Pertimbangan hukum MK telah jauh melampaui kewenangan MK sebagai lembaga yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang Dasar untuk “menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar”.
Wartapilihan.com, Jakarta — Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018 tanggal 23 Juli 2018 telah mengabulkan permohonan Muhammad Hafidz agar Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan frasa “pekerjaan lain” dalam rumusan norma Pasal 182 huruf 1.
Dalam Pasal tersebut berbunyi “bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan public, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan Negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD.
Hal itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” yang menjadi salah satu syarat untuk mendaftarkan diri menjadi bakal calon anggota DPD, dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945.
Putusan MK di atas dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 18 Juli 2018 jam 12.12 WIB, sementara berdasarkan ketentuan yang dibuat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pendaftaran bakal calon anggota DPD, adalah sejak tanggal 26 Maret sampai dengan tanggal 11 Juli 2018. Verifikasi dan pengumuman hasil verifikasi dilakukan tanggal 19 Juli 2018.
“Kalau kita membaca rumusan norma Pazal 27 Undang-Undang MK, putusan MK itu berlaku serta-merta sejak dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Artinya, putusan itu berlaku sejak jam 12.12 tanggal 23 Juli 2018,” ujar pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra di Jakarta, Jumat (27/7).
Namun, lanjut Yusril, penentuan jadual pendaftaran bakal calon legislatif tidak diatur dalam undang-undang, melainkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), yakni PKPU Nomor 14 Tahun 2018 yang pembentukannya merupakan pendelegasian kewewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
“PKPU Nomor 14 Tahun 2018 itu disahkan dan diundangkan pada tanggal 12 April 2018 ketika frasa dan 8 pekerjaan lain dalam norma Pasal 182 huruf l Undang-Undang Pemilu masih sah berlaku karena belum dinyatakan oleh MK bertentangan dengan UUD 1945 dan kemudian dimaknai sendiri oleh MK,” papar Yusril.
Dilihat dari sudut teori hukum tatanegara, PKPU Nomor 14 Tahun 2018 dibentuk oleh KPU berdasarkan prinsip yang dinamakan presumption of constitutionality. Artinya, PKPU dibentuk berdasarkan prinsip bahwa undang-undang adalah konstitusional sebelum dinyatakan oleh lembaga yang berwenang, dalam hal ini MK, sebagai bertentangan dengan UUD 1945.
“Syarat-syarat dan jadual pendaftaran bakal calon anggota DPD semuanya telah tertuang dalam PKPU Nomor 14 Tahun 2018. PKPU ini masih sah berlaku sebagai norma hukum, meskipun pada tanggal 18 Juli 2018 jam 12.12 frasa pekerjaan lain dalam Pasal 182 huruf l UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai mencakup pula pengurus (fungsionaris) partai politik,” tutur Yusril.
Sementara itu, norma yang diatur dalam PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tidak otomatis gugur dengan adanya Putusan MK. Yusril menjelaskan, PKPU sendiri baru gugur apabila dinyatakan bertentangan dengan norma undang-undang oleh Mahkamah Agung atau dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh KPU sendiri.
“Dalam kenyataannya, ada beberapa PKPU yang nyata-nyata bertentangan dengan undang-undang yang dibuat oleh Presiden dengan DPR namun tetap berlaku dan diberlakukan oleh KPU meskipun mendapat kritik dan kecaman,” sesal Yusril.
Selain persoalan presumption of constituonality di atas, berdasarkan norma Pasal 47 Undang-Undang MK, putusan MK tidaklah berlaku retro-aktif atau berlaku surut ke belakang karena bertentangan dengan norma Pasal 281 ayat (1) UUD 1945. Putusan MK itu berlaku sejak tanggal 23 Juli 2018 jam 12.12, sementara jadwal pendaftaran batas bakal calon anggota DPD telah berakhir tanggal.
“Verifikasi dan pengumuman kelengkapan pendaftaran adalah seminggu sebelum adanya Putusan MK Nomor 30/PUUXVI/2018. Proses pendaftaran bakal calon anggota DPD, yang sudah selesai seminggu sebelum tanggal dibacakannya Putusan MK, tidaklah menyebabkan proses pendaftaran yang telah telah dilakukan oleh fungsionaris partai politik itu gugur dengan sendirinya akibat adanya Putusan MK,” ujarnya.
Dikatakan Yusril, kewajiban bagi pendaftar (yang sebagian adalah fungsionaris partai politik) dalam melakukan pendaftaran telah mereka penuhi karena sampai berakhimya waktu pendaftaran ketentuan bahwa fungsionaris partai politik tidak boleh mencalonkan diri sebagai anggota DPD belum ada.
“Tahapan selanjutnya adalah KPU harus melakukan verifikasi berkas pendaftaran yang juga didasarkan atas berkas yang masuk, yang tidak melarang fungsionaris parpol untuk mendaftarkan diri,” ungkap dia.
Sehari sebelum batas verifiasi, barulah ada putusan MK yang konsekuensinya melarang fungsionaris partai untuk mendaftarkan diri menjadi bakal calon anggota DPD, kemudian tanggal 19 Juli KPU sudah menyatakan mana bakal calon yang berkasnya lengkap (MS), belum lengkap (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS).
“Kalau ini harus dibatalkan karena adanya putusan MK, maka jelaslah bahwa putusan MK itu telah menimbulkan ketidakpastian hukum,” tegas Yusril.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK mengatakan “karena prose pendaftaran calon anggota DPD telah dimulai dalam hal terdapat bakal bakal anggota yang kebetulan merupakan pengurus partai politik terkena dampak oleh putusan ini, KPU dapat memberikan kepada yang bersangkutan untuk tetap Sebagai calon anggota DPD sepanjang telah menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik.
“Dan dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang benilai hukum perihal pengunduran diri dimaksud. Dengan demikian untuk selanjutnya, anggota DPD sejak Pemilu 2019 dan Pemilu-Pemilu setelahnya yang menjadi pengurus partai politik adalah bertentangan dengan UUD I945,” kata Yusril.
Menurut dia, pertimbangan hukum MK di atas telah jauh melampaui kewenangan MK sebagai lembaga yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang Dasar untuk “menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar”. Sebagai lembaga yang kewenangannya adalah “negative legislation”, MK hanya berwenang memutuskan apakah norma undang-undang yang diuji bertentangan atau tidak dengan norma konstitusi.
“Bagaimana penerapan keputusan MK itu adalah sepenuhnya menjadi kewenangan badan pembentuk undang-undang atau aparat penyelenggara lainnya. MK tidak dapat memberikan semacam perintah atau arahan kepada suatu lembaga untuk melakukan tindakan tertentu seperti arahan kepada KPU, sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum di atas,” tukasnya.
Oleh karena pertimbangan hukum itu adalah “pertimbangan belaka” dan bukan “diktum” atau keputusan MK, maka pertimbangan hukum yang nyata-nyata melampaui kewenangan adalah tergolong sebagai perbuatan sewenang-wenang, maka pertimbangan seperti itu tidak perlu dipatuhi oleh KPU.
“Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang dimohon oleh pemohonnya untuk mendapatkan kepastian hukum dengan batu uji norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, justru mendapatkan ketidakpastian hukum yang baru dalam penyelenggaraan Negara,” pungkasnya.
Ahmad Zuhdi