Agaknya penting untuk diketahui pembagian tipologi feminisme yang ada di Barat.
Wartapilihan.com, Jakarta– Pertama, adalah Liberal Feminism. Feminisme Liberal adalah paham feminis yang pertama sekaligus masih eksis hingga hari ini. Gerakan feminis liberal merupakan paham masih sangat dekat dengan fenomena penindasan atas wanita. Dalam analisis feminis liberal, dominasi patriarki di Barat berimplikasi pada intimidasi hak partisipasi wanita di ruang public. Mereka menuntut persamaan hak aspirasi berkeadilan gender yang menyetarakan antara lelaki dan wanita.
Kedua, Radical Feminism. Secara definitif, Feminisme Radikal adalah paham yang ingin merekonstruksi sistem gender yang partiarkal, untuk kemudian membentuk masyarakat baru, di mana laki-laki dan perempuan setara di setiap level elemennya. Berbeda dengan Feminis Liberal yang bergerak ‘di bawah’, sistem yang masih berjalan ketika itu, Feminis Radikal menginginkan sebuah sistem baru.
Ketiga, Marxist & Socialist Feminism. Untuk memahami tipologi Feminis Sosialis-Marxis, tentunya tidak lepas dari bagaimana kritik Marx terhadap struktur industri masyarakat modern. Marx mengklasifikasikan perbenturan dua kelas masyarakat –yang biasa dikenal dengan Borjuis dan Proletar, yakni antara pemilik modal yang senantiasa dituntut untuk menguasai buruh. Dalam kaitannya dengan seksualitas dan kesetaraan Gender, ‘menguasai’ atau ‘eksploitasi’ ini juga menjangkau ranah wanita. Feminis Sosialis-Marxis merasa gelisah tatkala melihat ketimpangan jumlah buruh pria dan wanita. Antara keduanya pun, memiliki waktu bekerja yang relatif berbeda. Hal ini tentunya menghasilkan sudut pandang yang lagi-lagi uniequal. Wanita mendapat upah yang lebih rendah, atau bahkan tidak sama sekali dibandingkan dengan upah pria.
Keempat, Psychoanalytic And Existential Feminism. Dimensi psikologi yang ada pada penindasan wanita lantas berkembang menjadi Feminisme Psikoanalitis-Eksistensial. Mereka berpendapat, berlandaskan teori psikoanalisis Sigmund Freud, bahwa cara berpikir wanita bersumber dari alam bawah sadar mereka. Cara berpikir ini, ternyata juga telah dibentuk oleh masyarakat. Sehingga ketika seorang anak lahir, mau tidak mau akan mengikuti diferensiasi atas gender yang sudah menjadi sudut pandang masyarakat itu. Maka sesungguhnya, masa anak-anak juga sangat berperan penting dalam konstruk psikologisnya.
Kelima, Postmodern Feminism-Postfeminism. Feminis Postmodern, sesuai dengan namanya sangatlah identik dengan fase keempat filsafat Barat; Postmodern. Di dalam Postfeminisme, Sarah Gamble menggambarkan ciri keduanya tidak hanya identic di nama namun juga terhadap nilai-nilai yang bersifat ‘post’. Postfeminisme lahir dari ketidakpastian semantis yang disebabkan imbuhan (Post) di depannya[1].
Demikian penjelasan ringkas, pembagian tipologi feminisme yang ada di Barat.
Gender serta Konsep Nature dan Nurture
Dalam kajian feminisme, gender bermakna ciri atau sifat yang dihubungkan dengan jenis kelamin tertentu, baik berupa kebiasaan, budaya, maupun perilaku psikologis, bukan perbedaan secara biologis. Pegiat kesetaraan gender secara sederhana membedakan definisi seks sebagai jenis kelamin biologis sejak lahir, yakni laki-laki atau perempuan berdasar alat kelamin yang dimiliki, sedangkan gender adalah “jenis kelamin” sosial berupa atribut maskulin atau feminim yang merupakan konstruksi sosial budaya. Menurut mereka atribut maskulin tidak harus dilekatkan pada jenis kelamin laki-laki dan sifat feminim juga tidak mesti untuk perempuan, karena atribut-atribut tersebut bukan merupakan bawaan yang bersifat kodrati, melainkan terbentuk secara sosio-historis yang sifatnya tidak tetap dan bisa dipelajari, sehingga bisa dipertukarkan lintas seks. Pendefinisian semacam ini berbeda dengan makna awal kata tersebut dalam bahasa aslinya, dan ketika diperkenalkan dalam bahasa lain juga terjadi problem, karena sebelumnya memang tidak ada bahasa dan kebudayaan yang membedakan antara jenis kelamin biologis dengan “jenis kelamin” social.
Sedangkan, nature secara etimologi diartikan sebagai karakteristik yang melekat atau keadaan bawaan pada seseorang atau sesuatu, diartikan juga sebagai kondisi alami atau sifat dasar manusia. Dalam kajian gender, term nature diartikan sebagai teori atau argumen yang menyatakan bahwa perbedaan sifat antar gender tidak lepas dan bahkan ditentukan oleh perbedaan biologis (seks). Disebut sebagai teori nature karena menyatakan bahwa perbedaan lelaki dan wanita adalah natural dan dari perbedaan alami tersebut timbul perbedaan bawaan berupa atribut maskulin dan feminim yang melekat padanya secara alami. Jadi, seharusnya dalam menyikapi perbedaan yang ada bukan dengan menghilangkannya, melainkan dengan menghapus diskriminasi dan mencipatakan hubungan yang serasi.
Sementara, nurture secara etimologi berarti kegiatan perawatan/pemeliharaan, pelatihan, serta akumulasi dari faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kebiasaan dan ciri-ciri yang nampak. Terminologi kajian gender memaknainya sebagai teori atau argumen yang menyatakan bahwa perbedaan sifat maskulin dan feminim bukan ditentukan oleh perbedaan biologis, melainkan konstruk sosial dan pengaruh faktor budaya. Dinamakan nurture karena faktor-faktor sosial dan budaya menciptakan atribut gender serta membentuk stereotip dari jenis kelamin tertentu, hal tersebut terjadi selama masa pengasuhan orang tua atau masyarakat dan terulang secara turun-temurun. Karena adanya faktor budaya didalamnya, argumen ini seringkali juga disebut sebagai konsep culture.[2] Tradisi yang terus berulang kemudian membentuk kesan di masyarakat bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang alami.
Kesetaraan dan Ketimpangan Gender
Asumsi dasar kesetaraan gender yang dibawa oleh feminisme berangkat dari teori nurture. Menurut mereka, peran gender hanya berasal dari konstruksi sosial (nurture) semata dan bukan alamiah atau kodrati (nature), sehingga dapat dipertukarkan. Dengan demikian peran gender pada hakikatnya adalah netral, setara, sama, dan dapat dilakukan oleh jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, semuanya adalah sama. Keadaan netral di atas adalah kondisi ideal pria dan wanita gambaran kaum feminis. Jika kenetralan ini dilanggar, maka dalam pandangan mereka akan menimbulkan ketimpangan sosial, yakni diskriminasi terhadap perempuan. Untuk mengetahui tentang apakah telah terjadi ketimpangan, biasanya kaum feminis memakai ukuran kuantitatif, seperti dengan melihat outcome, hasil, lot atau keberhasilan yang telah dicapai pria dan wanita di dunia publik.
Adapun bentuk-bentuk ketimpangan tersebut antara lain; pertama, marginalisasi perempuan, yakni menjauhkan perempuan dari aktivitas publik yang mengakibatkan perempuan tidak memiliki pendapatan sehingga menjadi miskin. Kedua, subordinasi perempuan, yaitu menempatkan perempuan pada posisi lebih rendah daripada laki-laki. Subordinasi perempuan berangkat dari anggapan dasar bahwa perempuan irasional, emosional, lemah, dan lain-lain. Sehingga perempuan ditempatkan dalam peran-peran yang tidak penting. Misalnya menganggap perempuan tidak layak untuk menjadi pemimpin karena perempuan itu irasional dan emosional. Ketiga, stereotip negatif terhadap perempuan. Seperti perempuan itu dianggap sebagai makhluk penggoda, perayu, atau sumber maksiat, sehingga, bila terjadi pelecehan dan kekerasan seksual oleh laki-laki, perempuan yang seharusnya menjadi korban malah dianggap sebagai penyebab terjadinya tindak kejahatan. Keempat, kekerasan perempuan, yakni perlakuan kasar terhadap perempuan baik berupa kekerasan fisik, psikis, maupun seksual. Kelima, beban kerja seksual, yaitu membebankan perempuan untuk memikul dua peran ganda sebagai pekerja domestik dan pekerja luar.[3] Misalnya perempuan yang telah berkarier di luar juga harus bekerja di rumah. Peran ganda membuat perempuan memperoleh kesukaran untuk bekerja di luar, sehingga hasil (upah) yang diperoleh perempuan rendah.
Penutup
Dalam Islam, memperjuangkan keadilan bagi wanita harus bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Realita yang terjadi mayoritas para pelaku ketidakadilan terhadap perempuan adalah mereka yang tidak memahami syariat dan mengabaikan nash-nash al-Quran dan hadis.[4] Bagaimanapun antara laki-laki dan perempuan tidak dapat disamakan. Antara keduanya memiliki
kewajiaban, hak, dan peran masing-masing. Penyaamaan keduanya tidaklah tepat, yang tepat adalah keadilan bagi keduanya. Dalam Islam sendiri, perempuan dan laki-laki memang diciptakan Allah secara berbeda, namun bukan berarti hal itu menandakan superioritas laki-laki dibanding perempuan.[5] Perbedaan tersebut, di dalam al-Qur’an justru diciptakan agar laki-laki dan perempuan bisa saling mengisi satu sama lain, saling menyayangi dan saling memberikan manfaat.
Penulis: Taufik Hidayat
[1] Abdullah Muslich Rizal Maulana. 2013. “Feminisme Sebagai Diskursus Pandangan Hidup”. Jurnal Kalimah Vol. 11 No. 2.
[2] Moh. Khuza’i. 2013. “Problem Definisi Gender: Kajian atas Konsep Nature dan Nurture”. Jurnal Kalimah Vol. 11 No. 1.
[3] M. Hajir Mutawakkil. 2014. “Keadilan Islam dalam Persoalan Gender”. Jurnal Kalimah Vol. 12 No. 1.
[4] Syamsul Hadi Untung, Achmad Idris. 2013. “Telaah Kritis Terhadap Hadis Misoginis”. Jurnal Kalimah Vol. 11 No. 1.
[5] Qaem Aulassyahied. 2019. “Meninjau Kembali Gugatan Feminisme Terhadap Institusi Rumah Tangga dan Dalil Bias Gender dari Perspektif Islam”. Jurnal Tasfiyah Vol. 3 No. 1.