Awal bulan September 626 Masehi atau sekitar tahun 5/6 Hijriyah, Kaisar Heraclius dan orang-orang Turki (Anatolia, Asia Minor) memulai serangan “penentuan”nya ke Kekaisaran Sasanid Persia. Maklum saja, sebagian Palestina dan Suriah yang berabad-abad jadi wilayah Romawi Byzantium telah direbut oleh Persia. Oleh karenanya, peperangan kali ini sangat menentukan wibawa Romawi karena bertujuan mengembalikan bumi Syam ke pangkuan imperium Romawi Timur tersebut. Detail sejarah ini dikisahkan dalam / Chronicle_nya Theopanes (758- 12 Maret 817 M), aristokrat dan penulis sejarah Byzantium abad 8 M, bagian _Annus Mundi 6118. Musim dingin tahun 626 M datang secara tiba-tiba, Kaisar Sasanid Persia Kisra, atau kadang dilafazhkan dengan Kisrau atau Khosrous II (Kisra) pun terkejut.
Di satu sisi Kisra terkejut dengan serangan mendadak Byzantium dan Turki, di sisi lain ia juga terkejut dengan kedatangan musim dingin yang lebih cepat. Ketika pasukan Turki telah mendekat ke Persia, entah lantaran datangnya musim dingin atau takut terbunuh di medan perang, bangsa Turki berbalik enggan menghadapi Sasanid Persia. Tidak jadi ikut berperang. Kendati demikian, Kaisar Heraclius menyemangati pasukannya yang akan tetap teguh memerangi Persia, “Saudara-saudara (para pasukan) tentu kalian tahu kita tidak memiliki sekutu melainkan tuhan (Yesus) dan juga ia yang melahirkannya tanpa setetes mani (Maria). Di sinilah ia akan menampakkan kekuatannya. Sejak jalan keselamatannya tidak diingkari oleh para lelaki dan tentara, setelah itu ia akan menurunkan pertolongannya kepada siapa saja yang beriman pada pengampunannya.” Tentu sebagai kaisar kerajaan Kristen yang sudah terkontaminasi trinitas dan mempersekutukan Allah, bisa dipahami penguasa Romawi Timur itu menyemangati pasukannya dengan kata-kata demikian.
Tidak mau pasif, Kisra juga mempersiapkan pasukannya yang dipimpin oleh panglima Rhazates, pria yang digambarkan sebagai orang yang ahli dan maniak peperangan. Heraclius yang sudah masuk perbatasan Persia membumi hanguskan kota-kota milik Persia. Pada 9 Oktober, Heraclius memasuki wilayah Khamantha dan beristirahat selama sepekan di wilayah itu. Sedangkan Rhazates sendiri memasuki kota Gazakon (Gaza) tempat penyuplaian logistik pasukan Romawi Byzantium. Dilihat dari narasi _Chronicle Anni Mundi_nya Theophanes, nampak Kisra lebih senang memerintahkan pasukannya yang berada di Syam untuk menerkam pasukan Heraclius dari belakang. Mungkin agar Heraclius dan pasukannya yang sudah masuk ke wilayah Persia tidak mengira hal tersebut. Dikisahkan pula, saat itu panglima Rhazates mencari sisa-sisa suplai makanan di wilayah Gazakon, lantaran kuda-kuda perang pasukannya tidak mendapat cukup suplai makanan. Akhirnya kuda-kuda Persia sendiri banyak yang mati.
Pasukan Heraclius telah mencapai Sungai Zab dan mendirikan kamp dekat Nineveh, kota kuno Persia. Pasukan Rhazates ada di belakang pasukan Heraclius, mengikutinya kemudian menyeberang serta menelusuri sungai. Setelah jarak kedua pasukan hanya tinggal tiga mil, Heraclius memerintahkan jenderalnya Banes dan prajurit-prajurit pilihan Byzantium untuk menghadang serangan Rhazates. Pada kesempatan itulah pasukan Heraclius berhasil membunuh banyak sekali pasukan Persia.
Pasukan Heraclius sengaja membawa kepala-kepala pasukan Persia untuk membuktikan kemenangan gemilangnya. Mereka juga membawa pedang-pedang mewah Persia yang terbuat dari emas sebagai harta rampasan perang. Hanya ada dua pasukan Persia yang masih hidup, di antaranya panglima Rhazates sendiri. Akhirnya Razhates yang sudah jadi tawanan mengaku kepada Heraclius bahwa ia diperintahkan Kisra untuk membunuh Heraclius beserta pasukannya. Ia juga memberikan informasi bahwa pasukan tambahan Kisra yang berjumlah 3000 pasukan tidak lama lagi akan mendatangi Heraclius.
Dari informasi ini, kita tahu sebelum Kisra mati serta kerajaannya “tercabik-cabik” dan “terkoyak” oleh intrik internal Persia sendiri (lantaran do’a Rasulullah SAW waktu Kisra dengan sombong merobek surat Rasulullah itu), Romawi dan Persia sempat mengalami peperangan brutal.
Jika mengingat hadits dalam kitab Shahih Al-Bukhari Kitab Permulaan Wahyu dan Shahih Muslim bab Surat Nabi SAW ke Heraclius, riwayat Abu Sufyan bin Harb radhiyallahu’anhu saat ia berdagang ke Syam dan berbincang dengan Heraclius, Abu Sufyan menuturkan bahwa Heraclius saat itu baru saja merebut Syam secara paksa dari bangsa Persia. Pertemuan Abu Sufyan dan Heraclius itu terjadi di masa gencatan senjata di masa perjanjian Hudaibiyah.
Kelak, dua peradaban adidaya yang gemar bertempur satu sama lain ini kurang dari satu dekade kemudian dikalahkan oleh peradaban baru Islam secara gemilang. Dalam perputaran roda sejarah, tanda-tanda akan berakhirnya suatu peradaban memang bisa terindikasi dengan jelas. Romawi sendiri meskipun berhasil mengalahkan Persia bukan berarti posisi mereka telah aman. Bahkan Konstantinopel sendiri berulang kali diserba bangsa-bangsa Eropa.
Membaca Konstantinopel yang ‘tak ramah’ bagi kekaisaran bisa disimak dari Kaisar Heraclius yang belakangan lebih banyak bermukim di Syam, khususnya kota Yerussalem dan Hims (Homs, Emessa) sebagai markasnya di Syam ketimbang di Konstantinopel (lih. Hugh Kennedy, The Great Arab Conquests: How the Spread of Islam Changed the World We Live In, Da Capo Press, 2007, h.74). Tentu bagi yang akrab dengan kitab-kitab sirah Nabawiyah hal ini tidak aneh lagi.
Tentu indikasi semacam itu akan mengundang nalar kritis kita, apa sebabnya Heraclius seringkali ada di Syam? Bahkan Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi (utusan Rasulullah ke Romawi) mengirim suratnya ke Syam, bukan ke Konstantinopel ibukota kekaisaran. Adegan Abu Sufyan yang menghadap Heraclius pun terjadi di Syam bukan di Konstantinopel. Mungkin sumber catatan sejarah dari Anni Mundi Theophanes pencatat sejarah Byzantium abad kedelapan masehi bisa membantu menjawab konstruk sejarahnya.
Konstantinopel ibukota Byzantium pada masa pemerintahan Heraclius junior (Heraclius yang dikirimi surat oleh Rasulullah), sebenarnya telah beberapa kali dikepung oleh pemberontak, baik sebelum Heraclius maupun di masa Heraclius. Misal oleh kerajaan Danube di bawah pimpinan Phocas, belum lagi ada serangan dari bangsa Avar-Slav-Bulgaria. Phocas sendiri sempat-sempatnya menjadi kaisar Romawi karena serangan pemberontakannya yang berhasil gemilang kendati akhirnya disingkirkan juga oleh Heraclius. Kondisi ibukota kekaisaran itu sangat tidak aman. Kekacauan itu masih diperparah dengan peperangan tak berkesudahan dengan imperium Persia. Bahkan sekitar tahun 614-615 M Romawi sempat dikalahkan oleh Persia (ingat Al-Qur’an surat Ar-Rum), bersamaan dengan fase dakwah jahriyah Rasulullah di Makkah. Saat itu Romawi harus merelakan sebagian besar tanah Syam dikuasai oleh Persia di bawah pimpinan Kisra. Diam-diam dilaporkan pula bangsa Avar dan Persia sempat berkoordinasi untuk menghadapi ‘musuh bersama’ (Romawi), kekaisaran Byzantium yang terkenal dengan kemegahannya pun keteteran. Sehingga seorang Heraclius memutuskan untuk memusatkan konsentrasi di Syam (Timur Byzantium), apalagi di Syam ada kota suci Yerussalem.
Pada 12 Desember tahun 627 M, Heraclius berhasil mengalahkan pasukan Kisra. Kisra tak lama kemudian terbunuh, tidak jelas juga dia terbunuh karena ikut perang atau karena dibunuh oleh orang dalam Persia sendiri. Sumber-sumber klasik Islam mengatakan Kisra mati karena dibunuh orang dalam Persia akibat ulahnya sendiri mencela Rasulullah SAW dan Islam. Kisra merobek-robek surat dakwah seorang Rasulullah, akhirnya Allah ‘azza wa jalla pun “merobek-robek kerajaan Kisra”. Kisra mati dengan mengenaskan.
Kembali ke Heraclius. Rasa aman di Konstantinopel masih mengkhawatirkan meski sudah dibuat benteng Heraclius untuk menahan serangan bangsa Avar-Slav-Bulgaria. Itu sebabnya sampai pasukan kaum Muslimin masa Khalifah Umar bin Khaththab di bawah jenderal-jenderal seperti Khalid bin Walid, Abu Ubaidah bin Jarrah, kakak-beradik Yazid dan Muawiyah bin Abu Sufyan telah memenangkan semua pertempuran melawan Romawi, Heraclius baru pindah lagi ke Konstantinopel setelah menetap sekian lama di Syam. Wallahu’alam.
Ilham Martasyabana, pegiat sejarah Islam