Wartapilihan.com, Jakarta – Aspek politik dalam diplomasi ekonomi adalah hal yang sensitif. Indonesia diminta untuk jeli bekerjasama dengan negara lain sebelum melakukan MoU.
“Investasi itu sangat sensitif untuk aspek-aspek politik. Nah, itu yang kurang diperhatikan dalam negosiasi awal,” ujar Peneliti di Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, Dr. Adriana Elisabeth, dalam diskusi bertajuk “Masih Relevankah Politik Luar Negeri Bebas Aktif?” di Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (15/3).
Adriana mencontohkan, kerjasama Indonesia dengan China dalam membangun pabrik semen di Manokwari. Dalam kerjasama ini, China turut membawa 800 tenaga kerjanya ke Manokwari. Dan, ternyata di lokasi pembangunan juga terkandung uranium.
“Jadi MoU itu dibuat berdasarkan perjanjian China akan membangun pabrik semen. Tapi apa yang ada di dalam tanah itu bukan hanya semen. Nah, itu negosiasi awalnya yang harus diperhatikan. Dan, ini saya pikir yang sangat penting untuk foreign policy Indonesia terkait diplomasi ekonomi,” ujar peneliti LIPI dengan bidang keahlian pembangunan regional Asia Tenggara ini. Diplomasi ekonomi itu, kata Adriana, biasanya mencakup urusan perdagangan dan investasi. Dalam investasi inilah yang aspek politiknya sangat sensitif. “Bahaya jika kita tidak paham,” paparnya.
Adriana menjelaskan, Indonesia harus memahami bahwa China selalu melibatkan seluruh buruhnya dalam kerjasama antar negara. “Jadi kalau kita dealing dengan China, dan kita tidak paham, di situ kadang-kadang kita kecolongan. Tapi bohong juga kalau dikatakan tenaga kerja China ada puluhan juta. Itu angkanya terlalu dilebih-lebihkan,” jelasnya.
Lebih lanjut Adriana mengakui, dalam negosiasi, Indonesia tidak cukup jeli. Ini jelas berbahaya bagi investasi berikutnya. Apalagi Indonesia sangat kaya Sumber Daya Alam, khususnya di Papua.
“Ini yang harus diperhatikan dalam diplomasi dan implementasi dari politik Indonesia bebas aktif,” ujar dia.
Reporter: Pizaro