Hegemoni Cina Dalam Reklamasi

by
Foto: Zuhdi

Sejak kepemimpinan Deng Xiaoping muncul istilah China Threat, hal itu dirasakan sampai ke Indonesia dalam berbagai sektor, diantaranya reklamasi.

Wartapilihan.com, Jakarta –Ditinjau dari berbagai aspek, reklamasi lebih banyak mendatangkan kerugian dibandingkan manfaat bagi negara dan rakyat. Pasalnya, reklamasi dijalankan segelintir pengusaha dan penguasa yang lebih berorientasi pada kepentingan bisnis, poltik dan oligarki kekuasaan. Hal itu disampaikan Direktur IRESS (Indonesian Resources Studies) Marwan Batubara di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (02/11).

“Terlebih, reklamasi merupakan strategi geopolitik Cina melalui kebijakan One Belt One Road (OBOR). Cina dan para komprador sangat giat membangun infrastruktur secara sistemik di berbagai wilayah, termasuk reklamasi,” ujar Marwan.

Secara marwah hukum, lanjut dia, Presiden Jokowi mengatakan peraturan reklamasi telah dikeluarkan Presiden Soeharto melalui Keppres 52 Tahun 1995, Perppres Presiden SBY dan sejumlah SK Gubernur oleh Gubernur DKI di kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Padahal, berbagai kajian akademis menunjukkan reklamasi akan menenggelamkan Jakarta, merusak lingkungan, menambah beban biaya APBD, dan menghilangkan mata pencaharian para nelayan.

“Jika hal ini terus terjadi, jangan salahkan jika rakyat menganggap pemerintahan ini lebih memihak dan bekerja untuk kepentingan para pengembang, oligarki penguasa-pengusaha. Sudah saatnya kita menolak reklamasi, intervensi maupun ancaman dari siapapun,” tegasnya.

Dalam kesempatan sama, Ketua DPP KNTI (Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia) Martin Hadiwinata menngungkapkan, sebelum mega proyek reklamasi dijalankan, wilayah hutan Mangrove seluas 831 ha. Sejak Teluk Jakarta dibangun reklamasi, Mangrove hanya tersisa 25,2 ha.

“Padahal Mangrove menjadi tempat pemijahan dan produksi ikan. Sedangkan wilayah reklamasi adalah wilayah tangkap nelayan yang memberikan 70 sampai 80 persen potensi ikan untuk rakyat Indonesia,” papar Martin.

Menurut dia, sejak tahun 2011 berdasarkan data kajian sosial-ekonomi Kementerian Kelautan dan Perikanan, terdapat 79 persen atau 3.000 kapal skala kecil di Teluk Jakarta. Akibat reklamasi, nelayan mengalami nilai kerugian Rp 27 juta setiap tahunnya. Keppres 52/1995, jelasnya, merupakan pemutihan reklamasi di Teluk Jakarta. Masyarakat pesisir (nelayan) tidak pernah dilihat sebagai subjek dalam pembangunan.

“Reklamasi adalah proyek yang dicanangkan Orde Baru korup dan otoritarian, melanjutkan reklamasi berati melanggengkan geo Orde Baru dan merampas hak nelayan. Kerusakan nyata harus diselesaikan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,” tandasnya.

Mantan Ketua Tim Sinkronisasi Anies-Sandi, Sudirman Said menambahkan, kajian reklamasi belum menemukan titik temu dari segi hukum dan pemanfaatannya. Asas manfaat, kata dia, harus berpedoman pada aturan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai.

“Saya kira kajian Tim Menko Maritim (Menteri Rizal Ramli) memutuskan moratorium sudah jelas. Itu kan permanen, kenapa ujug-ujug bisa berubah tidak bermasalah, dan kajiannya kajian teknis (oleh Menteri Luhut Binsar Panjaitan). Jadi kita percaya pada kajian profesional dan itu untuk referensi yang komprehensif,” tukasnya.

Sejak tahun 2003 sampai 2013, kata Sudirman, Kementerian LHK memberikan keputusan reklamasi tidak layak lingkungan. Izin reklamasi, jelasnya, diberikan dalam ketiadaan tiga hal. Pertama, tidak ada aturan zonasi, kedua tidak ada kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), dan ketiga tidak ada izin dari KKP sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang.

“Tidak boleh ada solusi yang sudah terlanjur, karena orang sudah terlanjur, jadi diprotec, itu sama saja mengajar warga negara untuk melanggar. Itu kalau ada yang bicara mengenai kepastian hukum untuk investor. Tetapi cara terbaiknya adalah jangan memberikan kesempatan investor untuk melanggar hukum,” pungkasnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *