Wartapilihan.com -Semenjak pasca Orde Baru, ruang ekspresi keislaman para kelompok muslim semakin luas dari waktu ke waktu. Kesempatan dalam mengekspresikan keislaman tersebut terjadi pada berbagai bidang, seperti bidang pendidikan, perpolitikan, sampai ke gaya hidup. Salah satu eskpresi keislaman tersebut ialah penggunaan jilbab oleh umat muslim. Pada tahun 1970, kurang dari 3% muslimah yang menggunakan jilbab di Universitas Gajah Mada. Tetapi pada tahun 1999, 2001 dan 2002, pengguna jilbab sudah meningkat drastis hingga 60% (Hefner, 2007: 390). Dari data tersebut dapat diprediksi bahwa setiap tahun terjadi peningkatan pada pengguna jilbab dalam satu dekade terakhir.
Dewasa ini, penggunaan jilbab juga tidak terlepas pada mahasiswi di perguruan tinggi yang umumnya merupakan bagian dari kalangan menengah ke atas. Studi dari Hefner (2007) menyatakan bahwa sejak tahun 1990 jilbab sudah mulai digunakan oleh mahasiswi di perguruan tinggi pada kota-kota kosmopolitan. Studi terbaru dari Turmudi (2016) mengungkapkan bahwa penyebarluasan jilbab pada kampus jauh lebih efektif jika diorganisasikan melalui mahasiswa; karena dapat dipastikan bahwa dengan adanya penyebarluasan tersebut nampaknya dapat memperkuat religiusitas, khususnya dalam mengimplementasikan jilbab sebagai pakaian sehari-hari.
Di lingkup Universitas Indonesia, terdapat berbagai organisasi Islam yang eksis, terhitung dari Salam UI, berbagai lembaga Forum Studi Islam yang ada di setiap fakultas dan juga berbagai jenis dari organisasi Islam—yang kesemuanya memiliki ciri khas masing-masing dalam penggunaan jilbab. Yakni menggunakan jilbab dengan varian yang berbeda-beda yang disebabkan oleh perbedaan definisi tentang jilbab, khususnya di kalangan tiga gerakan Islam yang terbilang paling mendominasi di kampus, yaitu varian Tarbiyah, Hizbut Tahrir Indonesia dan Salafi.
Fenomena perbedaan variasi jilbab yang terjadi di kampus disebabkan oleh perbedaan legitimasi dari pemuka agama yang berbentuk tafsir, dalam konteks ini ialah perbedaan legitimasi dari varian agama Islam berupa Tarbiyah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Salafi. Selain perbedaan legitimasi, terdapat juga perbedaan memori kolektif antara Tarbiyah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Salafi yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
Gerakan Tarbiyah, HTI dan Salafi: Histori dan Gerakan di Kampus
Yon Machmudi (2008) menjelaskan bahwa Jemaah Tarbiyah merupakan gerakan Islam yang sudah ada sejak tahun 1980 di Indonesia. Pada tahun 1998 mulai melebarkan sayapnya di dunia kampus dan sejak itu mulai bertransformasi menjadi partai politik Partai Keadilan (PK); hingga pada tahun 2003 mengubah nama partai politiknya menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berperan penting dalam berpartisipasi dalam sistem demokrasi di Indonesia dengan pengaruh hukum Islam yang diimplementasikan di dalamnya.
Sejak era Reformasi atau pasca lengsernya pemerintahan Soeharto, Jemaah Tarbiyah mengungkapkan ekspresi keislamannya meliputi aspek politik dan orientasi keagamaaannya (religious orientation). Pemikiran ini paling utama disebarluaskan di kampus-kampus sekuler di Indonesia, seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Airlangga (Unair) dan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS). Para aktivis yang menyebarluaskan pemikiran ini disebut sebagai Aktivis Dakwah Kampus (ADK). Aktivitas dakwah di kampus diawali oleh M Imaduddin yang memimpin program Bina Masjid Kampus, kemudian disebarluaskan oleh Hilmi Imanuddin pada berbagai perguruan tinggi (Abdurakhman, 2013).
Hizbut Tahrir (HT) pada dasarnya merupakan gerakan yang didirikan oleh Taqiyuddin An-Nabhani pada tahun 1953 yang berasal dari Negara Lebanon. An-Nabhani mendirikan gerakan ini sebagai bentuk respon terhadap dunia Barat yang meruntuhkan peradaban kekhalifahan Islam; maka dari itu ia memiliki visi untuk menyatukan kembali negara-negara Muslim dalam naungan Khilafah. Gerakan HT merupakan gerakan transnasional yang memiliki jaringan di berbagai negara (Osman, 2010). Di Indonesia, peran Hizbut Tahrir awalnya merupakan hasil interaksi antara komunitas Hizbut Tahrir dari Timur Tengah dengan Abdurrahman al-Baghdadi dan Mama Abdullah bin Nuh di Australia pada tahun 1980-an. Al-Baghdadi merupakan seorang aktivis Hizbut Tahrir dari Lebanon yang melakukan migrasi ke Australia, sedangkan Abdullah bin Nuh merupakan pimpinan dari pesantren al-Ghazali yang berada di Bogor, Jawa Barat. Pada masa Orde Baru tersebut, HTI pada dasarnya masih bergerak secara sembunyi dengan cara tidak memakai nama Hizbut Tahrir, melainkan lebih menyebarkan tentang substansi dari ide utama HT berupa perlunya dalam mengaplikasikan syariah dan menjadikan khilafah sebagai suatu sistem kehidupan bernegara.
Sedangkan pada masa Reformasi, pergerakan HTI mulai menjadi likuid diiringi dengan pergerakan Islam lainnya. Pada tahun 2000, HTI menyelenggarakan konferensi internasional pertamanya di Senayan, Jakarta—kali ini dengan menunjukkan simbol HTI. Konferensi ini dihadiri 5.000 pendukung yang menarik perhatian publik dan media. Hal-hal yang diorganisir oleh HTI berupa pengorganisiran demonstrasi kepada pemerintahan, penyelenggaraan seminar dan diskusi publik serta publikasi melalui media (Kementerian Agama RI, 2011).
Salafi merupakan gerakan yang berasal dari Saudi Arabia yang awalnya muncul pada abad 19. Gerakan salafisme merupakan ajaran yang direformulasi oleh Ibnu Taimiyah dan diaplikasikan kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Salafi kemudian dialiri ke Indonesia melalui Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII). Diawali dengan para mahasiswa alumni dari LIPIA yang melakukan studi ke Saudi Arabia, yaitu Abu Nida, Ahmad Faiz Asifuddin dan Aunur Rafiq Gufron—ketiganya ialah aktivis dari DDII.
Semenjak keruntuhan Orde Baru, dakwah Salafi pergerakannya semakin berubah keleluasaannya. Salafi mulai mendirikan yayasan, kajian Islam pada mahasiswa, dan juga mendirikan masjid-masjid di kampus-kampus umum seperti UI, UGM dan ITB. Di kampus tersebut, didirikan juga naungan lembaga seperti jama’ah Shalahuddin yang berada di Yogyakarta dan masjid Salman ITB di Bandung sejak tahun 1986. Sistem rekrutmen yang digunakan ialah melalui daurah, halaqah dan juga membentuk komunitas di kampus-kampus besar Indonesia (Wahid, 2007).
Ketiga kelompok tersebut pada dasarnya merupakan aliran Islam yang transnasional. Menariknya, ketiga kelompok ini sama-sama organisasi Islam yang dominan di dalam perguruan tinggi, khususnya di Universitas Indonesia. Di UI sendiri, gerakan Tarbiyah memiliki organisasinya yang berupa Salam UI dan seluruh Lembaga Dakwah Fakultas (LDF) yang tersebar di seluruh fakultas. Sedangkan kelompok Hizbut Tahrir memiliki afiliasinya dengan Forum Remaja Masjid UI dan gerakan Salafi berada dalam naungan suatu komunitas yang bernama Hijab Biru dengan kajiannya yang diadakan sepekan sekali dalam acara Kajian Forum Islam. Dalam kelompok-kelompok tersebut tidak luput juga menyebarluaskan diskursus tentang jilbab sebagai pakaian sehari-hari.
Perbedaan sejarah dan historis dari masing-masing kelompok menunjukkan bahwa masing-masing kelompok memiliki perbedaan memori kolektif, sehingga mereka memiliki pemahaman dan ideologi yang berbeda, khususnya tentang jilbab. Tarbiyah yang berasal dari Mesir memiliki perkembangan gerakan yang cenderung berfokus pada politik, kemudian HTI yang berasal dari Lebanon lebih berfokus pada khilafah dan juga Salafi yang berasal dari Saudi Arabia lebih menerapkan cara hidup seperti pada zaman Rasulullah yang langsung diikuti semuanya. Hal ini bukan hanya tentang perbedaan asal negara, namun juga afiliasi-afiliasi yang berhubungan dengan gerakan tersebut turut mengembangkan pemikiran tentang ketiga kelompok, khusunya yang ada di ranah perguruan tinggi yang ketiganya sama-sama memiliki langkah strategis dalam organisasi dan gerakan.Hal ini mendukung argumen dari Berger (1967) bahwa sejarah dari agama tersebut merupakan instrumen terkuat dari legitimasi itu sendiri. Suatu sejarah memiliki arti yang penting bagi pengikutnya agar selalu memiliki memori kolektif bersama untuk terus bertahan.
Penggunaan jilbab sebetulnya sangat kompleks meliputi berbagai aspek sosial. Individu menggunakan jilbab bukan hanya karena komitmen teologi, melainkan juga dikarenakan komitmen terhadap kelompok yang dimanifestasikan melalui simbol jilbab yang mereka gunakan sesuai dengan konstruksi dari pemilik otoritas agama yang terlegitimasi secara sosial.
Muslimah di UI bertahan menggunakan jilbab yang bervariasi dikarenakan dari pihak universitas tidak ada larangan, serta dari lingkungan sosial juga sangat mendukung kultur prestatif, yakni dengan tetap berprestasi secara akademik dan non-akademik. Hal ini menunjukkan bahwa muslimah di UI menggunakan jilbab bukan menunjukkan keterkungkungan secara sosial, melainkan menunjukkan suatu kebebasan dan modernitas bentuk baru. Perbedaan variasi jilbab berimplikasi pada terjadinya sekat sosial antara satu kelompok dengan kelompok lainnya; meski terjadi kontestasi satu sama lain, namun tidak terjadi konflik dikarenakan masing-masing individu di dalam kelompok telah teredukasi sebagai umat muslim yang saling toleransi (teredukasi secara agama). |
Penulis : Eveline Ramadhini