Indonesia perlu mengatasi kekurangan infrastruktur dengan menginvestasikan sebanyak 5 1,2 triliun pada tahun 2030 sebagai cara untuk mempertahankan pertumbuhan, memberantas kemiskinan dan menanggapi perubahan iklim, demikian disebutkan dalam laporan oleh Asian Development Bank(ADB).
Wartapilihan.com, Jakarta –Situasi internasional ditandai dengan peningkatan utang global, baik utang Negara maupun utang perusahaan. Peningkatan terbesar terjadi dalam sector property dan infrastruktur sebagal konsekuensi atas krisis over produksi dalam oil, gas, ekstraktif, dan industry manufaktur. Pergeseran arah pembangunan global pada lnfrastruktur dan property menciptakan gelembung ekonomi yang tidak terkendali.
“Agenda pembangunan nasional saat ini termasuk di dalamnya rancangan APBN, defisit APBN, rencana utang pemerintah dan utang BUMN, rencana pembangunan infrstruktur, serta rencana penjualan sebagian atau keseluruhan BUMN, sama sekali bukan merupakan rencana pemerintahan Jokowi, tapi rencana rezim keuangan global dalam rangka menjarah kekayaan ekonomi nasional,” kata peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng dalam FGD (focus group discussion) di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (22/11).
Sementara, sambung dia, oligarki pemerintahan Jokowi menggunakan kesempatan tersebut dalam rangka memburu sumber keuangan dalam memperkaya pribadi, keluarga dan kelompoknya. Pembangunan mega proyek infrastruktur jelas akan disertai dengan mega korupsi yang besar. Namun hal ini dapat dipastikan tidak dapat diusut, karena terlindung dibalik dinding kuasa kegelapan.
“PDB itu kan estimasi, jadi PDB itu tidak mutlak benar. Sementara, hutang itu mutlak. Beberapa artikel nasional mengatakan hutang Indonesia sudah di atas PDB (3 persen). Dalam Undang-Undang Kewenangan Negara kan tidak boleh hutang melebihi tiga persen. Kalau melebihi, dapat dimakzulkan. Seharusnya bisa (Presiden dimakzulkan DPR). Harus membuktikan lebih dulu kalau PDB-nya (produk domestik bruto) adalah manipulasi,” terangnya kepada Wartapilihan.com.
Salamuddin Daeng menjelaskan, ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas primer menyebabkan nilai ekspor kian merosot. Pada tahun 2014 nilai ekspor Indonesia sebesar 173,759 miliar doIar, hanya tersisa sebesar 164,899.56 miliar doIar pada tahun 2017. Dalam konteks freeport, kata dia, pemerintah harus melakukan negosiasi bukan manipulasi dan berdikari.
“KK (kontrak karya) dirubah menjadi IUPK (izin usaha pertambangan khusus). Izin ekspor diberikan untuk lima tahun. Kontrak diperpanjang, divestasi 51 persen, jangka waktunya diperpanjang. Itulah aspek2 yang dilakukan secara jujur. Menteri melakukan manipulasi. Saya berani mempertanggungjawabkan kalimat saya, Menteri Ignasius Jonan melakukan manipulasi. Masalah susah dan tidak (nasionalisasi), harus ada ittikad baik dulu,” papar dia.
Menurutnya, realisasi penerimaan perpajakan yang rendah, menunjukkan perencanaan buruk, tidak realistis, sangat ambisius, dan kualitas fiscal yang sangat buruk. Kondisi ini, kata dia, menceminkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang kurang baik dan cenderung korup.
“Padahal pemerintah sejak tahun 2015 lalu telah memberlakukan program tax amnesty, namun proyek ini tidak membuahkan hasil apapun. Bahkan kuat indikasi, proyek ini dijadikan sebagai ajang korupsi, dan cuci uang hasil kejahatan ekonomi baik di dalam maupun luar negeri,” tandasnya.
Terlebih, simpul Salamuddin, utang pemerintah yang bersumber dari surat berharga Negara mengalami peningkatan cukup fantastis sejak pemerintahan Jokowi JK dimulai tahun 2014. Jika utang pemerintah dari luar negeri digabungkan dengan utang pemerintah dari dalam negeri, terangnya, maka saat ini nilainya mencapai Rp, 4.091 triliun Iebih. Selama tiga tahun pemerintahan Jokowi JK meningkat senilai +/Rp1-238 triliun. Penimbunan utang semacam ini adalah pencapaian tertinggi dibandingkan pemerintahan manapun yang pernah berkuasa di Republik Indonesia.
“Sementara setiap tahun saat ini rata rata pemerintah harus membayar bunga sebesar Rp. 253.5 triliun, Cicilan sebesar Rp. 65,5 Triliun (diambil dari data cicilan 7.017), Utang jatuh tempo sebesar Rp.390 Triliun. Jadi total kewajiban yang harus dibayar pemerintah adalah Rp. 709 triliun setiap tahun.
Sebagaimana diketahui, penguasaan asing atas obligasi obligasi Indonesia naik ke rekor hampir 41 persen bulan September lalu (Bloomberg). Kondisi Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim global.
Ahmad Zuhdi