Tersiar berita kisruh di Natuna, ketika warga berbondong-bondong berdemonstrasi di kawasan Pangkalan Udara (Lanud) Raden Sajad Saleh, Natuna untuk mengadang kedatangan 243 WNI yang dipulangkan dari Wuhan, Cina. Massa menolak Natuna sebagai tempat observasi dan karantina WNI dari Wuhan lantaran menilai fasilitas kesehatan di Natuna tidak lengkap. Mereka juga khawatir muncul virus Corona yang menakutkan itu di wilayahnya.
Wartapilihan.com— Wakil Bupati Natuna, Ngesti Yuni Suprapti, angkat suara terkait penolakan masyarakat Natuna sebagai lokasi evakuasi WNI dari Wuhan. Diakui Ngesti, warga syok mendengar kabar tiba-tiba dari pemerintah pusat. Apalagi mereka dibayangi ganasnya virus Corona yang santer diberitakan di televisi. “Warga Natuna menolak. Kami dari Pemda juga tidak ada konfirmasi (dari pemerintah pusat),” kata Ngesti, kepada Batamnews, Sabtu (1/2/2020).
Menurutnya, warga hanya mengetahui dari surat kabar dan video yang beredar. “Tadi malam, mereka mendatangi Kantor DPRD juga ingin menanyakan ke pemerintah pusat yang mengurusi evakuasi tersebut,” ujar Ngesti.
Kita turut prihatin dengan perkembangan ini. Yang mereka tolak itu sesungguhnya adalah saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Mereka tak bersalah dan justru sedang membutuhkan dukungan setelah terisolasi lebih kurang dua pekan di Wuhan dan kota-kota lain di Provinsi Hubei, RRT.
Di sisi lain, kegelisahan warga bisa sedikit dipahami. Mereka tak memperoleh informasi yang memadai. Bahkan pemerintahnya juga mengakui.
Di tingkat nasional, kita juga melihat respon soal virus Corona ini disikapi tidak melalui satu pintu melainkan beragam. Sebut saja Menteri Kesehatan angkat bicara. Lalu tak lama Menteri Luar Negeri beri penjelasan pers. Saat warga Natuna meradang, giliran Menko PMK yang sibuk menenangkan. Belum lagi Menteri Perhubungan, Menko Polhukam, bahkan Presiden RI.
Jadi, informasi siapa yang harus didahulukan dan diperhatikan?
Komunikasi Publik Sistematis
Penasaran, saya buka lagi buku karya Gerard M. Goldhaber dari State University of New York (at Buffalo) berjudul ”Organizational Communication”. Goldhaber menjelaskan pentingnya komunikasi organisasi, yang didefinisikannya sebagai “…pertukaran pesan dari organisasi kepada audiensnya atau publik.”
Istilah “publik” sendiri dimaknai oleh Edward Robinson sebagai äny group of people who have a common interest…”
Menurut Goldhaber, komunikasi organisasi dengan publik harus direncanakan dan dilaksanakan secara sistematis. Dalam Bab 8: Public Organizational Communication, ia menerangkan perbedaan antara komunikasi interpersonal (diadik) dan kelompok kecil dengan komunikasi organisasi publik.
Mengutip pendapat William Brooks dalam tulisannya “Speech Communication”, Ketika seorang individu bicara kepada yang lain (dalam jumlah besar), mereka mengonsentrasikan pesan ke hal-hal yang dimiliki bersama ketimbang bicara soal perbedaan satu dengan lainnya. Tipe komunikasi yang monologik seperti itu biasa dipakai untuk mengirim pesan ke publik.
Kualitas yang membedakan antara komunikasi organisasi publik dari komunikasi diadik dan kelompok kecil, adalah:
- Komunikasinya berpola source (speaker) oriented. Di komunikasi organisasi kelompok kecil dan diadik, hubungan timba-balik antara sumber dan audiensnya terjadi. Sementara dalam komunikasi organisasi publik, yang ditekankan adalah pentingnya peran juru bicara; juru bicara inilah yang mendominasi hubungan.
- Terlibatnya kelompok penerima komunikasi yang lebih besar. Jika komunikasi diadik melibatkan dua atau tiga orang (interpersonal), dan komunikasi kelompok kecil melibatkan tak lebih dari 5-7 anggota; maka pesan dalam komunikasi organisasi publik dibuat untuk menarik perhatian banyak orang, dari 200 hingga beberapa juta orang. Tak ada batasan yang disepakati mengenai besarnya ukuran publik ini.
- Interaksi lebih sedikit antara pembicara dan pendengarnya. Harus dicatat, adanya penurunan interaksi merupakan fungsi langsung dari bentuk komunikasi yang terpusat pada pembicara/sumber. Brooks mengatakan, sangat mustahil mengetahui setiap orang secara spesifik sebagai individual karena itu hanya bisa berlaku untuk komuniaksi diadik dan kelompok kecil.
- Bahasa lebih umum. Dalam komunikasi organisasi publik, pembicara harus menggunakan bahasa dengan gaya lebih umum karena besar (dan heterogennya) audiens. Biasanya pembicara meriset karakter audiens lalu bicara dalam konteks umum untuk audiens dan tidak berusaha mendekati masing-masing kelompok dalam publik dengan bahasa berbeda-beda.
Pembelajaran Penting
Hal-hal di atas tampaknya yang masih bolong-bolong dalam komunikasi yang dijalankan Pemerintah. Padahal sebenarnya ada contoh terbaik yang telah dipraktikkan selama ini. Pertama, BNPB. Semua ingat bagaimana informasi terkait bencana apapun, tak peduli skalanya, dikelola secara sangat baik oleh BNPB melalui sosok almarhum Sutopo Purwo Nugroho sebagai juru bicara. Atau isu pemberantasan korupsi oleh KPK dengan jubir mereka Johan Budi SP atau Febri Diansah.
Komunikasi yang diterapkan dalam kasus wabah virus Corona ini di Indonesia juga sebaiknya dikemas dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat awam. Menyiapkan pesan-pesan untuk kelompok target khusus seperti media massa dan kalangan masyarakat yang tinggal di Wuhan dan sekitarnya, misalnya, tentu tak salah. Namun berkonsentrasi untuk pesan-pesan kepada khalayak harus dikawal dengan serius. Pesan-pesannya harus masif dan terus-menerus sehingga mengisi ruang memori publik.
Jika semua dikelola, maka kejadian protes dan rusuh di Natuna tak perlu sampai terjadi. Masyarakat, sebagaimana disebut Goldhaber, sebagai sekelompok orang yang punya ketertarikan atau interest yang sama dengan apa yang tengah terjadi di Indonesia (dalam hal ini soal kesehatan yang menjadi kepentingan bersama) mendapat informasi yang cukup dari sumber yang dikenal dan dipercaya sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang tepat tentang isu yang tengah terjadi.
Pelajaran yang kadang-kadang mahal, tetapi akankah dicermati Pemerintah. Wallahu alam.

(Ahmad Husein, praktisi komunikasi, pegiat kemanusiaan)