GNPF-Ulama: Pemerintah Lakukan Pelanggaran HAM

by
GNPF-Ulama ketika menggelar konferensi pers bertajuk '1 Tahun Evaluasi Penegakan Hukum Pasca Aksi Bela Islam', di AQL, Tebet, Jakarta Selatan, Jum'at, (22/12/2017).

Pasca aksi bela Islam, pemerintah dalam mata GNPF-Ulama banyak melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia; penguasa dan institusi-institusi penegak hukum dinilai telah lakukan pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik warga negara.

Wartapilihan.com, Jakarta –-Dalam rangka refleksi hari HAM internasional yang jatuh pada 10 Desember lalu, tepat pada hari Jum’at ini, (22/12/2017), GNPF-Ulama menyatakan, pelanggaran HAM dilakukan oleh pemerintah karena banyak melakukan politisasi hukum pasca Aksi Bela Islam tahun lalu.

“Due Process of
Law yang sedianya menjadi landasan penegakan hukum, justru dikesampingan atas nama kepentingan kekuasaan. Padahal Konstitusi Negara Republik Indonesia telah menyatakan
secara tegas bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtsstaat),” tutur Nasrullah Nasution, Tim Advokasi GNPF-Ulama, di Jalan Tebet, Jakarta Selatan.

Dia menjelaskan, salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya
perlindungan terhadap HAM.
Hak-hak sipil dan politik sebagai bagian dari HAM, tidak bisa dinegasikan dari kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, oleh karena hak-hak tersebut merupakan amanat dari Pasal 28A – Pasal 28I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi.

Selain itu, ia menjelaskan, hak-hak sipil dan
politik merupakan bagian penting dari sunstansi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau DUHAM (Universal Declaration of Human Rights) yang telah diproklamirkan secara
Internasional oleh Negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) pada tanggal 10 Desember 1948.

“Deklarasi ini merupakan bentuk pengakuan umum bangsa-bangsa di dunia perihal
penghormatan dan perlindungan HAM atas diri setiap manusia yang memuat pokok-pokok
hak asasi manusia dan kebebasan dasar,” kata Nasrullah.

Namun dalam kenyataannya, Politik Hukum dari Rezim yang tengah berkuasa dan Politisasi
penegakan hukum oleh aparat penegak hukum di Indonesia pasca Aksi Bela Islam justru
bertentangan dengan prinsip dasar Negara Hukum, yang akhirnya berdampak pada
meluasnya bentuk pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik warga negara.

Adapun pelanggaran yang dilakukan ditegaskan oleh GNPF-Ulama yaitu, (1) Politik Hukum berupa penerbitan kebijakan oleh rezim kekuasaan yang berdampak
pada pelanggaran HAM;
(2) Politisasi institusi penegak hukum sehingga berdampak pada proses penegakan hukum
yang tidak adil (unfair); dan
(3)Konsekwensi logis dari dua hal di atas telah menimbulkan korban dan pelaku
pelanggaran HAM.

Pertama, politik hukum dinilai melanggar HAM karena terbitnya Perppu nomor 2 tahun 2017 yang disahkan pada 10 Juli 2017, mengubah UU nomor 17 tahun 2003.

“UU ini merupakan bentuk abuse of power dari penguasa yang bertujuan untuk membatasi hak dan
kebebasan warga negara dalam melaksanakan hak asasinya di bidang sipil dan politik,” terang dia.

Perppu No. 2 Tahun 2017, Nasrullah menerangkan, telah membatasi hak asasi warga negara untuk
melaksanakan hak atas kebebasan beragama, hak menyatakan pikiran dan sikap sesuai
dengan hati nurani, hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, dan hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dalam wadah yang
bernama organisasi kemasyarakatan atau Ormas yang tidak sesuai dengan UUD 45.

Hal yang kedua, yaitu politisasi institusi dan merambah juga ke penegak hukum membuat para ulama dan aktivis sebagai korban pelanggaran ham akibat penegakan hukum yang tidak adil.

“Hal ini dapat terlihat dari kasus-kasus yang dituduhkan kepada para Ulama dan Aktivis, di
seluruh Indonesia (sebagaimana data terlampir). Kasus-kasus yang menimpa Ulama dan
aktivis Islam tersebut sangat bernuansa politis daripada mengedepankan ketentuan
hukumnya,” lanjut Nasrullah.

Tindakan institusi penegak hukum terhadap para ulama dan aktivis telah melanggar hak-hak
sipil dan politik warga Negara, di antaranya (1) Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law); dan
(2) Hak atas peradilan yang adil (fair trial), (3) Kebebasan mengeluarkan pendapat (freedom of speech);
(4) Kebebesan berfikir (freedom of thinking);
dan (5) Kebebasan memperoleh informasi (freedom of information).

Ketiga, proses penegakan hukum pasca Aksi Bela Islam telah menimbulkan korban dan pelaku
pelanggaran HAM. Dari data yang dihimpun oleh Tim Advokasi GNPF-ULAMA menunjukkan
bahwa Ulama dan Aktivis adalah korban yang paling banyak mengalami pelanggaran HAM,
sementara Institusi Penegak Hukum sebagai pihak yang paling banyak melakukan
pelanggaran HAM.

Maka dari itu, Nasrullah sebagai bagian dari Tim Advokasi GNPF-Ulama menyerukan kepada Rezim Kekuasaan dan aparatur negara untuk segera menghentikan politik adu domba dan pecah belah melalui berbagai kebijakan negara
yang diskriminatif dan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM warga negara.

“Kami meminta kepada aparatur negara untuk menghentikan seluruh proses hukum yang
penuh rekayasa dan bermotif politik dan membersihkan institusi negara dari oknum-oknum yang menggunakan kekuasaan
negara untuk kepentingan politik,” pungkas Nasrullah.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *