itu, terdapat tulisan “Puisi Meruwat Negeri”, juga papan gabus yang ditulisi puisi-puisi. Ini sudah kali ketiga, Departemen Seni dan Budaya Parmusi menampilkan karya seni dalam mengawal sidang Ahok. “Kami ingin memberi warna budaya dalam aksi ini, sebagai refleksi para seniman terhadap penistaan agama. Penistaan agama adalah tragedi kemanusiaan.” kata Ketua Departemen Seni dan Budaya, Chavcay Syaifullah, kepada Warta PIlihan. Di dua sidang sebelumnya, Chavcay dan kawan-kawan menampilkan teater “Sekuntum Penjara Untuk Ahok” (10/1) dan pameran seni rupa (17/1).

Salah satu lelaki di sana tampak menyeramkan, dengan rambut beruban sebahu, kumis tebal, dan tubuh yang besar. Dialah Imam Ma’arif, yang turut berorasi dan membaca puisi dari atas mobil komando. Tindakan penistaan agama, bagi Ma’arif, seharusnya cepat ditindak dan diberi hukuman. “Kalau mengerti bahasa Indonesia, dengan atau tidak menggunakan kata ‘pakai’, ucapan itu sudah bernilai penistaan.” kata dia, mengacu pada ucapan Ahok di Kepulauan Seribu, September tahun lalu. Ia lalu membacakan puisi berjudul “Ayat Pemberontak”, yang tiap baitnya disebut ayat dengan nomor berurutan. Di ayat 2, misalnya, Ma’arif mengkritik belenggu penguasa atas kesadaran masyarakat.

“Ayat 2

Jika ada yang berkuasa atas pikiranmu
Ambillah sebuah kapak
Lalu pecahkan kepala penguasamu
Supaya mereka tahu
Rasanya dungu”

Di ayat keempat, dia membangkitkan kesadaran umat tentang pentingnya berkorban, ketika ada seseorang yang menistakan keyakinan umat.

“Ayat 4

Jika ada yang menghina keyakinanmu
Persembahkan hartamu
Persembahkan darahmu
Persembahkan nyawamu”

Selain Ma’arif, tampil dua penyair kawakan yang menyuarakan keprihatinan serupa. Keduanya adalah Taufiq Ismail dan Asrizal Nur. Dengan mengenakan jaket Parmusi, Taufiq Ismail membacakan dua puisi. Isi dari puisi tersebut adalah ajakan kepada umat Islam untuk terus menaruh rasa optmisitis di setiap perjuangan menuntut keadilan, termasuk di dalam kasus penistaan agama ini.

“Masih adakah orang yang adil di negeri kita?
Masih. Mudah-mudahan, yang duduk berjajar
Di atas meja dengan taplak hijau
Menjalankan keadilan itu
Menjatuhkan hukuman kepada penista Qur’an
Menjatuhkan hukuman yang tegas kepada penista Qur’an
Menjatuhkan hukuman yang tidak ragu-ragu
Kepada penista Qur’an”

Demikian sepenggal puisi dari Taufiq Ismail. Penyair yang terlibat dalam konfrontasi dengan sayap kebudayaan PKI, Lekra, di tahun 60-an ini juga menuliskan kalimat tegas di atas sebuah gabus. “Penjarakan Penista Al-Qur’an!” demikian tulisnya, sambil membubuhi tanda tangan di bawah tulisan itu.

Setelah Taufiq Ismail dan Imam Ma’arif, penyair asal Pekanbaru Asrizal Nur tampil menyampaikan orasi. Direktur Eksekutif Yayasan hari Puisi ini mengungkapkan keprihatinan atas lambatnya penegakan hukum atas penistaan yang dilakukan Ahok. Menurut Chavcay, keberpihakan para penyair dalam kasus ini terhadap kubu umat Islam penentang Ahok adalah bentuk permenungan yang matang. |

Reporter : Ismail Alam

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *