Wartapilihan.com – “Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang diberi makan hanya disebabkan oleh susunya,”kata Tjokroaminoto ketika berpindato di Bandung 1916. “Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap negeri ini sebagai suatu tempat dimana orang datang dengan maksud mengambil hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat dipertanggungjawabkan bahwa penduduknya, terutama penduduk pribumi, tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik, yang menyangkut nasibnya sendiri…”
Tjokro memang hebat. Bersama Samanhoedi, ia merawat dan membesarkan Sarekat Islam (SI) yang berdiri di Solo 1912.. Empat tahun setelah didirikan, perserikatan itu memiliki lebih dari 180 cabang dengan 700 ribu anggota, 20 kali lipat dari jumlah awalnya.
Berbeda dengan Boedi Oetomo, pergerakan kebangsaan yang elitis dan khusus orang Jawa, Sarekat Islam anggotanya ‘seluruh Nusantara’ dan meniadakan hirarki Jawa-Belanda atau bangsawan dan rakyat biasa. Pemimpin-pemimpin SI duduk sejajar dengan pejabat Belanda, sambil menyerukan bahwa kaum Pribumi sama-sama manusia seperti orang Belanda. Pada saat itu pribumi dijuluki Belanda sebagai “seperempat manusia”.
Dengan adanya SI, rakyat biasa seperti memiliki identitas baru. Mereka sangat antusias ketika kongres SI pertama diadakan di Solo, 1913. “Pukul setengah enam sore di stadium NIS, Balapan Solo, orang-orang berdesakan. Mereka menumpang kereta api yang baru tiba dan penjemputnya. Berpuluh-puluh andong, semua berbendera dengan tulisan SI, penanda kereta kuda itu telah disewa perkumpulan Sarekat Islam. Orang yang bukan anggota SI dan tidak dijemput kendaraan terpaksa berjalan kaki. Tidak ada satu andong pun yang tidak berbendera SI. Di situ semua orang Islam menunjukkan sepakatnya hati seorang dengan yang lainnya. Di jalan-jalan semua anggota SI menunjukkan kesenangannya. Semua kereta SI menuju Kampung Kabangan, tempat vergadering Bestuur –kongres- digelar.”
Tjokro memang hebat dalam pidato. Tulisan-tulisannya tidak kalah menarik dengan pidatonya. Ia mampu menumbuhkan harapan kepada rakyat. Sehingga rakyat jelata menanganggapnya sebagai “Ratu Adil”. Pemerintah Belanda menjulukinya “Raja Tanpa Mahkota”. Dan kini ia dijuluki sebagai bapak pendiri bangsa. “Semua tokoh yang berpisah jalan pada 1940-an pernah makan (mondok) di rumah Tjokro,”kata Sejarawan Anhar Gonggong kepada wartawan Tempo. Mereka antara lain Soekarno, Musso, Kartosoewirjo, dan Tan Malaka. (Lihat buku Tjokroaminoto, yang diterbitkan Tempo dan KPG).
Ketika menggambarkan seorang guru pemimpin bangsa Indonesia ini, penulis Mohamad Roem menggambarkan kepribadian Tjokroaminoto dengan rinci dan sangat bagus. Menurut Roem, Pak Tjokro senantiasa memakai pakaian Jawa tradisionil. Blankon, jas tutup, kain panjang dan sandal. Saudara Anwar Tjokroaminoto baru-baru ini menerangkan kepada penulis, bahwa ia pun hanya ingat ayahnya memakai pakaian itu.
Perkenalan Roem dengan para pemuda Islam terpelajar yang tergabung dalam Young Islamieten Bond (Serikat Pemuda Islam), dengan Pak Tjokro mulai di tahun 1925, sesudah JIB didirikan. Perkenalan pertama berlangsung di Jakarta di rumah Pak Haji A Salim yang menjadi penasehat JIB. Tapi Pak Tjokro hadir waktu pada akhir tahun 1924 di Yogyakarta, Pak Syamsyurijal mengambil insiatip untuk mendirikan perkumpulan itu, dalam sebuah ruangan yang diterangi dengan lampu teplok. Dan Pak Tjokro ikut merestui pendirian itu.
Penulis Belanda PF Dahler menyebut, Tjokroaminoto memiliki “een mole, krachtige baritone stem” (suara yang merdu dan berat kuat). Istilah “baritone” mempunyai arti yang khusus dalam seni musik. Mohammad Roem pernah mendengarkan Pak Tjokro berpidato di rapat umum yang dihadiri oleh beberapa ribu orang. Orang di baris depan mendengar suara Pak Tjokro sama kerasnya dengan orang yang duduk di baris belakang, kecuali ia (juga) mampu mengikat perhatian pendengar berjam-jam…
Kalau dengan perkataan tidak akan cukup untuk menggambarkan bagaimana Tjokroaminoto berpidato, Roem mempersilakan orang mendengar dan melihat Soekarno atau Harsono (anak Tjokroaminoto –pen) berpidato, kira-kira begitulah gaya dan nada Tjokroaminoto.”. (Lihat Majalah Kiblat, Agustus 1972 dalam Buku “Bunga Rampai Dari Sejarah (II)”, Mohamad Roem, Bulan Bintang, 1977).
Tjokro memang luar biasa. Ia lah yang menyusun anggaran dasar dan membentuk struktur organisasi SI dengan jelas. Saat itu ia menjadi orang yang paling berpengaruh di Sarekat. Ia membesarkan SI dengan suara, gagasan, media massa dan pertemuan-pertemuan.
‘Gatutkoco Sarekat Islam’ ini lahir di Bakur, Madiun pada 16 Agustus 1882. Tjokro berasal dari keluarga bangsawan. Ia menyelesaikan sekolah administras pemerintahan di Magelang, Jawa Tengah. Setelah itu ia menjadi pegawai pemerintah sebagai juru tulis Patih Ngawi selama tiga tahun. Ia kemudian diangkat menjadi patih. Lalu sifat pemberontakannya muncul. Ia meninggalkan jabatan itu untuk pindah ke Surabaya, tempat ia bekerja pada sebuah perusahaan Belanda.
Di Surabaya, hidupnya sederhana. Rumahnya berada di tengah-tengah perkampungan padat, beberapa puluh meter dari Kali Mas yang membelah kota Surabaya. Ia tinggal bersama istrinya, Soeharsikin, dan lima anaknya –Oetari, Oetarjo Anwar, Harsono, Islamiyah dan Sujud Ahmad. Mereka sekeluarga tinggal di bagian depan. Bagian belakang rumah disekat menjadi 10 kamar kecil-kecil tempat kos pemuda, seperti Soekarno, Alimin, Muso, Kartosoewirjo dan Semaoen. Mereka menemukan dunia dari pemimpin pergerakan yang hebat saat itu: sang Raja tanpa Mahkota. Sayang mereka berpisah jalan dengan Tjokro. Sebagian besar mereka mengikuti ideologi Marxisme, meninggalkan ideologi Islam sang Raja.
Pada 1919, Sarekat Islam memiliki sekitar 2,5 juta pengikut dari seluruh Indonesia. Oleh umatnya Tjokro dianggap juru selamat. Dalam ramalan Jayabaya, ratu adil bergelar Prabu Heru Tjokro –nama yang mirip Tjokroaminoto.
Di puncak popularitasnya Tjokroaminoto kerap dipanggil Heru Tjokro. Nama ini pernah pula disematkan pada Pangeran Diponegoro. Gelar lengkap Diponegoro adalah Sultan Abdul Hamid Herucakra Kabirul Mukminin Sayidin Panatagama Kalifatul Rasul Tanah Jawa.
Selain kemiripan nama, para pengikut Sarekat Islam mengaitkan ramalan Jayabaya dengan letusan Gunung Krakatau yang bertepatan dengan kelahiran Tjokroaminoto pada 1882. Bencana alam menurut Jayabaya menjadi pertanda hadirnya seorang messiah.
Haji Agoes Salim, pemimpin Sarekat Islam lainnya, memberikan kesaksian tentang Tjokroaminoto yang dielu-elukan pengikutnya. Dalam Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil? Karangan APE Korver, pada 1919 Agus Salim menceritakan suasana Kongres Sarekat Islam di Situbondo, Jawa Timur.
“Menjelang rapat, 20 ribu orang memadati alun-alun yang menjadi tempat pertemuan. Semula panitia membatasi peserta hanya 7000 orang pemegang kartu anggota organisasi. “Walaupun dilarang berjabat tangan dengan Tjokroaminoto, orang-orang tetap berdesakan. Mereka ingin melihat wajah sang pemimpin.”
Ribuan orang merengsek ke depan agar bisa memegang dan mencium tangan, bahu, dan jas Tjokroaminoto. Sulit bernafas karena didesak pendukungnya, Tjokroaminoto melompat ke kursi. Tapi pengikutnya malah memeluk kaki. Mereka yang tak menjangkau Tjokroaminoto beralih memegang orang dekat di sekitarnya.
Kerumunan itu tak peduli meskipun orang dekat Tjokroaminoto berteriak bahwa mereka bukan pemimpin Sarekat Islam. “Tidak apalah, Anda kan patihnya?”jawab orang-orang itu seperti diceritakan Agoes Salim. Sambutan serupa juga terjadi di daerah lain yang dikunjungi Tjokroaminoto.
Dikultuskan pendukungnya, Tjokroaminoto merasa tak nyaman. Dalam Kongres Sarekat Islam di Bandung 1916, Tjokroaminoto berpidato yang intinya menolak dianggap ratu adil. “Walaupun hati kita penuh dengan harapan dan hasrat yang agung, kita tidak boleh bermimpi akan datangnya seorang ratu adil atau keadaan-keadaan lain yang mustahil.”
Penolakan ini tak serta merta menghentikan kekaguman para pengikut Sarekat Islam. Rasa Takjub mereka makin menjadi-jadi saat tersiar kabar Tjokroaminoto bertemu dengan Nabi. Dalam buku HOS Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya karya Amelz pada 1952, diceritakan suatu hari Tjokroaminoto sakit keras hingga tak sadarkan diri. Tak ada tabib yang mampu mengobati.
Pada suatu malam, saat terbaring lemah, sekonyong-konyong Tjokroaminoto membaca bacaan Al Qur’an dengan fasih. Suaranya nyaring dengan intonasi antara keras dan lemah. Tak berapa lama kemudian ia duduk lalu memekik:
“Ada tamu, ada tamu.”
“Siapa?” seorang sahabatnya yang menunggunya bertanya.
“Rasulullah, Rasulullah.”
Tjokroaminoto pingsan. Kejadian yang sama terulang keesokan harinya. Ajaibnya penyakit Tjokroaminoto berangsur-angsur berkurang. Di sela-sela masa penyembuhan, dia meminta AM Sangadji, salah satu orang dekatnya, menuliskan pengalaman itu. Kepada Sangadji, dia mengatakan telah diberi pelajaran membaca beberapa ayat Al Quran oleh Rasulullah.
Tulisan Sangadji itu kemudian menjadi buku program asas (dasar) dan tandhim (sistem) Partai Sarekat Islam Indonesia. Buku setebal 99 halaman ini adalah penafsiran Tjokroaminoto terhadap ajaran Islam. Lewat tulisan ini dia berusaha menjawab dan mengatasi persoalan yang berkembang lewat pergerakan Sarekat Islam.
Tjokroaminoto sakit-sakitan sejak akhir 1933. Sesuai Kongres Banjarnegara, dia dinasehati para rekannya supaya beristirahat dan mengurangi aktivitas. Namun Tjokroaminoto tak mengindahkan. Pada Desember 1934 kesehatannya memburuk: dia lumpuh.
Senin Kliwon, 10 Ramadhan 1353H, atau 17 Desember 1934, Tjokroaminoto menghembuskan nafas terakhir di pangkuan aktivis Partai Sarekat, Resoramli. |
Penulis : Nuim Hidayat