Indonesia tidak kekurangan pakar Hadist, Qur’an, dan Fiqih, tetapi kekurangan pakar dalam tantangan pemikiran kontemporer dalam ketiga bidang tersebut.
Wartapilihan.com, Jakarta– Terdapat split personality dalam kepribadian para tokoh yang menggugat atau mendekonstruksi Qur’an dan Hadist, sehingga muncul statement “tidak otentik”, “produk budaya”, dan sejenisnya.
Tradisi Kritik Bible di Barat
Liberalisme di Barat bermula dari Religious Text Criticism. Mereka membaca teks Bibel dengan perspektif historisisme dimana kebenaran didefinisikan sebagai kesepakatan dalam kronologi sejarahnya. Tokoh yang menggagas paham ini adalah Vico, Johann Gottfried Herder, dan Marie Dominique Chenu. Akhirnya, lahirlah kajian-kajian kritis Bibel yang mendetil seperti kajian mengenai studi filologi, kritik sastra, kritik bentuk, kritik redaksi, dan kritik teks. Metode kritis-historis menggunakan beberapa jenis kritik tersebut. Dalam kajian kritis terhadap sejarah Bibel, kritik sastra/sumber telah muncul pada abad 17 dan 18 ketika para sarjana Bibel menemukan berbagai kontradiksi, pengulangan perubahan di dalam gaya bahasa, dan kosa kata Bibel. Mereka menyimpulkan kandungan Bibel akan lebih mudah dipahami jika sumber-sumber yang melatarbelakangi teks Bibel diteliti.
Salah seorang orientalis, Arthur Jeffery melakukan refleksi dari pengalaman agama Kristen yang dianutnya. Dalam ajaran Kristen, Bibel merupakan sebuah persoalan yang tidak mungkin lagi untuk diselesaikan. Hal ini disebabkan teks asli sudah tidak ada lagi dan terdapat beragam versi yang tidak mungkin didamaikan. Gereja Timur dan Gereja Barat berbeda dalam menerima teks standart. Mereka berbeda dalam menyikapi Bibel yang diinformasikan oleh Matius, Markus, Lukas, Yohannes, Phillip, Mary, Thomas, Yudas dan Barnabas. Para orientalis-missionaris memang telah terbiasa dengan kritis Bibel mereka, misalnya menghimpun varian bacaan Perjanjian Baru, seperti John Mill yang mengkaji kritis teks perjanjian Baru dengan cara menghimpun varian bacaan dari manuskrip-manuskrip Yunani kuno, ragam versi teks Perjanjian Baru dari para Petinggi Gereja. Hasilnya, Mill dapat menghimpun sekitar 30.000 varian bacaan yang berbeda dengan textus recepetus dalam versi bahasa Yunani kuno.[1]
Pandangan Orientalis-Liberalis Terhadap Hadis
Gugatan orientalis terhadap hadis bermula pada pertengahan abad ke-19 M, tatkala hampir seluruh bagian dunia Islam telah masuk dalam cengkeraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Alois Srenger adalah yang pertama kali mempersoalkan status hadis dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad saw. Misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini menyatakan bahwa hadis merupakan anekdot. Pernyataan ini diikuti oleh rekan satu misinya William Muir, Orientalis Inggris yang juga mengkaji biografi Nabi Muhammad saw. sejarah perkembangan Islam. Menurut Muir, dalam litertur hadis, nama Nabi Muhammad sengaja dicatat untuk menutupi bermacam-macam kebohongan dan keganjilan.
Dapat dipahami, bahwa kaum liberal meragukan eksistensi sunnah sebagai dasar hukum Islam. Menurut mereka, para sahabat tidak dapat dipercaya, sistem yang dibangun ulama hadis pun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan butuh koreksi ulang. Dari sini jelaslah bahwa para penganut pemikiran liberal masih meragukan keabsahan hadis sebagai hujah, dan otomatis pandangan ini berimplikasi pada sisi materil atau hukum-hukum yang diatur di dalamnya. Pandangan lainnya dari kaum liberal adalah penolakan terhadap formalisasi hukum Islam khususnya di Indonesia. Bahkan mereka memandang bahwa sama sakali tidak ada perintah untuk menegakkan sistem hukum yang Islami. Atas dasar itu pula, mereka terpaksa menolak hadis-hadis Nabi meskipun derajatnya sahih, karena dianggap bertentangan dengan Al-Quran.[2]
Dampak dari Pandangan Orientalis-Liberalis Terkait Hadis
Sikap dan pandangan orientalis yang menyangsikan kebenaran hadis tersebut dapat berdampak negatif baik bagi ajaran Islam, umat Islam maupun kafir. Dampak-dampak itu antara lain: Pertama, adanya kesan negatif tentang Islam dan khususnya hadis di mata orang-orang Barat yang membaca dan bahkan terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran para orientalis itu. Kedua, kalau demikian, para pemerhati Islam dan juga umat Islam tidak mendapatkan informasi yang objektif dan ilmiah tentang hadis, sehingga mereka ’dibodohi’ secara akademik. Ketiga, metodologi kritik hadis yang dikemukakan oleh para orientalis dan digunakan dalam pengkajian hadis, tidak hanya bertentangan dengan metodologi kritik hadis yang mentradisi di kalangan umat Islam, tetapi juga berarti merobohkan teori-teori ilmu hadis yang dikenal dengan Mustalah al-Hadīth. Keempat, pendapat para orientalis tersebut dapat dijadikan dasar argumentasi oleh orang-orang yang tidak mengakui hadis atau kelompok inkar sunnah di kalangan umat Islam, meskipun minoritas. Kelima, tidak hanya hadis yang terbantahkan kebenarannya, ayat-ayat al-Qur’an yang mendukung dan membuktikan kebenaran hadis Nabi juga ikut terbantah. Keenam, jika pendapat para orientalis tersebut dibenarkan dan diikuti oleh umat Islam, maka mereka akan meninggalkan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an dan keberagamaan mereka akan keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya.[3]
Kekeliruan pandangan ini bila tidak diluruskan, tentu akan membawa dampak buruk yang signifikan didalam masyarakat. Pemahaman masyarakat yang dibentuk oleh para tokoh dan sumber yang tidak otoritatif mengakibatkan pandangan masyarakat terus bergeser dan tidak akan pernah tiba pada pemaknaan yang baik dan benar. Mengkritik pandangan para orientalis-liberalis tentang hadis tentu harus diawali dengan keilmuan yang mumpuni. Mempelajari studi hadis dan tantangannya kepada tokoh dan sumber otoritatif. Pasalnya pemelintiran makna atau syarah hadis terus terjadi seiring berjalannya waktu. Jika hal ini bila dibiarkan, justru bukan kemajuan yang akan digapai oleh umat muslim, melainkan kemunduran atau keruntuhan, sebab salah satu asas didalam Islam telah dirusak baik oleh oknum-oknum internal maupun eksternal. Wallahu a’lam bish showab.
Penulis: Taufik Hidayat
[1] Abdul Karim. 2013. “Pemikiran Orientalis Terhadap Kajian Tafsir Hadis”. Jurnal Addin Vol. 7 No. 2.
[2] Fakhrurrozi. 2016. “Kajian Hadis dalam Perspektif Liberal”. Jurnal Waraqat Vol. 1 No. 2.
[3] Idri. 2011. “Perspektif Orientalis Tentang Hadis Nabi: Telaah Kritis dan Implikasinya terhadap Eksistensi dan Kehujjahannya”. Jurnal al-Tahrir Vol. 11 No. 1.