Gerakan feminisme telah lama mendapatkan “karpet merah”, baik dalam pemikiran, bahkan hingga merambah ke parlemen atau Rancangan Undang-undang (kebijakan); sedangkan suara umat Islam lemah, kalah oleh gerakan feminis yang terstruktur, massif bahkan telah mengakar sejak lama.
Wartapilihan.com, Jakarta — Atas keprihatinan tersebut, Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia meluncurkan buku berjudul “Delusi Kesetaraan Gender; Tinjauan Kritis Konsep Gender” yang diselenggarakan di AQL Islamic Center, Jakarta, pada Sabtu (21/7/2018).
Dalam sambutannya, Ketua Bidang Jaringan AILA DR. Sabriati Azis mengatakan, buku tersebut hadir berkat dukungan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).
AILA sendiri, terangnya, merupakan organisasi yang fokus melakukan kajian kritis dan edukasi kepada masyarakat terkait isu ketahanan keluarga.
Sementara itu, salah satu penulis buku yang juga Ketua Bidang Kajian AILA DR. Dinar Dewi Kania menyampaikan, kata “delusi” dipilih sebagai judul karena dinilai tepat menjelaskan fenomena kesetaran gender. Dimana ilusi adalah kondisi yang mengakar pada diri seseorang sehingga tidak lagi bisa membedakan yang riil dan mana yang palsu.
“Mereka sudah tidak bisa membedakan, dan bahkan sangat kukuh memperjuangkan itu. Delusi membuat orang lupa dengan realita,” ujarnya.
Padahal, menurut Direktur The Center for Gender Studies (CGS) ini, tidaklah benar yang memperjuangkan kesetaraan gender itu berarti dia memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Justru yang diperjuangkan adalah kemerdekaan dalam berpakaian, bahkan yang paling ekstrim adalah menjadi bagian dari LGBT; dengan kata lain, tak mau diatur oleh agama.
Kemudian, Sekjen AILA Nurul Hidayati menambahkan, sangat menyambut baik kehadiran buku tersebut. Ia menilai, buku “Delusi Kesetaraan Gender” merupakan kebutuhan, karena banyak sekali masyarakat yang tidak faham apa itu feminisme dan gender.
Nurul menjelaskan, salah satu penyebab utamanya adalah karena tidak diimbangi dengan pemikiran yang lurus tentang feminisme dan gender.
“Karenanya mudah-mudahan buku ini dapat menjadi penyeimbang,” imbuhnya.
Adapun Kepala Bagian Dakwah dan Advokasi BAZNAS Farid Septian menjelaskan, mengapa BAZNAZ mendukung terbitnya buku “Delusi Kesetaraan Gender” ini, dikarenakan tupoksi BAZNAS yakni mengelola dan mendistribusikan dana zakat untuk mengentaskan kemiskinan.
Namun, paparnya, kemiskinan aspeknya bukan saja material. Tetapi ada juga dimensi kemiskinan lain, seperti kemiskinan moral, kemiskinan akhlak dan sebagainya.
“Terkait buku AILA ini kami melihat gerakan pemikiran juga penting. Karena ujungnya juga adalah kerusakan moral,” tutupnya.
Sementara itu, Henri Shalahuddin selaku pakar gender dari INSISTS mengatakan, kesetaraan gender dipandang sebagai hubungan antara lelaki dan wanita yang dibangun dengan hierarki (patriarki). Sehingga hal tersebut menimbulkan kebencian yang dalam.
“Feminisme dan agama cenderung saling bertentangan, melahirkan emosi (kepada perempuan) yang langsung berdampak pada kehidupan,” kata Henri, dalam kesempatan yang sama.
Menurut dia, gerakan feminisme awalnya lahir karena inkuisisi gereja yang mengorbankan para perempuan dengan penyiksaan yang amat berat pada masa itu.
“Jadi, gerakan itu berlanjut sampai saat ini juga hanya copy-paste dari Barat. Padahal konteks dunia sudah berubah. Apalagi ada penelitian dari Saparinah Sadli bahwa Feminisme Indonesia belum melahirkan teori feminisme khas Indonesia, tetapi hanya pengulangan isu Feminisme global. Kenapa feminisme Nusantara belum ada?” pungkasnya.
Eveline Ramadhini