Kita tak juga sadar kalau bangsa ini sedang dijajah. Bahkan dijajah mulai dari dalam mulut. Soal Tempe, sejak kecil, lidah kita dijejali satu rasa: tempe kedelai impor. Gurih, familiar, jejak rasanya tertanam di dalam otak, sulit ditawar. Akibatnya, saat muncul tempe lain dari kacang lokal, masyarakat menolak. Bukan karena tak bergizi, tapi karena “rasanya beda”.
Wartapilihan.com, Bogor– Secara historis, tempe adalah warisan agung hasil kreasi dan inovasi leluhur Nusantara. Penelitian UGM mencatat bahwa tempe telah dibuat sejak abad ke-13. Dulu, tempe terbuat dari aneka kacang lokal seperti koro benguk, koro ireng, dan koro kratok, jauh sebelum kedelai dikenalkan oleh imigran Tionghoa pada abad ke-18 (Gardjito et al., 2011)
.
Ironisnya, hari ini lebih dari 90% bahan baku tempe adalah kedelai impor. Tidak kurang dari Rp25 triliun per tahun kita beli kedelai (BPS, 2023). Anak-anak kita dengan bahan pangan impor. Lalu kita menyebut Negara Agraris dan Bangsa merdeka. Sementara itu, ratusan varietas kacang lokal diabaikan, tak dikembangkan, tak dibeli, bahkan tak dikenali.
Munculnya tempe koro pedang adalah upaya merebut kembali kedaulatan itu. Dengan kandungan protein 23–27% dan karbohidrat 50–60%, kacang koro pedang, (Canavalia ensiformis) bisa menggantikan kedelai. Ia tumbuh di tanah marginal, tanpa pupuk mahal, dan melalui fiksasi nigrogen membantu memperbaiki kesuburan tanah (Balitbangtan, 2021). Bila dana untuk impor kedelai dialihkan untuk membeli kacang lokal, sekitar 3 juta petani bisa hidup layak dari budidaya kacang.
Namun, tantangan datang bukan hanya dari lidah masyarakat, tetapi juga dari ketidakpedulian negara. Hingga kini, pengembangan kacang-kacangan lokal hanya sebatas wacana. Tidak ada strategi besar, tidak ada keberpihakan nyata. Riset dijalankan tanpa alokasi pembelian. Petani diajak tanam, tapi produknya dibiarkan sepi di pasar. Pemerintah lebih cepat menyubsidi impor kedelai ketimbang menyusun peta jalan swasembada protein nabati berbasis kacang lokal.
Di sisi lain, rasa juga menjadi medan tempur. Rasa tempe kedelai impor telah tertanam begitu dalam di memori otak sejak dini. Sistem limbik yang mengejar rasa nyaman mengalahkan prefrontal cortex yang seharusnya memilih berdasarkan logika (Rolls, 2015). Maka, edukasi pangan tak bisa lagi lunak. Masyarakat harus dilatih memilih makanan berdasarkan gizi, bukan sekadar kebiasaan rasa.
Inilah saat yang tepat. Program Makan Siang Bergizi jangan hanya jadi proyek makanan massal. Jadikan ini pintu gerbang menuju transformasi pangan nasional. Jika tempe dari kacang lokal hadir di menu anak-anak kita, maka kita memberi mereka bukan hanya makan, tetapi masa depan.
Ahli pangan jangan berhenti di laboratorium. Ciptakan tempe koro dengan cita rasa lokal. Media harus kampanye soal selera yang sehat. Sekolah harus jadi ruang pelatihan rasa dan akal. Tempe koro pedang hanyalah ikon. Kita punya koro kratok hingga kacang tunggak. Aneka kacang lainnya yang tumbuh dari Aceh sampai Papua.
Perjuangkan ini bukan sekadar mengganti kedelai, tapi mengembalikan logika dan kedaulatan di piring makan bangsa. Bangsa yang lidahnya dijajah, pikirannya takkan pernah merdeka.
Dr. Ir. Agus Somamihardja (Pegiat Pangan Lokal, Alumni IPB University C-20)

