Saya teringat kisah Maha Bharata, walaupun kisah itu berasal dari kisah Hindu, namun cukup menarik untuk direnungkan. Karena di situ ada pertarungan antara kaum yang didzalimi melawan para pendzalim.
Kisah itu merupakan pertarungan antara sepupuan, antara guru dan murid, antara paman dan ponakan. Bayangkan saja, Bisma dan Salya yang walau hatinya berpihak kepada Pandawa tapi kedua tokoh hebat tersebut terpaksa berperang dipihak Kurawa karena kedekatannya dengan Duryudana.
Bahkan Adipati Karna, terpaksa harus bertarung melawan adiknya sendiri yaitu Arjuna yang juga putra Dewi Kunti karena mengingat jasa Kurawa kepada dirinya.
Sampai-sampai ia tetap keukeh di pihak Kurawa walaupun ibundanya, Dewi Kunti bersedu sedan memintanya bertarung di pihak sadaranya, Pandawa.
Wah seru banget….
Tatkala Arjuna nyaris berputus asa karena yang dihadapinya adalah saudaranya sendiri, di situ Kresna hadir memberi semangat bahwa sesungguhnya peperangan di medan Kurusetra itu bukan perang saudara, tapi adalah peperangan antara yang haq melawan yang bathil.
Begitu pula kisah perang Badar, pun adalah perang antara yang haq melawan bathil.
Saya tak habis pikir kok ada kemiripan dengan perang keluarga Bharata.
Seperti pengulangan sejarah saja. Benar-benar perang sedarah dan seketuranan yang melibatkan para ayah, para anak, para paman, ponakan dan sepupuan.
Luar biasa….
Tapi perang Badar murni adalah perang agama bukan perang karena berebutan harta warisan.
Ya murni merupakan perang antara haq melawan bathil yang sesungguh-sungguhnya.
Dan kalau sekiranya di kemudian hari perang seperti itu terjadi di negeri ini karena kaum sekular dan sekutunya memaksakan keyakinannya, maka kaum muslimin harus melupakan kata perang saudara, tapi harus dengan keteguhan hati untuk terus berada di pihak yang haq, yaitu di pihak Allah dan Rasul-Nya dalam panji Islam yang sejati.
( Iwan Hasanul Akmal )