Kerajaan Saudi Antara Pemuji dan Pengritiknya

by
Presiden Obama dan Raja Salman. Foto : Deutsche Welle.

Wartapilihan.com – Mohammad Luthfi Zuhdi, Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia melontarkan kritiknya kepada Raja Salman dan rombongannya karena rencananya berpiknik lama ke Bali. “Kalau kita thawafnya ke Mekkah, mereka thawafnya ke Bali,”ujarnya dalam sebuah seminar di UI Depok minggu lalu.

Luthfi memang benar. Meski banyak puji-puji saat ini ke Raja Salman, pengkritiknya dari kalangan Muslim sendiri, juga tidak sedikit. Mungkin Raja Salman akhlaknya bagus, tapi tingkah laku keluarga kerajaan Saudi dan pangerannya sulit untuk tidak dikritik.

Prof Jeffry Lang, ahli matematika dan mualaf dari Amerika, dalam sebuah bukunya bercerita tentang keinginannya untuk belajar Islam di Saudi selama beberapa tahun. Tapi hanya beberapa bulan ia harus cepat berkemas balik ke negaranya. Ia menyatakan bahwa ia tidak menemukan budaya intelektual atau `budaya ilmu` (dialog atau silang pendapat) di Saudi.

Seorang wartawan senior menyatakan bahwa bila ke Saudi, maka akan mendapatkan orang-orang dari Abu Bakar sampai Abu Jahal. Maksudnya, di Saudi pun masih banyak orang-orang atau budaya jahiliyah.

Kritik yang paling lugas biasanya datang dari kalangan harakah-harakah Islam. Yaitu tentang keberadaan pangkalan militer Amerika di Dahran. Dimana, karena adanya pangkalan militer ini, kehidupan `bebas` jadi marak di sana. Padahal, sesuai dengan perintah Rasulullah saw, Saudi atau jazirah Arab harusnya bersih dari orang-orang kafir (yang berperilaku jahat/menyimpang dari Islam).

Selain itu, tingkah laku pangeran Arab di luar negeri juga seringkali menjadi sorotan. Beberapa keluarga kerajaan yang perempuan seringkali nampak tidak berjilbab bila keluar negeri.

Perilaku Raja Saudi ketika berkunjung ke luar negeri dari waktu ke waktu memang menarik untuk disimak. Di Spanyol, misalnya pada era Raja Fahd (1982–2005), Saudi membangun sebuah masjid, sebuah pusat kebugaran, serta replika Gedung Putih yang terbuat dari marmer dan emas. Tiga bangunan itu masih kukuh berdiri sampai sekarang di Kota Marbella.

”Saat berlibur di Spanyol itu, Raja Fahd membawa serta sekitar 3.000 orang dalam rombongannya. Selama sekitar tujuh pekan, mereka membelanjakan uang sedikitnya USD 100 juta (sekitar Rp 1,3 triliun) di negara tersebut,” papar Shane Dixon Cavanaugh dan Adi Cohen dalam ulasan mereka di situs berita vocativ. Selama menjabat, Fahd rutin mengunjungi Spanyol saat liburan musim panas tiba.

Bagi Spanyol, mansion yang Fahd bangun sendiri di resor mewah tersebut juga mendatangkan banyak keuntungan. Turis dari berbagai belahan dunia yang penasaran dengan rumah musim panas Fahd lantas berkunjung ke Marbella. Bukan hanya itu, ratusan orang rela antre untuk mendapatkan pekerjaan di mansion milik Fahd tiap kali sang raja hendak berkunjung.

Kali terakhir berlibur di Spanyol sebelum mangkat, Fahd memboyong rombongannya dalam enam pesawat komersial Saudi. Selain kerabat, pejabat, dan pengawalnya, Fahd juga mengajak tim dokter beserta para koki dan pelayan pribadi. Mereka menginap di dua hotel bintang lima yang hampir seluruh kamarnya dipesan (booking) Kerajaan Saudi. Sebab, Fahd sudah sangat sakit saat berlibur terakhir.

Selain mansion di Marbella, Kerajaan Saudi juga memiliki istana supermegah di Swiss. Itu belum termasuk mansion mewah di Kota Vallauris Golfe-Juan, Cote d’Azur, Prancis. Properti apik yang langsung menghadap ke Pantai Mirandole itulah yang menjadi tempat menginap Salman dan rombongannya beberapa waktu lalu. Dan, permintaan istimewa Salman terhadap pemerintah setempatlah yang memantik protes warga.

Menjelang kedatangannya di Prancis, Raja Salman meminta otoritas Vallauris Golfe-Juan menutup Pantai Mirandole untuk umum. Padahal, pantai yang cukup tersembunyi itu adalah surga bagi warga Prancis yang gemar berjemur tanpa busana alias kaum nudis. Karena itu, lahirlah petisi yang didukung sedikitnya 150.000 orang, memprotes permintaan Salman.

Selain menutup pantai, Saudi memaksa pemerintah setempat untuk membangun lift sementara di atas pasir pantai. Tujuannya mempermudah akses Salman ke pantai. Maklum, pengganti Raja Abdullah itu bukan raja yang muda lagi.

Raja Salman juga mendapat kritikan ketika berlibur di Kepulauan Maladewa. Saat itu dia mem-booking tiga pulau sekaligus. Biaya sewa tiga pulau tersebut, kabarnya, mencapai USD 30 juta atau setara dengan Rp 405,39 miliar.

Aksi Salman itu membuat resor-resor di Maladewa membatalkan reservasi sejumlah besar tamu. Mereka terpaksa melakukan itu karena Salman dan rombongan menghabiskan tempat. Betapa tidak, saat itu dia membawa serta ratusan orang dalam acara liburannya. Selain sekitar seratus pengawal pribadi, Salman juga mengusung sebuah kapal pesiar mewah dan rumah sakit terapung.

David Weinberg, cendekiawan sayap kanan di Foundation for Defense of Democracies Amerika Serikat (AS), menyebut agenda liburan mewah Salman dan rombongannya sebagai aksi yang kontradiktif dengan ideologi masyarakat Saudi. Sebagai penganut paham Wahabi, penguasa negeri ultrakonservatif itu tidak seharusnya pamer kekayaan di luar negeri.

”Sebagian besar rakyat Saudi geram dan marah menyaksikan agenda hura-hura rajanya di negara Barat yang hedonis,” kata Weinberg. Biasanya, para penganut Wahabi adalah muslim yang tidak pernah meninggalkan salat, selalu berpakaian sopan, dan antialkohol. Sedangkan di internet, rombongan Salman justru `pamer minuman beralkohol` yang bebas mereka dapatkan di Eropa. (baca http://www2.jawapos.com/baca/artikel/21392/Liburan-Kontroversial-Raja-Arab-Saudi-dari-Masa-ke-Masa)

Itulah sebagian kritik kepada Kerajaan Saudi. Tentu ada banyak hal positif juga yang diperankan oleh Saudi. Misalnya bantuan mereka dalam pembangunan masjid-masjid di luar negeri, bantuan beasiswa kepada mahasiswa-mahasiswa Islam, penyebaran luas Al Quran di berbagai negara dan lain-lain.

Dan aksi mengesankan Raja Salman adalah ketika meninggalkan pertemuan dengan Presiden Obama ketika waktu shalat tiba.

Raja Salman sekarang ini yang hafizh Al Quran dan akhlaknya yang mulia banyak mendapat pujian dari kalangan Islam. Tapi kalangan ahli politik melihat bahwa kerajaan Saudi bukan Raja Salman belaka. Selama, Saudi berbentuk kerajaan, maka hak-hak istimewa keluarga kerajaan justru sebenarnya menjadi masalah. Pengistimewaan ini –`kurang tersentuh hukum`- justru menjadi pemanjaan dan penyelewengan keluarga kerajaan. Dalam masalah budaya ilmu, politik, ekonomi dan hankam Saudi belum menerapkan Islam sepenuhnya.

Jadi bila Saudi ingin benar-benar menjadi negara Islami dan menjadi teladan bagi negeri-negeri Islam lain, maka keluarga kerajaan Saudi sendiri harus mengubah negaranya menjadi demokratis, transparan dan akuntabel terhadap rakyatnya sendiri. Yakni menjadi negeri `demokrasi Islam`. Mungkinkah itu? Wallahu azizun hakim. |

Penulis : Nuim Hidayat

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *