Lokasi pengabdian para dai merupakan daerah yang terpencil, terisolir, miskin materi dan spiritual, rawan, dan tertinggal di 22 provinsi.
“Saudara-saudara sekalian lebih unggul, karena selain diwisuda sebagai sarjana juga diwisuda sebagai dai,” kata Dr Adian Husaini saat memberikan kuliah umum dalam prosesi Wisuda Sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) M Natsir pada Sabtu (26/10) di Gedung Menara Dakwah, Jl Kramat Raya 45 Jakarta Pusat.
Studium General itu diikuti 80 sarjana STID M Natsir angkatan IX yang terdiri 52 pria dan 28 wanita. Para wisudawan yang berasal dari berbagai daerah ini, menyandang gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) atau Sarjana Pengembangan Masyarakat Islam (S.Pem.I). Belasan sertifikasi keilmuan telah mereka ikuti selama menempuh pendidikan yang berlangsung 4 tahun. Jumlah hafalan Quran mereka minimal 4 juz, sebagiannya mencapai 30 juz.
Dua hari setelah wisuda, para fresh graduate langsung mengikuti program pembekalan calon dai pengabdian. Pembekalan selama tiga hari (29-31 Oktober) berlangsung di Gedung Menara Dakwah Jakarta Pusat. Materinya meliputi pemetaan dakwah, teknik reporting, dan lifeskill.
Ketua Bidang Dakwah Dewan Dakwah, Ahmad Misbahul Anam, menjelaskan, 52 dai pria dikirim ke lokasi dakwah yang tersebar di 22 provinsi. ‘’Mulai dari Pulau Banyak di Aceh hingga pedalaman Papua di Tolikara,’’ katanya. Sedangkan yang akhwat, dikirim ke daerah di Pulau Jawa, Maluku, dan Kalimantan.
Lokasi pengabdian para dai merupakan daerah yang terpencil, terisolir, miskin materi dan spiritual, rawan, dan tertinggal. Misalnya Pulau Banyak Aceh, Pulau Rangsang Meranti Riau, Pulau Anambas Kepulauan Riau, Lunang Pesisir Selatan Sumatera Barat, Dairi Sumatera Utara, Badui Banten, Kab Kupang NTT, Sambas Kalimantan Barat, Sigi Sulawesi Tengah, Sangirtalaud Sulawesi Utara, Gowa Sulawesi Selatan, Halmahera Maluku Utara, dan Tolikara Papua. (Sidik Sasmita)