Plastik yang dikonsumsi ikan-ikan itu akan terurai menjadi merkuri. Jika ikan-ikan tersebut dikonsumsi dalam jangka panjang bisa menyebabkan alergi, kanker, bahkan mutasi genetik
Wartapilihan.com, Jakarta – Data dari World Bank (2015) menunjukkan, 30 persen sampah yang masuk ke laut ialah plastik. Efeknya, plastik-plastik tersebut dimakan oleh ikan yang kemudian menjadi konsumsi manusia. Sedangkan sebanyak 28 persen ikan dari 55 persen spesies yang menjadi sampel di perutnya ditemukan plastik antara 0,1-1,6 mm, menurut penelitian Universitas Hasanuddin di Pasar Paotere, Makassar (2015).
Berdasarkan data Dewan Adipura Nasional, selama 10 tahun, jumlah sampah terutama di perkotaan mengalami tren kenaikan. Pada tahun 2005, timbunan sampah sebanyak 11 persen, naik menjadi 15 persen pada 2015.
National Geographic menjelaskan alasan mengapa ikan dapat memakan plastik. Bahkan hal itu terjadi pada banyak spesies, mulai dari yang terkecil berupa plankton hingga paus yang terbesar. Rupanya, menurut temuan para peneliti National Geographic, sampah-sampah plastik tersebut berbau seperti makanan, sehingga mereka memakannya.
Hewan yang sering memakan plastik rupanya lebih dari 200 spesies hewan; dan yang pernah tercatat memakan plastik, berdasarkan peneliti Australia, berupa kura-kura, paus, anjing laut, burung dan ikan. Burung laut adalah hewan yang paling berisiko; hampir semua burung laut sudah mengonsumsi plastik
Sampah plastik telah terakumulasi secara cepat di laut dunia, meningkat sekitar dua kali lipat pada setiap satu dasawarsa. Pada tahun 2014, sebuah analisis global memperkirakan plastik di laut sebanyak seperempat miliar metrik ton, yang berukuran sekecil partikel beras.
Dampak Bagi Manusia
Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, Indonesia merupakan kontributor kedua terbesar di dunia untuk sampah plastik di laut. Sampah-sampah yang ditelan oleh hewan dapat terurai menjadi zat merkuri. Hingga, ketika dikonsumsi oleh manusia dalam jangka panjang, dapat menyebabkan alergi, kanker, bahkan mutasi genetis.
Salah satunya, zat plastik polythylene, yang terkandung dalam kemasan botol peralatan mandi, ternyata mengandung karsinogenik terhadap manusua yang dapat meningkatkan risiko kanker. Selain itu, stereofoam dapat sebabkan pusing dan sakit kepala serta hilang kesadaran. Ada juga zat urea formaldehyde pada kemasan produk kosmetik bayi yang mengandung karsinogenik, hal itu dapat menyebabkan cacat lahir dan perubahan genetika.
Sebenarnya pemerintah telah berupaya untuk mengurangi sampah plastik. Salah satunya, dengan memberikan harga kepada plastik di pasar-pasar swalayan, alias tidak gratis. Namun, apa yang terjadi? Kebijakan tersebut tidak signifikan, sehingga tidak diindahkan oleh masyarakat dan implementasi kebijakan nihil hingga saat ini.
Kita perlu menggunakan plastik dengan bijak. Jika tidak bisa menihilkan penggunaan plastik dalam kehidupan, setidaknya dapat mengurangi penggunaannya. Salah satunya, ketika mendapatkan kemasan plastik, menyimpannya, agar sewaktu-waktu dapat digunakan lagi. Atau, ketika telah mendapatkan plastik pada toko 1, jika plastik tersebut masih cukup untuk menaruh barang dari toko 2, lebih baik tidak menerima plastik dari pedagang.
Masihkah kita optimis dengan gerakan Indonesia Bebas Sampah 2020? Mari, kita gunakan plastik dengan bijak. Dengan peduli pada ikan-ikan yang kita beri makan, oleh para pemakmur bumi–para pentaubat pengguna sampah plastik yang kaya-raya, berharga murah, melimpah ruah.
Eveline Ramadhini