SEDUHAN KOPI TERAKHIR: Edisi  Covid-19

by

Mendung sore itu semakin gelap menyelimuti langit biru, seorang lelaki tengah baya dengan peluh  di keningnya sesekali memegangi sabit, teman setia saat membersihkan rumput di kebunnya. Sebuah kebun kecil yang ia dedikasikan untuk membangun kembali kejayaan sejarah nama Kebon Kopi di kampung tersebut. 

Wartapilihan.com, Bogor— Dulu kampung ini dikenal dengan nama Kampung Kebon Kopi, hampir semua kebun ditanami dengan pohon kopi. Itu terjadi lebih dari 50 tahun yang lalu.  Ini mengingatkannya pada perjalanan kopi ke Indonsia.  Saat itu Belanda membawa bibit kopi dari Afrika dan Arab untuk dicoba dibudidayakan di Indonesia, karena kita dikenal memiliki iklim tropis yang cocok untuk pengembangan tanaman kopi. Sejak tahun 1696 Belanda membawanya  ke Indonesia dan pertama kali dicoba penanamannya dan tumbuh baik di deaerah Batavia yang sekarang dikenal Jakarta. Namun sayang kiriman bibit kopi terbaik pertama itu ahirnya musnah tersapu banjir yang melanda kota Batavia sebelum masa panen tiba. Nama itu sekarang tetap dikenang yakni daerah Pondok Kopi walau tanamannya sudah musnah. Kiriman bibit kopi sesudahnya berhasil tumbuh dan berkembang pesat

Perkembangan pesat terjadi setelah kopi disebar ke Pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi.  Sekitar  tahun 1711 biji biji kopi Indonesia mulai di kirim ke Eropa.

Sesekali tangannya menyapu perlahan belahan mata sabit yang semakin meruncing. Untuk meyakinkan ketajaman perkakasnya, jemari tangannya terus menyentuh dan menelusuri gurat ujung mata sabit.

Penanaman kopi pada tahap awal di Jawa Barat khususnya kepada para petani di Bogor, Sukabumi, Banten dan Priangan Timur dilakukan dengan cara tanam paksa.    Cara ini sebenarnya cukup menyakitkan, dimana jerih payah keringat para petani tidak pernah sempat dirasakan nya. Hasil kopi ini sebagian besar dikuasai oleh lembaga monopoli dagang Belanda saat itu, VOC (Vereenigde Oostindische Compagne)  yang telah berdiri sejak 20 Maret 1602. Kondisi ini pernah diabadikan oleh seorang penulis yang juga anak dari seorang petani di Jawa Tengah menyuarakan “.. Ingatlah, dalam secangkir kopi ada tetesan keringat darah petani..” dan kita harus menghargai pengorbanan mereka sepadan bahkan lebih tinggi dari sekedar kenikmatan dari seduhan secangkir kopi panas.

Tangan kanannya terus menggenggam gagang sabit dengan erat, seolah tidak ingin melepaskannya lagi.  Sabit kesayangan itu, ia beli 15 tahun yang lalu dari kampung halamannya di kaki gunung Ciremai, Jawa Barat.  Tepatnya 1 km dari desa Cibeureum ke sebelah timur. Sebuah tempat yang memiliki cerita tersendiri. Sesekali matanya melirik pada secangkir kopi yang tersedia, dengan perlahan tangannya mulai  merengkuh gelas itu,  menyeruput perlahan  dan membiarkan kopi itu dalam mulutnya seraya menikmati cita rasa pahit – fruity dengan aroma khas kopi  Ciremai, hmm masih tetap terasa   long after taste.

Gunung ciremai memiliki ketinggian puncak sekitar 3000 meter dpl. Ciremai sebagai sebuah wilayah dengan ketinggian budidaya sekitar 600-1500 m dpl merupakan lokasi yang cocok  untuk tumbuh dan berkembangnya kopi robusta maupun arabika. Berbicara yang ada di ciremai tidak lepas dari salah satu sosok tokoh penting pegiat kopi yang sudah berpuluh puluh tahun menggantungkan kehidupannya dari kopi. Abah Soma—begitu orang memanggilnya–seorang pegiat di dunia kopi dari desa Cibeureum  tetap setia memproduksi kopi sejak kecil bersama orang tuanya. Kini keberadaan brand Kopi Ciremai juga tidak bisa lepas dari keberadaan tokoh ini. Umumnya masyarakat di sana memiliki kebiasaan panen kopi pelangi. Panen ini mencampurkan antara biji kopi yang hijau dan merah dalam satu kali proses panen.

Alasan petani cukup sederhana, mereka memerlukan hasil segera dan perbedaan harga panen pelangi dan panen cherry merah tidak lah berpaut banyak. kondisi ini umumnya terus dijalani pada sebagian besar petani gurem yang banyak tersebar di Pulau Jawa pada khususnya dan Indonsia pada umumnya. Walau demikian, banyak para tokoh muda yang mulai sadar dan berkiprah membangun komoditas kopi dengan kualitas premium seiring perkembangan dunia kopi yang semakin pesat ahir akhir ini. Mereka mengupayakan panen kopi terbaik saat kopi cherry berwana merah total.  Sebagian dari para petani menyebutnya dengan panen “METAL” (merah total).

Tak terasa kopi di cangkir itu mulai surut seirama dengan nikmatnya seruputan  secangkir kopi di kebuh mungil itu.  Sang Pria Setengah Baya itu kembali menebas rumput ilalang yang mulai meninggi seraya bertutur pada tanaman kopi yang baru tumbuh beberapa minggu seakan menjadi teman bicara di kebunnya yang masih tetap hening. Pikirannya kembali melayang kepada nasib jutaan para petani kopi yang setiap harinya berjuang mempertaruhkan hidupnya bersama pohon pohon kopi sebagai sumber penghidupan setia.  Dibukanya kebijakan impor yang sempat membuat petani kita terpukul dan terus terhimpit dengan derasnya tekanan persaingan dari transaksi ekonomi yang semakin  memihak pada kapitalis.

Ini mungkin yang sering saya dengar,  disebut sebut sebagai keadilan proporsional dalam perdagangan bebas? kesalahan tetap dibebankan pada petani. Mereka tidak efisien, kualitas masih rendah, kontinuitas tidak menjamin dan sejuta alasan itu harus diterima dengan pahit dalam kehidupanya. Sementara mereka tidak pernah sedikitpun berharap lebih dari sekedar kebutuhan hidupnya bisa terpenuhi tanpa ada seorangpun terusik dengan aktivitasnya.  Dalam hal ini negara perlu hadir di depan mereka, kebijakan proteksi bagi petani  masih diperlukan untuk menyambut era perdagangan itu secara lebih masif tidak semata bantuan incidental yang sifatnya kasus per kasus.

Kembali pria setengah baya itu melirik secangkir kopi, tegukan terakhirnya sekaligus menghentikan “seduhan kopi terakhir” dan bayangan serta impiannya. Namun asa itu tetap berjalan seiring dengan tumbuh dan berkembangnya pohon-pohon kopi generasi ke dua di wilayah Kampung Kebon Kopi.

Bogor, 20 Mei 2020.

Andi R. Kurniadi

Pegiat Pemberdayaan Masyarakat

Founder Rumah Kopi Sanggabuana

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *