Siti Zuhro : Permainan Politik Para Investor

by

Wartapilihan.com, Jakarta – Suhu politik yang semakin memanas jelang dan dalam masa tahapan-tahapan pilkada, seperti masa kampanye merupakan hal yang biasa. Kompetisi dan kontestasi dalam pilkada tidak menutup kemungkinan peserta pilkada bersikap all out dengan melemahkan isu-isu yang melemahkan elektabilitas calon lain. “Tak ada satu pun partai yang rela dirinya kalah, semua partai ingin memenangkan pilkada,” ujar Siti Zuhro dalam diskusi evaluasi hasil pilkada DKI putaran I di Hotel Sahid, Jakarta, (17/3).

Siti Zuhro memaparkan, SARA merupakan bahaya laten yang harus dihindari siapa pun. Apalagi di era medsos sekarang ini. Sejarah Indonesia mencatat ada sejumlah kasus SARA yang pernah terjadi di Indonesia, seperti konflik antar etnis tahun 1998, konflik antar agama di Ambon tahun 1999, konflik antar etnis di Sampit tahun 2001, dan konflik antar Sunni-Syiah di Sampang, Madura tahun 2000.

“Bhinneka Tunggal Ika bisa jadi akan tinggal jargon saja ketika isu SARA dijadikan komoditas politik yang seksi bagi para calon,” tuturnya.

Lebih lanjut, Senior LIPI ini menyampaikan, konflik SARA terjadi karena ada ketimpangan sosial dan ekonomi yang tinggi antara penduduk asli dan pendatang atau antara kelompok mayoritas dan minoritas. “Faktor pemicunya kadang kala hanya masalah sederhana, seperti perkelahian antardua etnis yang berbeda atau adanya pernyataan yang berbau SARA,” lanjutnya.

Selain itu, persoalan di era kebebasan berdemokrasi memang tidak mudah mencari calon kepala daerah yang memenuhi aspirasi rakyat yang tinggi. Salah satunya karena mahalnya biaya pilkada. Keadaan ini acapkali menimbulkan rumor tentang mahar politik, sesuatu yang sering dirasakan, tetapi sulit dibicarakan. “Pilkada DKI akhirnya seperti menjadi permainan politik para investor yang berkelangsungan dengan kepentingan bisnisnya,” tukasnya.

Menurutnya, beberapa hal yang perlu diperbaiki adalah memperbaiki sistem rekrutmen politik, termasuk kaderisasi dan rekrutmen elitnya serta memperbaiki sistem komunikasi dengan kader dan masyarakatnya.

“Pilkada bukan hanya penanda pergantian kepemimpinan, tapi juga merupakan proses deepening democracy untuk meningkatkan kualitas demokrasi yang sehat dan bermartabat,” sambungnya.

Terakhir, ia berharap trust building sebagai bagian dari konsolidasi demokrasi idealnya bisa mewujud dalam pilkada yang berlangsung secara transparan dan akuntabel. “Dalam proses konsolidasi tersebut, parpol sebagai pelaku utama pilkada idealnya melaksanakan fungsinya sebagai penyedia kader calon pemimpin yang berkualitas,” pungkasnya. I

Reporter : Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *