Wartapilihan.com, Jakarta – Suparman Marzuki duduk di tempatnya sebagai pembicara, berderet dengan beberapa pembicara lainnya. Sebagai pembicara pertama, ia mengundang audiensnya untuk memperhatikan secara penuh seiring dengan kebugaran karena udara pagi yang segar. Bangku-bangu audiens melingkar dengan meja bulat di tengahnya seperti acara yang ada di televisi. Dengan semangat yang menyala, ia jelaskan fakta yang sudah jadi momok bagi masyarakat, tentang birokrasi peradilan di Indonesia.
Menurut Suparman, aspek birokrasi dari lembaga peradilan di Indonesia pada umumnya dilanda penyakit kronis yang sama, yaitu (1) penyalahgunaan wewenang dan jabatan, (2) anti kritik dan cenderung mempertahankan status quo, (3) korupsi, suap atau sogok, (4) boros, arogan, kurang kompeten dan (5) lamban.
“Penyakit birokrasi tersebut sangat tidak sejalan dengan proses peradilan yang membutuhkan kepastian, kejujuran, keadilan, kecepatan, dan akurasi sebagai bagian dan tahapan bagi keadilan,” papar Mardzuki di Auditorium KH Ahmad Dahlan, Menteng, Jakarta, Kamis pagi (30/3).
“Dampak serupa juga dirasakan oleh masyarakat umum sehingga setiap kali mereka berurusan dengan hukum pengadilan akan dilanda kecemasan. Ini berarti keadilan sudah dimulai semenjak perkara berada di tangan para birokrat penegak hukum itu,” lanjutnya.
Suparman menjelaskan evaluasi birokrasi dan pembenahan prosedur administratif diperlukan untuk menentukan proses keabsahan hukum yang universal. Akuntabilitas dalam prosedur penanganan hukum juga menentukan peradilan yang adil ataukah tidak. Pasalnya, penegakan keadilan dan penegakan hak adalah dua hal yang tak terpisahkan.
“Peradilan yang akuntabel adalah peradilan yang konsekuen dan konsisten menjalankan semua prosedur yang diatur oleh hukum dan prinsip-prinsip universal serta ditegakkan dalam Kode Etik Peradilan,” tegas Suparman.
Mengapa Masyarakat Enggan Menggunakan Jalur Hukum?
Masyarakat yang melakukan langkah-langkah sendiri melawan hukum, hanyalah salah satu dampak dari cerminan birokrasi peradilan yang masih belum secara adil menempatkan diri. Misalnya, seperti menangkap pencuri, membakar pelaku begal, atau bahkan menggunakan jalur “perdamaian” dengan aparat hukum.
Pasalnya, masyarakat memiliki anggapan bahwa prosedur-prosedur hukum dalam sistem hukum modern cenderung sangat rumit, lama dan tidak mudah dijangkau dan diakses oleh mereka yang tidak tahu dan tidak mampu. Dampaknya, akan berpotensi untuk menimbulkan ketidakadilan.
Telah banyak kasus pelanggaran terhadap prosedur hakim maupun petugas pengadilan di semua tingkat peradilan, seperti pengabaian hak-hak terdakwa, penahanan atau perpanjangan penahanan yang tanpa alasan objektif, pendeknya kesempatan waktu menyiapkan pembelaan, terlebih lagi di sisi lain ada birokrat yang dinyatakan bersalah namun tidak dihukum sesuai prosedur dan Undang-Undang yang berlaku.
Suparman pun menawarkan solusi klasik yang masih juga belum direalisasikan, yaitu tuntutan mengenai akuntabilitas terhadap prosedur yang ada, yaitu dengan (1) memperbaiki hukum prosedur berupa konsekuensi hukum bila suatu perkara diproses dengan melanggar prosedur, (2) memberlakukan konsekuensi badan dan jabatan bagi aparat penegak hukum yang salah dengan prosedur hukum, serta (3) menjadikan kesalahan hakim dalam menjalankan prosedur sebagai pelanggaran Etika profesional yang berat, dan (4) menyediakan alternatif penyelesaian di luar pengadilan atas peristiwa-peristiwa hukum tertentu guna menegah terjadinya ketidakadilan terhadap seseorang yang tidak tahu dan tidak mampu.
“Dari sekian banyak problematika peradilan kita, jika saja ada kemauan, kesungguhan dan keterbukaan MA dengan semua upaya pembenahan yang disarankan dan diupayakan banyak pihak, paling tidak kita optimis peradilan kita akan lebih cepat pulih dari sakit berkepanjangan,” harapnya menutup pembicaraan. |
Penulis: Eveline Ramadhini