Dalam revisi UU Terorisme, pemerintah tak menggolongkan gerakan separatis sebagai gerakan teroris.
Wartapilihan.com, Jakarta–Kasus “pemberontakan’ Napi teroris di Mako Brimob, Depok, bom bunuh diri di gereja dan Mapolresta Surabaya, membuat keprihatinan yang mendalam. Diantara bentuk keprihatinan adalah dengan cara menggelar diskusi guna melihat lebih dalam kasus tersebut.
Dalam diskusi “Mengurai Benang Kusut Terorisme” yang diselenggarakan The News Maker Forum di bilangan Juanda, Jakarta Pusat, Sabtu (19/5), mantan narapidana terorisme (Napiter) Ustaz Haris Amir Falah menerangkan perbedaan kejadian “terorisme” antara tahun 1990 dengan tahun 2000.
Kala itu, saat ia melatih perang umat Islam yang hendak membela saudara muslim tertindas di Timur Tengah di suatu gunung, aparat menghadang personil pimpinan Amir Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) ketika tiba di kaki gunung.
“Waktu itu tidak ada gerakan yang terteror. Adapun bentrokan terjadi setelah kami selesai latihan dan proses hukum berbicara lain. Padahal, kami tidak terpengaruh pemikiran takfiri (mengkafirkan orang lain), ghuluw (ekstrimisme) dan lain sebagainya,” ujar Haris.
Dalam konteks saat ini, lanjut Haris, para pelaku teror terdoktrin oleh pemahaman yang salah dan keliru. Kendati aqidah sama, namun tidak berada di barisan mereka, maka tidak dapat dianggap sebagai muslim. Ia menuturkan pemahaman ini terus berkembang ketika deklarasi ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) di Suriah.
“Perbedaannya, kami ingin membela saudara-saudara di luar Indonesia, seperti Palestina. Kami tidak menganggap seluruh penduduk yang tidak sepaham dengan kami, kafir. Tetapi, eskalasi saat itu meningkat bersamaan dengan pembantaian umat Islam di Palestina,” tutur Haris.
Dikatakan Haris, berpikir radikal bukan sesuatu yang salah dan keliru. Menurutnya, hal yang salah adalah berpikir ekstrim (ghuluw). Ia tidak mengehendaki orang menjadi khawarij dan juga tidak menghendaki menjadi murjiah. Karenanya, yang harus digiatkan di Indonesia adalah gerakan dakwah dan perang pemikiran. Bukan teror atau perang fisik.
“Peristiwa Thamrin kami lihat seperti akumulasi dendam. Sebab, penanganan aparat sangat represif. Terlebih, prinsip mereka (kelompok jihadis), darah harus dibayar dengan darah,” kata dia.
“Saya berharap kita semua terus menjalin persatuan umat dan menghindari segala bentuk kekerasan. Indonesia bukan daerah perang, Indonesia adalah daerah damai. Maka yang harus dikembangkan adalah dakwah,” saran Haris.
Dalam kesempatan sama, Ketua GNPF Ulama Ustaz Yusuf Muhammad Martak menganalogikan, perbuatan teror tak sama kalahnya dengan perbuatan ceroboh anak muda yang melakukan balapan liar.
“Ketika anak tersebut salah mengambil keputusan untuk berada di jalur kanan atau kiri, maka dipastikan akan merenggut nyawa. Nah, teroris ketika mendapatkan doktrin dari arah mana saja tanpa di filter dengan pandangan Islam, mereka tidak tanggung melakukan hal yang dapat mengancam nyawa siapapun termasuk dirinya,” kata Yusuf.
Dilanjutkan Yusuf, di saat bersamaan hampir seluruh instansi mendorong pemerintah menerbitkan Peraturan Pengganti Perundang-Undangan (Perppu) Terorisme. Padahal, kata dia, pembahasan revisi UU Terorisme tinggal menunggu redaksi definisi teroris dari pemerintah.
“Selama 63 tahun, saya baru mendengar bom meledak bersamaan dalam waktu serentak di tiga Gereja. Lantas, dimana fungsi Intelijen, BAIS dan BIN? Kalau Perppu ini digunakan untuk pelaku (teroris) yang masih hidup, maka jelaskan dulu definisinya,” tegasnya.
Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri menjelaskan, dari sisi normatif, militer dapat diperbantukan untuk menanggulangi teror dengan 3 syarat. Pertama, kondisi objektif. Kepolisian tidak sanggup menanangani eskalasi yang berkembang. Kedua, atas permintaan Kepolisian kepada Presiden untuk melibatkan TNI, dan ketiga, harus berdasarkan surat eksplisit dari Presiden.
“Undang-Undang Terorisme hari ini harus dikoreksi bersama-sama. Sebab, banyak pasal baru yang melibatkan berbagai pihak, tetapi tidak substansial. Seperti penangkapan sewenang-wenang, perpanjangan masa penahanan dan korban dari peristiwa lain,” terangnya.
Padahal, lanjutnya, dalam penanganan terorisme, pemerintah harus menjamin hak warga negara yang diatur dalam konstitusi. Rule of law menjadi alat mendasar dalam penanganan kasus terorisme.
“Regulasi (terorisme) itu sudah menjadi jalan yang tepat untuk asas proporsionalitas, akuntabilitas dan transparansi. Namun, ada persepsi salah dan keliru terkait jaminan pelindungan hak asasi manusia yang dianggap sebagai penghambat pemberantasan terorisme,” katanya.
Kabid Pemenuhan Hak Anak, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Reza Indragiri Amriel menerangkan, dalam wacana victimologi pemerintah harus memberikan ganti rugi terhadap para korban. Mulai dari korban primer, sekunder sampai tersier.
“Kenapa negara wajib bayar ganti rugi? Sebab, restitusi maupun kompensasi merupakan tanggung jawab negara akibat lalai terhadap rakyatnya. Dalam dunia psikologis, dikenal theraupetic justice. Ini yang harus dijalankan. Adapun bentuk rehabilitasi lainnya adalah terobosan hukum,” paparnya.
Lebih lanjut, ungkap ahli tim forensik itu, ada gerakan yang lebih berbahaya daripada gerakan teroris. Yaitu gerakan separatis. Nahasnya, dalam revisi UU Terorisme pemerintah tak menggolongkan gerakan tersebut sebagai gerakan teroris.
“Dalam waktu tak lama, kita berharap Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme segera disahkan. Perang terhadap teror adalah perang rakyat semesta. Namun, dalam Pasal UU Terorisme, pelibatan rakyat semesta dalam pemberantasan terorisme tidak signifikan,” tandasnya.
Tim Pengacara Muslim (TPM) Achmad Michdan mengatakan, persoalan rentetan teror termasuk kejadian di Mako Brimob merupakan akumulasi dari hak asasi narapidana yang selama ini dilanggar. Salah satunya pendampingan oleh kuasa hukum. Selain itu, jika napiter mempunyai pandangan keliru terkait kebangsaan, seharusnya diberikan ahli yang dapat memberikan pencerahan.
“Menurut saya (persoalan makanan) itu adalah bagian kecil pemicu. Selama 18 tahun saya mengikuti, banyak pelanggaran hak asasi manusia mulai dari penangkapan, pemeriksaan dan penahanan,” terangnya.
Ahmad Zuhdi