Belum lama ini kita digegerkan dengan salah satu pertanyaan yang mencuat dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bagian dari rangkaian proses alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Pertanyaan tersebut mengharuskan memilih antara al-Qur’an atau Pancasila.
Wartapilihan.com, Jakarta– Cholil Nafis, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun menilai pertanyaan tersebut sebagai pertanyaan konyol. (https://nasional.sindonews.com/read/445782/13/cholil-nafis-sebut-pilihan-al-quran-atau-pancasila-adalah-pertanyaan-konyol-1622765195) Ma’ruf Amin, Wakil Presiden (Wapres) juga turut berkomentar. Dia mengatakan, bahwa Pancasila adalah dasar negara yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa. Kelima sila di dalamnya tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan, sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa secara eksplisit menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang beragama dan menghormati keberadaan agama. (https://www.kompas.tv/article/181489/ramai-polemik-pancasila-atau-alquran-wapres-ingatkan-4-hal-penting-moderasi-beragama)
Pada tanggal 26 Juni 1936, 85 tahun yang lalu, Snouck Hurgronje akhirnya meninggal dunia di Leiden, Belanda. Semasa hidup, ia adalah tokoh yang aktif mempelajari Islam untuk “menikamnya” dari belakang. Ia juga seorang tokoh dibalik penyerangan Belanda terhadap Aceh. Salah satu rekomendasi yang ia sampaikan kepada Belanda masa itu adalah persoalan politik. Ia mengusulkan kepada pemerintah untuk menolak setiap usaha yang membawa rakyat kepada Pan-Islamisme. Bagi Snouck Hurgronje, Islam Politik harus dihindari, dibatasi, bahkan harus dilarang. Membiarkan Islam politik sama saja akan melahirkan bahaya dan ancaman bagi kekuasaan colonial. Bila diperlukan, Islam politik harus ditumpas melalui kekerasan dan kekuatan senjata.[1] Setelah Islam politik ditumpas, pemerintah harus segera bergerak memberikan pendidikan dan kesejahteraan, agar masyarakat pribumi mempercayai maksud baik pemerintah colonial.
Upaya-upaya untuk memisahkan Islam dan politik terus digencarkan baik dari kalangan internal maupun eksternal di Indonesia. Mereka lupa, bahwa banyak sekali jasa dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh umat Islam. Salah satunya adalah Mosi Integral M. Natsir. Buah pemikiran yang telah melahirkan bangsa Indonesia untuk kedua kalinya. Posisi sebagai ulama besar, M. Natsir juga telah melahirkan buah pemikiran yang sangat banyak. Karenanya, para ilmuwan dan sejarawan Indonesia meyakini bahwa sejarah panjang Indonesia tidak lepas dari nama M. Natsir. M. Natsir (1908-1993) yang merupakan salah satu pejuang di samping pahlawan
lainnya sebagai the founding fathers.[2] Lebih dari itu, M. Natsir merupakan pahlawan NKRI, ketika negara yang baru dilahirkan itu tercabik-cabik kedalam negara-negara boneka ciptaan Belanda di samping Negara Republik Indonesia, M. Natsir berperan sebagai sosok yang secara genuine menyodorkan sebuah konsep integral dan disepakati oleh semua.
Biografi Ringkas M. Natsir
Mohammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Kab. Solok, Sumatera Barat, pada 17 Juli 1908 M. Ia wafat pada 6 Fepruari 1993 di Jakarta. Mohammad Natsir adalah putera dari pasangan Khadijah dan Muhammad Idris Sutan Saripado. Ia dikenal dengan sebutan Pak Natsir. Seorang ulama, negarawan, intelektual, pembaharu, dan politikus muslim di Indonesia yang disegani. Pendidikan formalnya dimulai pada usia delapan tahun, saat ia memasuki HIS Adabyah (Hollandse Inlandse School) yang didirikan tanggal 23 Agustus 1915 oleh H. Abdulah Ahmad (salah seorang tokoh pembaharu) di kota Padang. Masa pendidikan Natsir di sekolah ini tidak lama, hanya beberpa bulan, sebab ia kemudian dipindahkan oleh ayahnya ke HIS pemerintah di kota Solok yang sepenuhnya mengikuti sistem pendidikan Barat (Belanda).[3] Di sinilah fase awal interaksi Natsir dengan sistem kolonial.
Akibat ketekunan dan kemampuannya Natsir di percaya menjadi ketua JIB Bandung pada tahun 1928 sampai tahun 1932, Kegiatan M. Natsir waktu itu telah mempengarui jiwanya untuk meraih gelar Meester in de Rechten (MR). Setelah lulus di AMS, M. Natsir mengajar disalah satu MULO di Bandung. Pilihan ini merupakan panggilan jiwanya untuk mengajar agama. Karena pada saat itu Sekolah Umum tidak ajarkan ilmu agama. Kemudian M. Natsir mendirikan Lembaga Pendidikan Islam (PENDIS) yaitu pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan umum dengan pendidikan pesantren.[4] M. Natsir menjabat sebagai Direktur PENDIS selama 10 tahun. Lembaga pendidikan tersebut kemudian berkembang di Jawa Barat dan Jakarta.
Ketika hidup di Bandung, ia banyak membaca tulisan-tulisan dari ulama Internasional seperti Hassan Al-Banna, Amir Syakib Arselan, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, yang secara tidak lansung mempengaruhi pemikiran Natsir dalam melihat Islam (Nata, 1999: 76). Adapun pengaruh lansung terhadap pemikiran Natsir adalah datang dari ulama dan tokoh nasional di Indonesia seperti Ahmad Hassan, H. Agus Salim, Syeikh Ahmad Syurkati dan H.O.S Tjokroaminoto.[5] Dan Ahmad Hassan merupakan ulama dan tokoh yang paling banyak mempengaruhi pemikiran Natsir dilihat dari intensitas komunikasi Natsir belajar dengan Ahmad Hassan dan cara kedua tokoh ini dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Sejumlah Karya M. Natsir
Karya-karya Mohammad Natsir yang kini telah beredar dalam bentuk buku di Indonesia berjumlah lebih dari 45 buku antara lain:
- Politik dan Agama
- Islam Sebagai Dasar Negara
- Politik Melalui Jalur Dakwah
- Mosi Integral Natsir, Dari RIS ke NKRI
- 5. Peranan Islam Dalam Pembinaan Demokrasi
- Capita Selecta 2
- Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam
- Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante, tiga jilid
- Islam Mempunyai Sifat-sifat yang Sempurna untuk Dasar Negara[6]
- Dan seterusnya.
Natsir Mengenai Islam dan Indonesia
Islam sebagai agama dan dasar keyakinan telah menjadi falsafah hidup dan ideologi seorang Mukmin. Ia tidak akan pernah dapat dipisahkan daripada aktiviti kehidupan mereka. Dalam sebuah artikel Arti agama dalam negara, Natsir menegaskan perhubungan yang kuat antara agama dan politik dengan mengatakan:
“Jika yang dinamakan agama itu hanyalah semata-mata satu sistem peribadatan antara makhluk dengan Yang Maha Kuasa. Definisi ini tidak tepat bagi agama yang bernama Islam. Islam adalah falsafah hidup; satu sistem perikehidupan untuk kemenangan manusia sekarang dan di akhirat nanti. Oleh kerana itu, bagi kita sebagai Muslim kita tidak mungkin dapat melepaskan diri kita daripada politik. Sebagai orang berpolitik, kita tidak dapat melepaskan diri daripada ideologi kita, yakni ideologi Islam.” (M. Natsir, 2008)[7]
- Natsir menolak prinsip sekuler dalam konteks pengelolaan negara, karena dalam pandangan sekuler mengabaikan nilai-nilai pengabdian hamba terhadap tuhannya, dalam kontek pengaturan negara. Hal ini bisa dilihat dari Pidato Natsir dalam Sidang Pleno Konstituante pada tanggal 12 November 1957, seperti kutipan berikut ini:
“Sekulerisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham tujuan dan sikap, hanya didalam batas hidup keduniaan. Segala sesuatu dalam penghidupan kaum sekulerisme tidak ditujukan kepada apa yang melebihi batas keduniaan. Ia tidak mengenal ada: akhirat, tuhan dsb. Walaupun ada ada kalanya mereka mengakui akan adanya tuhan, tapi dalam penghidupan perseorangan sehari-hari umpanya, seorang sekularis tidak menganggap perlu adanya hubungan jiwa dengan tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku dan tindakan seharihari, maupun hubungan jiwa dalam arti doa dan ibadah.” (M. Natsir, 1957)[8]
Bagi M. Natsir, politik dan dakwah tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi mata uang yang sama, bagi Natsir politik adalah pelaksanaan al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyi an al munkar. Antara dakwah dan politik itu menyatu, tidak ada pemisahan antara keduanya. Oleh karena itu M.Natsir menyampaikan:
“Sebagai muslim, kita tidak dapat melepaskan diri dari politik. Dan sebagai orang berpolitik, kita tak dapat melepaskan diri dari ideologi kita, yakni ideologi Islam. Bagi kita, menegakkan Islam itu tak dapat dilepaskan dari menegakkan masyarakat, menegakkan negara, menegakkan kemerdekaan.” (M. Natsir, 2008)[9]
Pemikiran Politik Islam M. Natsir menegaskan, bahwa agama dan negara adalah dua elemen yang tak terpisah. Upaya dalam mewujudkan pemikiran tersebut dilakukan dalam cara-cara yang elegan. Beliau memperjuangkannya lewat tulisan-tulisan yang terstruktur secara akademis atau ilmiah. Juga diusahakan melalui legal konstitusional dan demokrasi, contohnya dengan menjadi bagian dari partai politik Masyumi dan Konstituante. Melalui pandangan M. Natsir kita diingatkan kembali, bahwa melepaskan agama dari negara (sekuler) bukanlah jalan terbaik, tetapi yang benar adalah hubungan keduanya bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dengan kata lain, bila dalam pembahasan teori tentang hubungan agama dan negara, hal ini disebut sebagai Paradigma Simbiotik (Symbiotic Paradigm).
Penulis: Taufik Hidayat
[1] Ahmad Mansur Suryanegara. 2016. “Api Sejarah”. Surya Dinasti.
[2] Roni Tabroni. 2017. “Komunikasi Politik Mohammad Natsir”. Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 1 No. 1.
[3] Jatim. 2018. “Gagasan Kebangsaan Mohammad Natsir dan Kontribusinya dalam Pemikiran Keislaman”. Jurnal el-Furqania Vol. 4 No. 2.
[4] Ainul Badri. 2020. “Pemikiran Muhammad Natsir Tentang Agama dan Negara”. Jurnal Ri’ayah Vol. 5 No. 2.
[5] Mhd. Alfahjri Sukri. 2019. “Islam dan Pancasila dalam Pemikiran Mohammad Natsir”. Alfuad Journal Vol. 3 No. 1.
[6] Armin Tedy. 2016. “Pemikiran Politik Islam Mohammad Natsir”. Jurnal El-Afkar Vol. 5 No. 11.
[7] Abdullah Firdaus, Mohd. Nasir Omar, Idris Zakaria. 2015. “Pemikiran Politik dan Kenegaraan Mohammad Natsir”. International Journal of Islamic Thought Vol. 7.
[8] Bismar Arianto. 2018. “Kiprah Natsir dalam Memperjuangkan Negara Islam Indonesia”. Kemudi: Jurnal Ilmu Pemerintahan Vol. 2 No. 2.
[9] Siti Nur Fadillah. 2020. “Konsep Da’wah Politik Mohammad Natsir”. Jurnal Da’wah Vol. 3 No. 1.