Sawit Hancurkan Hutan Indonesia?

by
Foto: Greenpeace Indonesia.

Greenpeace Indonesia melakukan investigasi selama dua tahun untuk membongkar sejumlah perusahaan pemasok minyak sawit telah menghancurkan area hutan hampir dua kali ukuran Singapura dalam waktu kurang dari tiga tahun. Pasokan sawit mereka masih digunakan untuk merek-merek terbesar dunia seperti Unilever, Nestlé, Colgate-Palmolive, dan Mondelez.

Wartapilihan.com, Jakarta — Para peneliti Greenpeace menyelidiki 25 produsen minyak sawit yang paling terkenal di Asia Tenggara. Kiki Taufik selaku aktivis Greenpeace mengatakan, sebanyak 25 produsen besar kotor ini telah menghancurkan lebih dari 130.000 hektar hutan hujan sejak 2015 – sebuah wilayah yang mencapai hampir dua kali ukuran Singapura.

“Persoalannya bahkan lebih dari sekadar perusakan hutan. Kami juga mendokumentasikan eksploitasi pekerja, konflik dengan masyarakat, penebangan hutan ilegal, pembangunan tanpa izin, pengembangan perkebunan di daerah-daerah yang dikategorikan untuk perlindungan, dan kebakaran hutan terkait dengan pembukaan lahan,” kata Kiki, berdasarkan laman greenpeace.org.

Ia mengungkapkan, 12 merek – termasuk pembuat Kit-Kat, pasta gigi Colgate, Johnson’s Baby Lotion, Dove, Doritos, Kellogg’s Pop Tarts, cracker Ritz, M & M, dan Head & Shoulders memiliki setidaknya 20 dari daftar pemasok kotor ini dalam rantai pasokan mereka.

“Jadi mulai hari ini, kami akan memanggil merek-merek terbesar dan menuntut agar mereka mengikuti program tersebut. Artinya, hanya membeli minyak sawit dari produsen yang dapat membuktikan bahwa mereka tidak merusak hutan hujan – dan menjauhi Wilmar, pedagang nakal yang menjual minyak sawit kotor ini kepada mereka,” Kiki memaparkan solusi yang hendak dilakukan.

Di sisi lain, para aktivis Greenpeace kecewa terhadap Presiden Joko Widodo telah menandatangani kebijakan Moratorium Perizinan Kelapa Sawit dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2018, pada Kamis, 20 September.

Kebijakan ini membekukan sebagian konsesi kelapa sawit baru selama tiga tahun ke depan. Moratorium hanya berlaku untuk lahan di kawasan hutan yang dikendalikan Kementerian Kehutanan dan tidak mencakup lahan yang dikendalikan oleh pemerintah daerah atau hutan di dalam konsesi kelapa sawit – yang membuat jutaan hektar hutan dan lahan gambut tersebut tidak terlindungi.

Arie Rompas, Team Leader Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, kebijakan ini kurang bertaring karena pembekuan bersifat sementara dan menyisakan jutaan hektar yang tidak terlindungi; belum lagi sanksi yang tidak diberikan terhadap para pelanggar,” jelas Arie.

Moratorium selama tiga tahun yang mencegah alokasi konsesi kelapa sawit baru di kawasan hutan, di lahan yang dikendalikan pemerintah pusat, masih memiliki sejumlah kelemahan, yaitu moratorium ini, menurut Arie, tidak mencegah alokasi konsesi baru pada jutaan hektar hutan alam di wilayah alokasi pengunaan lain (APL) yang dikendalikan oleh pemerintah daerah.

“Tidak mencegah praktek penggundulan hutan dan pengembangan lahan gambut di dalam konsesi kelapa sawit yang dilakukan perusahaan, juga moratorium dalam bentuk Instruksi Presiden cenderung tidak mengikat secara hukum pada lembaga pemerintah atau pejabat setempat,” tegasnya.

Moratorium kelapa sawit baru ini, ia menjelaskan, juga bertentangan dengan sejumlah kebijakan lainnya di mana pemerintah tetap menjalankan apa yang disebut ‘deforestasi terencana’, yang tertuang dalam Laporan Status Kehutanan Indonesia 2018 – dimana laporan ini “diinginkan untuk keuntungan finansial.”

“Melalui program reforma agraria (TORA) dan landswap pemerintah terus mengalokasikan lahan-lahan baru, yang sebagian besar masih berupa hutan, untuk pengembangan perkebunan dan pertanian. Ini termasuk setengah juta hektar hutan yang dialokasikan untuk konversi ke pertanian di perbatasan provinsi Papua,” tukas dia.

Seperti diketahui, adanya industri kelapa sawit dapat berdampak terhadap lingkungan, manusia dan iklim, dimana setengah dari populasi orangutan Kalimantan telah musnah hanya dalam waktu 16 tahun, dan dengan perusakan habitat oleh industri kelapa sawit sebagai pendorong utama.
Belum lagi, lebih dari tiga perempat luas Taman Nasional Tesso Nilo, rumah bagi harimau, orang utan, dan gajah, telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit ilegal. Dalam skala global, 193 spesies yang Kritis, Terancam, dan Rentan juga terancam oleh produksi minyak sawit.

Tak hanya itu, di sektor perkebunan, kelapa sawit dan bubur kertas adalah penggerak penggundulan hutan terbesar di Indonesia. Sekitar 24 juta hektar hutan dihancurkan di Indonesia antara 1990 dan 2015, menurut angka resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia.

“Deforestasi dan perusakan lahan gambut adalah sumber utama emisi gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Hal ini telah mendorong Indonesia ke tingkat teratas penghasil emisi global, bersama Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok,”

Selain itu, pembangunan perkebunan adalah akar penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia. Pada Juli 2015, api dahsyat menyebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kebakaran ini menghasilkan kabut asap yang menerpa jutaan orang di seluruh Asia Tenggara.

Para peneliti di Universitas Harvard dan Columbia memperkirakan bahwa asap dari kebakaran tahun 2015 mungkin telah menyebabkan 100.000 kematian prematur. Bank Dunia menghitung biaya bencana sebesar AS$16 miliar.

 

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *