Tarbiyah Dzatiyah : Langkah Pertama Dakwah

by

Wartapilihan.com = Dalam Buku Tarbiyah Dzatiyah karya Abdullah bin Abdul Aziz yang diterjemahkan oleh Fadhli Bahri dijelaskan bahwa di dalam ranah dakwah yang berujung pada kemaslahatan umat, diperlukan adanya konsistensi untuk men’tarbiyah’ diri-sendiri terlebih dahulu sebagai langkah awal keseriusan kita dalam berjuang untuk berdakwah. Tarbiyah dalam artian melakukan pembinaan terhadap diri-sendiri, sehingga niscaya ketika diri-sendiri sudah terbina dengan baik sedemikian rupa, maka akan lahir keinginan untuk membina orang-orang lain yang nantinya akan berujung pada kemaslahatan umat. Bisa kita bayangkan jika masing-masing muslim dan muslimat mampu untuk membina dirinya dengan baik dan konsisten, lalu pembinaan tersebut menjalar ke lingkup  keluarga, maka dapat dipastikan bahwa dalam tatanan masyarakat tingkat makro, pembinaan tersebut akan menyeluruh (syumul) secara perlahan.

Dengan melakukan Tarbiyah Dzatiyah, maka ada beberapa keuntungan yang didapatkan, seperti mendapatkan keridhaan Allah Ta’ala, terjaga dari keburukan, keberkahan waktu dan harta, dan lain sebagainya. Namun, dengan segala dinamika zaman yang terus bergejolak tiada henti, masihkah konsep Tarbiyah Dzatiyah ini relevan dengan masa kekinian? Lalu, bagaimana mengenai urgensi Tarbiyah Dzatiyah terhadap konsep individualisme dan dampaknya terhadap masyarakat? Hal-hal tersebut menjadi salah satu kerangka pemikiran mengenai ujung tombak dakwah selanjutnya, sampai kelak hari kiamat tiba.

Urgensi dan Relevansi Tarbiyah Dzatiyah

Mengenai urgensi dan relevansi, adakah yang tidak berlaku dari seluruh ketetapan Allah? Al-Qur’an dan Sunnah sudah dijanjikan akan selalu dijaga oleh Allah sampai hari kiamat tiba. Maka tidak ada keraguan untuk mencoba memahami tentang urgensi dan relevansi mengenai Tarbiyah Dzatiyah itu sendiri. Abdullah bin Abdul Aziz pun sempat menyatakan bahwa Tarbiyah Dzatiyah sebagai “sarana dakwah yang paling kuat” seperti yang dijelaskannya dalam kalimat berikut:

Setiap muslim adalah da’i ke jalan Allah ta’ala. Ia memperbaiki kondisi yang ada, mangajar, memberi taujih (arahan) dan men-tarbiyah. Agar ia diterima manusia, baik sanak kerabatnya atau orang-orang yang jauh darinya, dan mempunyai kekuatan dalam melakukan perbaikan dan perubahan di kehidupan mereka, ia perlu bekal kuat. Dan, cara efektif untuk mendakwahi mereka dan mendapatkan respon dari mereka adalah menjadi qudwah (panutan) yang baik dan teladan istimewa, di aspek iman, ilmu dan akhlaknya (hal. 22).

Dari penjelasan tersebut dapat diinterpretasikan bahwa setiap muslim memiliki tanggung jawab untuk menjadi orang-orang yang memiliki kesadaran untuk melakukan perbaikan dan perubahan pada sendi-sendi kehidupan dakwah agama, salah satunya dengan dapat menjadi panutan bagi orang lain, dalam aspek iman, ilmu maupun akhlak. Adapun Rasulullah SAW yang menjadi sesempurna-sempurnya panutan bagi umat Islam yang patut dijadikan suri tauladan bagi umatnya sampai akhir zaman.

Rasulullah SAW merupakan salah satu manusia  yang dapat dijadikan panutan (uswatun hasanah) untuk sahabat dan umatnya, baik teladan pada aspek iman, ilmu dan akhlaknya. Rasulullullah SAW yang notabene sebagai nabi terakhir yang merupakan ujung tombak atas kritik terhadap ummat jahiliah. Lalu, bagaimana Rasulullah SAW bisa bertahan dengan segala bentuk cibiran dan caci maki yang dilakukan masyarakat sekitarnya seandainya Rasulullah tidak memiliki fondasi Tarbiyah Dzatiyah yang baik? Dapat dipastikan mungkin Agama Islam tidak memiliki eksistensi hingga sekarang jika Rasulullah mudah pesimis terhadap apa yang diembannya. Maha Suci Allah yang memberikan Rasulullah SAW fondasi Tarbiyah Dzatiyah yang kokoh dan tak tergoyahkan sehingga bisa bertahan untuk terus maju dalam pergerakan dakwah secara dinamis dan signifikan, yang kian berdampak hingga 1400 tahun mendatang—sampai pada era kontemporer yang kekinian dan selanjutnya sampai hari Kiamat tiba.

Antara Tarbiyah Dzatiyah dan Konsep Individualisme

Penulis ingin berpendapat mengenai konsep Tarbiyah Dzatiyah yang dihubungkan  dengan konsep individualisme, apakah sama ataukah beda tipis? Ini merupakan salah satu hal mendasar yang menarik untuk ditelaah lebih jauh. Abdullah bin Abdul Aziz mampu mengemas bagaimana cara mentarbiyah dzatiyah diri-sendiri tanpa mengabaikan orang lain sebagai bagian dari aspek kehidupan dalam bermasyarakat. Manusia sebagai makhluk sosial tentunya tetap saja membutuhkan orang lain untuk menunjang kehidupannya, baik secara muamalah (antara manusia dengan manusia lainnya), maupun secara ibadah (antara manusia dengan Tuhannya). Konsep Tarbiyah Dzatiyah ini tak dapat dipungkiri juga menjalar pada kehidupan manusia, baik secara vertikal yang nantinya akan mempengaruhi aspek horizontal, atau sebaliknya. Hal ini menarik untuk dibahas karena Abdullah bin Abdul Aziz sempat menekankan tentang kesuksesan di dunia dengan kalimat:

Di antara keberkahan istiqamah di jalan Allah ta’ala dan Tarbiyah Dzatiyah untuk taat kepada-Nya adalah Allah memberikan bimbingan dan kesuksesan kepada pelakunya di seluruh hidupnya. Misalnya, ia mudah berkomunikasi dengan istri, anak dan keluarganya. Atau ia mudah berkomunikasi dengan tempat kerja, studi dan lain sebagainya. Ini tidak berarti hidupnya tanpa kekurangan, atau kerugian di salah satu urusan dunia, atau terjerumus ke dalam maksiat. (hal. 92-93)

Dari paragraf tersebut, hal itu mengindikasikan bahwa konsep Tarbiyah Dzatiyah tidak hanya berlaku secara individual, melainkan akan berdampak lebih jauh terhadap pergerakan dakwah secara lebih massif. Orang-orang yang memiliki kekuatan fondasi ruhiyah yang kokoh akan lebih berpengaruh terhadap orang-orang sekitarnya dibandingkan dengan orang-orang yang berusaha memperbaiki orang lain, sedangkan dirinya-sendiri dalam keadaan lalai.

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa konsep Tarbiyah Dzatiyah merupakan salah satu aspek penting untuk menunjang pergerakan dakwah, dari bawah ke atas. Ibarat pohon, akar yang kokoh akan mampu menopang beban ranting dan daun di atasnya. Manusia yang kokoh atas dirinya, akan mampu mempengaruhi orang-orang di sekitarnya, dan kelak masyarakat. Senada dengan hadits Rasulullah yang menyatakan “Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia (lain).” (HR. Thabrani dan Daruquthni). |

Penulis : Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *