Djoko Edhi: Mendagri Seharusnya Mengacu ke Dakwaan Primer

by
Djoko Edhi S Abdurrahman. Foto: Flickr

Wartapilihan.com, Jakarta – Mantan Anggota Komisi Hukum DPR RI Djoko Edhi S Abdurrahman mengkritik langkah Kemendagri Tjahjo Kumolo yang mengaktifkan kembali Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI. Menurut Djoko, dakwaan primer kepada Ahok adalah penghinaan Al Maidah 51 yang masuk dalam Pasal 156 a KUHP dengan ancaman 5 tahun penjara. Sedangkan dakwaan pelapisnya adalah Pasal 156 dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara.

“Pertanyaannya, ancaman hukuman dalam blasphemi Ahok: Pasal 156 atau Pasal 156 a? Mendagri mengambil yang 156. Ini preseden baru, karena yang dimaksud ancaman diambil dari dakwaan subsider. Dengan itu Ahok lolos dari ancaman pemberhentian Pasal 83 Ayat 1 UU Pemda. Menurut saya tak benar. Yang jadi acuan adalah dakwaan primer, bukan subsider,” ujar Djoko dalam keterangan tertulis yang diterima Warta Pilihan, Ahad (12/2).

Ia lalu mencontohkan masalah ini dengan analogi kisah seorang pencuri. Ada pencuri masuk dengan merusak pintu. Sang pencuri kepergok penghuni yang kemudian dibunuhnya. Setelah itu, sang pencuri lari dengan mencuri mobil korban.

“Mana yang primer: 1. Perusakan pintu, 2. Pembunuhan, 3. Pencurian. lmu Hukum pidana menyatakan ancaman hukuman tertinggi menempati primer, yaitu pembunuhan. Sedang pencurian dan perusakan pintu menempati subsidernya. Jika pembacaan seperti ini dilakukan oleh Mendagri, mau tak mau Ahok harus diberhentikan,” mantan Anggota Komisi III periode 2004-2009 ini menegaskan.

Hal ini, kata Djoko, sama terjadi pada kasus korupsi. Subsidernya senantiasa gratifikasi, ancamannya 4 tahun. Bukan kejahatan berat, apalagi extra ordinary crime. Sedangkan delik korupsinya yang diancam 5 tahun ke atas tak dibaca.

“Kata Prof Mahfud MD resiko menabrak hukum seperti itu ditanggung oleh Presiden Jokowi, ia bisa dilengserkan, ironisnya hanya karena salah baca UU. Agar tak melanggar hukum, sarannya, Jokowi bisa menerbitkan Perppu untuk membypass UU Pemda,” Djoko mengingatkan.

Djoko kemudian mengutip pandangan mantan Komisioner Ombudsman Hendra Nurtjahjo. Dalam tulisan berjudul “Tanggungjawab Konstitusional Pemberhentian Gubernur: Suatu Conditio Sine Qua”, Hendra menyatakan pemberhentian Gubernur merupakan kewajiban konstitusional Presiden untuk melaksanakan Pasal 83 UU No.23 Tahun 2014. Pasal tersebut adalah pasal dengan norma imperatif, bukan fakultatif, karena tidak ada kata ‘dapat’ di dalam teks pasal tersebut.

“Ketentuan normatif itu mengharuskan Presiden untuk melaksanakannya (Suatu conditio sine qua non) secara tegas tanpa menimbang kepentingan politik apapun. Negara hukum mensyarakatkan penegakan hukum tidak boleh dilakukan atas intervensi kepentingan politik tertentu,” tulis Hendra.

Menurut Hendra, politik harus tunduk pada hukum, walaupun hukum itu sendiri merupakan hasil dari proses politik. Kepatuhan pada hukum adalah sendi utama dalam bernegara. “Pengabaian hukum akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dan berimplikasi pada runtuhnya negara,” tulis Hendra.

Presiden adalah Kepala Negara dan juga Kepala Pemerintahan, Kedudukan ini adalah status kelembagaan dan bukan personal. Lembaga kepresidenan dalam ketentuan konstitusi memiliki kewenangan yang sangat besar dalam menjalankan hukum dan pemerintahan. Tentu seorang Presiden harus menjunjung tinggi hukum dan perundang-undangan sebagaimana yang disebut dalam sumpah jabatannya.

“Apabila Presiden tidak mematuhi hukum atau memberlakukan hukum secara berbeda (discriminatory) dalam suatu kasus, maka hal ini merupakan pelanggaran sumpah jabatan dan akan berimplikasi yuridis serius dalam perspektif hukum tata negara,” tulis Hendra.

Persoalan pemberhentian Kepala daerah terkait dengan perspektif hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum pidana. Perangkat hukum yang diacu berdasarkan pada ketentuan konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.

Prinsip selalu mengacu kepada konstitusi adalah konsekuensi kedudukan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat bukan machtstaat).

“Pemberhentian Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok sebagai Kepala Daerah murni harus didasarkan pada perspektif hukum dan tidak dalam perspektif politik,” tulis Hendra.

Intervensi politik terhadap hukum, tukas Hendra, akan mendegradasi kedudukan negara hukum (nomocracy) dan berpotensi menyebabkan kerusuhan sosial (mobocracy) yang akan menuai perpecahan bangsa dan negara.

Dalam catatan, Mendagri Tjahjo Kumolo juga memiliki riwayat memberhentikan sejumlah kepada Daerah begitu menjadi terdakwa. Misalkan, Wakil Wali Kota Probolinggo HM Suhadak diberhentikan sementara oleh Mendagri Tjahjo Kumolo pada 22 November 2016 setelah menjadi terdakwa kasus korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2009.

Mendagri Tjahjo Kumolo juga memberhentikan Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi pada Rabu 30 November 2016 setelah BNN menetapkannya sebagai tersangka. Dalam kasus ini, sikap tegas Mendagri dinilai diluar kelaziman sesuai UU No 23 Tahun 2014. Biasanya kepala daerah diberhentikan sementara setelah jadi terdakwa.

Sementara itu, Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho diberhentikan sementara karena tersangkut kasus penyuapan. Pemberhentian Gatot sebagai Gubernur Sumatera Utara dilakukan Mendagri setelah terdakwa menjalani sidang perdana pada 23 Desember 2015.

Reporter: Pizaro

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *