Kabar duka kembali datang. Kali ini Guru kami, KH Abdul Rasyid bin KH Abdullah Syafi’i, menghadap Ilahi Rabbi.
Wartapilihan.com, Depok– Beberapa hari terakhir ini, saya selalu risau dan waswas setiap kali membuka grup-grup Whatsapp yang saya ikuti. Sebab, setiap hari di grup-grup WA itu terus bermunculan belasan kabar tentang kawan, sahabat, dan sanak saidara yang terpapar covid, selain berita resmi perkembangan kondisi covid di tanah air dari BNPB. Sementara itu, berita duka pun terus bermunculan dari berbagai grup.
Siang tadi saya mendapat kabar wafatnya Mas Aries Margono dari Mas Wahyu Muryadi, yang kini menjadi jurubicara di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Mas Aries adalah senior kami di Tempo. Meski tidak terlalu mengenal dekat, saya tahu Mas Aries orang yang baik. Setelah bergabung dengan TVOne, Mas Aries kemudian dipercaya untuk menjadi Staf Khusus sahabatnya, Menkopolhukkam Mahfud MD. Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun.
Sore tadi, di grup Angkatan 25 Fakultas Perikanan IPB, juga muncul berita duka. Kawan kami Rita Yuliati Siregar, dipanggil Yang Maha Kuasa. Tak lama kemudian, di grup yang sama, muncul kabar Ibunda sahabat kami, Sulis Widyawati, yang juga mertua sahabat kami Prof Dr Ir Luky Adrianto, Mantan Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB, juga wafat. Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun.
Usai dzikir Maghrib petang ini, kabar duka kembali datang. Kali ini dari grup wartawan muslim: Guru kami, KH Abdul Rasyid bin KH Abdullah Syafii dipanggil Ilahi Rabbi. Padahal, baru sore tadi saya berkomunikasi dengan Mas Naufal, Ajudan Mas Gubernur untuk membantu mengirimkan Oksigen untuk Pak Kiai dan Ibu Kyai. Mas Naufal pun mengatakan bahwa tim Mas Gubernur sudah membantu dan mengirim obat remdesivir dan actemra. Namun Allah ternyata lebih menyayangi beliau. Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun.
Dari Mas Aru Seif Asad, Pemimpin Redaksi Suara Islam dan aktivis Dewan Dakwah senior yang dulu mengenalkan saya dengan Kiai Abdul Rasyid, beliau sebenarnya sudah lebih dari sepekan sakit. Saya pun menyampaikan kesedihan saya karena tidak bisa takziyah ke Kiai Rasyid. “Didongakke wae… Beliau wis gerah 10 dino, tapi nggak kerso digowo neng Rumah Sakit,” kata Mas Aru. Saya pun melaksanakan shalat ghaib untuk beliau dengan air mata meleleh.
Saya mulai mengenal Almarhum KH Abdul Rasyid bin KH Abdullah Syafii ketika saya masih jadi reporter culun di Majalah Forum Keadilan di tahun 1994. Waktu itu saya sering diajak Mas Aru yang saat itu masih menjadi wartawan Majalah Media Dakwah, untuk bertemu bapak-bapak tokoh Islam eks Masyumi yang biasa disebut Keluarga Bulan Bintang yang sering menggelar rapat di rumah Almarhum Wakil Ketua DPA, KH Cholil Badawi di Rumah Dinas beliau di jalan Ampera, Kemang.
Tokoh-tokoh yang hadir dalam pertemuan-pertemuan itu hampir semuanya sudah almarhum. Selain Pak Cholil sebagai tuan rumah, ada pengacara senior sekaligus anggota DPR perancang Stembush Accoord pasca Pemilu 1999, Pak Hartono Marjono, ada Abah Abdul Qadir Djailani, Pak Ahmad Sumargono, Pak Husein Umar, Pak AM Luthfie, Pak Muhammad Solaeman, Pak Bachrun Martosukarto, Buya Ismail Hassan Metareum, dan KH Cholil Ridwan.
Dalam pertemuan itu kadang hadir tokoh NU KH Yusuf Hasyim atau Pak Ud, yang juga Paman Gus Dur. Sementara dari kalangan yang lebih muda beberapa kali hadir Bang Imaduddin Abdurrahim, Pak AM Fatwa, Pak Amien Rais, Bang Yusril Ihza Mahendra, Bang MS Kaban dan sebagainya. Beberapa guru saya saat masih kuliah di Bogor, seperti KH Hasan Basri, KH Sholeh Iskandar, KH Didin Hafidhuddin, KH M Abbas Aula, juga beberapa kali muncul dalam pertemuan-pertemuan itu.
Salah satu tokoh yang selalu hadir dalam pertemuan-pertemuan itu adalah KH Abdul Rasyid bin KH Abdullah Syafii. Penampilan beliau sangat khas, selalu memakai sarung, baju koko panjang, dengan kopiah haji dan sutrah yang terkalungkan di leher, dan selalu memakai sepatu sandal. Mas Aru pula yang memperkenalkan saya dengan Kiai Rasyid. Seperti juga Almarhum Pak Cholil Badawi, Kiai Rasyid pun selalu menyapa saya dengan panggilan, “Dik Hanibal…”
Dalam pertemuan-pertemuan itu, Kiai Rasyid –begitu kami biasa menyapa beliau– selalu menyimak dan memperhatikan semua pembicara dengan takzim. Sesekali beliau mengemukakan pendapat dengan bahasa yang lembut dan teratur, khas gaya Kiai yang tak pernah menampakkan emosi meski hatinya sedang gundah ataupun geram setelah mendengat pemaparan pembicara. Di akhir pertemuan, Kiai Rasyid selalu didapuk menjadi pemberi tausiyah dan pembaca doa penutup.
KH Abdul Rasyid lahir di Jakarta pada 30 November 1942. Ia putra ulama Betawi legendaris, KH Abdullah Syafi’ie. Sejak kecil beliu belajar agama langsung kepada ayahandanya sebagai pengasuh Yayasan Pendidikan Islam As-Syafi’iyah. Selain itu beliau juga belajar kepada para habaib, seperti Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Habib Ali bin Husen Alatas Bungur, Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan, Mufti Johor, Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad, dan lainnya.
Selain pertemuan-pertemuan di rumah Pak Cholil Badawi, rapat juga sering digelar di rumah Kiai Rasyid. Mas Aru pula yang mengajak saya datang ke rumah Kiai Rasyid di jalan Masjid Al Barkah, Balimatraman, Tebet, Jakarta Selatan. Selain itu hampir setiap tahun saya juga diajak menghadiri wisuda santri di Pesantren Pulo Air, pesantren beliau du Sukabumi, mulai sejak masih awal pembangunan, hingga kemudian menjadi kompleks pesantren yang megah seperti saat ini. Biasanya saya datang ke Pulo Air bersama Mas Aru, Pak Mashadi, Mas Mursalin, dan sebagainya.
Pada peresmian Pesantren Pulo Air, hadir BJ Habibie yang saat itu masih menjadi Menristek. Di situ pula untuk pertama kalinya saya mewawancarai Habibie panjang lebar. Saking semangatnya, Habibie sampai harus dituntun pengawal pribadinya Mayor I Made Tjetug berjalan ke helikopter yang akan membawanya ke Jakarta karena dipanggil Pak Harto, sementara mulutnya masih menghadap ke tape recorder saya untuk menjelaskan beberapa masalah.
Setelah Pak Cholil Badawi lebih banyak tinggal di Magelang karena kondisi kesehatan beliau, rapat-rapat tokoh Islam pasca Reformasi kemudian digelar di rumah Kiai Rasyid. Dalam pertemuan-pertemuan itu beberapa tokoh militer sering datang, seperti Letjen Prabowo Subianto, Letjen Sjafrie Sjamsoeddin, Mayjen Kivlan Zein dan sebagainya. Tak hanya kalangan intelektual dan akademisi, Para Kiai dan Habaib pun sering hadir. Di rumah Kiai Rasyid pula untuk pertama kalinya saya bertemu Habib Rizieq Syihab, juga Habib Idrus Jamalullail, Habib Mahdi, Habib Syekh, dan beberapa habaib lain.
Saat itu saya sudah menjadi Redaktur Politik di Koran Tempo. Karena itu, dalam pertemuan-pertemuan para tokoh di rumah Kiai Rasyid, saya kemudian lebih sering diminta untuk bercerita tentang kondisi terakhir tanah air. Padahal, saya termasuk yang paling muda di antara para hadirin. Pak Kiai Rasyid memperkenalkan saya sebagai Wartawan Tempo, kemudian baru menyuruh saya untuk bercerita. “Silakan, Dik Hanibal, kami ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi dalam persoalan ini,” begitu beliau biasanya.
Pertemuan-pertemuan para Tokoh, Ulama, Kiai, dan Habaib di rumah Kiai Rasyid biasanya diselenggarakan untuk mengantisipasi berbagai perkembangan politik, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan di tanah air. Usai pertemuan itu biasanya dibuat berbagai seruan, petisi, pernyataan sikap, penjelasan khusus, ataupun aksi, agar umat Islam mempunyai panduan sikap. Tak hanya sekadar mempuat pernyataan sikap secara tertulis, Kiai Rasyid juga memimpin para Tokoh, Ulama, Kiai dan Habaib untuk turun ke jalan atau menemui berbagai pihak. Kiai Rasyid-lah yang selalu menjadi batu penjuru sikap ummat dalam berbagai persoalan.
Dari berbagai pertemuan sejak masa sebelum reformasi hingga masa pandemi covid ini, saya merasa sangat dekat dengan Kiai Rasyid. Beliau tak hanya menjadi Kiai dan Guru panutan kami, tapi juga orang tua para aktifis, seperti kami. Kebiasaan beliau yang kadang membuat kami salah tingkah adalah kesukaan menghidangkan makanan minuman yang beliau bawa sendiri kepada kami. Tiap kali kami pulang dari Pulo Air, beliau pun selalu memberikan bingkisan pepes ikan Mas yang lezat dan segala macam bingkisan, dengan tangan beliau sendiri. Padahal seharusnya beliau sudah cukup mempersilakan kami untuk mengambil sendiri. Maasyaa Allah.
Karena itulah, saya merasa sangat sedih sekali ketika mendengar kabar wafatnya Kiai Rasyid karena covid menjelang Maghrib tadi, sementara saya tidak bisa takziyah. Terbayang, siapa lagi ulama sepuh yang rela menyumbangkan, pikiran, tenaga, dan juga harta benda untuk ummat yang dicintainya. Siapa lagi ulama yang menjadi pemersatu, tempat bertanya, dan tempat menampung keluh kesah ummat. Siapa lagi ulama yang berani bersikap dan berjuang dalam menyuarakan aspirasi ummat.
Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun… Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu waj’alil jannata matswahu…
Hanibal Wijayanta
Jurnalis Senior