Perubahan perilaku konsumen dan panjangnya distribusi beras, membuat tata niaga beras perlu pembenahan menyeluruh. Harus memperhatikan petani yang selama ini mendapat margin keuntungan terkecil.
Wartapilihan.com, Jakarta —Setelah terjadi kegelisahan terhadap para pedagang beras, Pemerintah akhirnya membatalkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 47 tahun 2017 yang patokan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras sebesar Rp 9.000 per kilogram (kg).
Dengan demikian, aturan soal HET ini kembali ke Permendag Nomor 27 tahun 2017 yang mematok harga beras di tingkat konsumen sebesar Rp 9.500 per kilogram. Pemerintah akan mengevaluasi kembali harga beras tersebut dengan mendengarkan masukan dari pihak-pihak terkait, termasuk pelaku usaha.
Sektor beras nasional dua pekan terakhir memang mengalami kegaduhan. Para pedagang dan pelaku industri beras gelisah, karena aparat penegakan hukum melakukan aksi yang dinilai sewenang-wenang.
Awalnya dipicu adanya penggerebekan pabrik PT Indo Beras Unggul (IBU) di Bekasi, Jawa Barat yang oleh Polisi dianggap membeli beras dengan harga murah, namun diklaim sebagai beras premium lalu dijual dengan harga tinggi.
Menurut Polisi, aksi bisnis PT IBU yang memiliki modal besar, dianggap berdampak pada pengusaha-pengusaha penggilingan kecil yang hanya memiliki modal terbatas.
Bersamaan dengan itu, Kementerian Perdagangan juga berencana memperketat patokan Harga Eceran Tertinggi (HET) di tingkat pegeser menjadi RP 9500 menjadi 9000. Kebijakan ini dianggap menekan para pedagang beras juga pengusaha penggilingan, karena tidak akan punya ruang untuk mendapatkan laba.
Para pedagang juga khawatir mereka akan bernasib seperti PT IBU karena dituduh melakukan penimbunan beras. Padahal, sebagai pedagang atau perusahaan penggilingan, wajar bila hal seperti ini dilakukan.
Perniagaan beras memang beda bila dibandingkan dengan perdagangan komoditas lain. Sebagai bahan pokok, harga gabah, bahan baku beras, juga tergantung pada musim. Ini terkait banyak sedikitnya pasokan.
Agar stabil, pemerintah sudah menugaskan Perum Bulog sebagai lembaga stabilisator, menyerap di kala harga rendah, dan memasok ke pasar ketika harga tinggi. Lalu, untuk membantu Bulog membeli dengan harga yang tetap, juga mempengaruhi pasar, Pemerintah juga menetapkan Harga Pembelian Pemerintah atau HPP.
Namun kenyataannya, penetapan HPP oleh pemerintah tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tetap saja Perum Bulog kesulitan menyerap hasil panen gabah/beras para petani meskipun HPP sudah beberapa kali dinaikkan. Penyebabnya para pedagang beras selalu memberikan penawaran harga tinggi di atas HPP kepada para petani.
Selain itu, praktik di pasar, setiap harga gabah atau beras sangat beragam dan sangat tergantung dari unsur kualitas, lokasi dan varietas. Sehingga kebijakan pembelian atas harga tunggal (hanya gabah atau beras medium), tentunya akan membatasi Perum Bulog.
Hal ini bertentangan dengan fakta yang ada di lapangan, karena para petani tentu memiliki produksi yang dihasilkan atas gabah ataupun beras yang berbeda-beda. Di beberapa negara seperti Thailand dan India dilakukan kebijakan HPP Multikualitas yang terbukti efektif dalam melindungi petani serta mendorong meningkatkannya Cadangan Beras Pemerintah (CBP).
Di sisi lain, konsumen kini juga memiliki perilaku yang berubah terkait konsumsi beras. Dengan taraf hidup yang naik, selera terhadap beras berkualitas juga semakin besar. Hal ini yang kemudian dimanfaatkan pengusaha besar untuk masuk bisnis ini dengan memproduksi beras premium, dan mematok harganya setinggi mungkin
Karena itu, pemerintah perlu berhati-hati dalam menetapkan kebijakan sektor ini. Beras bukan hanya terbatas sebagai komoditas pangan, tapi juga politik. Apabila pemerintah gagal mengendalikan harganya, kondisi sosial-politik bisa gaduh. Legitimasi pemerintah yang berkuasa bisa mengendur.
Masalah beras bukan hal yang sederhana dan sangat sensitif. Dalam sejarah perberasan di Indonesia, pemerintah memang tidak pernah absen mengatur tata niaganya. Karenanya, siapa pun rezim yang berkuasa di negeri ini berpeluang terjungkal apabila absen dalam mengelola beras.
Kebijakan beras sendiri kini memerlukan pijakan baru yang disesuaikan dengan perilaku konsumen, juga tata niaga yang berubah di sisi distribusi. Namun, kebijakan itu juga harus memperhatikan petani. Karena selama ini petani yang mendapatkan margin paling kecil dari sistem perdagangan beras.
Sementara Bulog juga perlu diberi jalan untuk bisa menyerap beras berbagai kualitas. Sehingga di masa depan, kebutuhan beras kualitas terbaik bisa dikendalikan. Tak perlu ada penetapan harga tertinggi, bila harganya bisa dikendalikan secara natural.
Rizky Serati