Proses pembuatan Pulau C, D, dan G di bilangan Pantai bagian Utara Jakarta itu terus berlanjut hingga hari ini. Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman menegaskan pada Rabu (13/9/2017) lalu, reklamasi tak ada lagi alasan untuk dibatalkan oleh pasal perjanjian yang telah disepakati antara pengembang dan pihak pemerintah.
Wartapilihan.com, Jakarta –Bagaimana tentang Reklamasi dalam pandangan ibu Susi? Dengan suaranya yang terkesan berat, menteri Kelautan dan Perikanan ini menjawab dengan serta-merta, “Reklamasi sah saja untuk dilakukan. Asal, memenuhi tiga syarat,” ungkap Susi, dalam Kuliah Umum bertajuk ‘Illegal Fishing dan Respon Indonesia’, Gedung Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP Universitas Indonesia, Depok, Selasa, 12 September lalu.
Ia melanjutkan, “Yang pertama, tidak melanggar hukum. Kedua, tidak merusak lingkungan, dan ketiga, tidak merugikan stakeholder, seperti nelayan dan masyarakat sekitar. Seperti itu yang diamanatkan Pak Jokowi,” imbuhnya.
Entah Susi lupa, atau hilang ingatan. Pasalnya, secara independen ‘dulu’ ia menolak dengan tegas mengenai reklamasi. Dulu yang dimaksud pun, baru saja delapan bulan yang lalu, 26 Januari 2017. Kala itu, rapat kerja dengan DPR RI Komisi IV menghasilkan kesimpulan untuk menolak reklamasi.
Kini, ia memilih bersikap netral dan seolah reklamasi bukan sebuah masalah serius; Melainkan kepentingan ekonomi yang menguntungkan bagi pemerintah. Usut punya usut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat meraup sedikitnya Rp 77,8 triliun atau 15 persen dari proyek reklamasi. Dana tersebut direncanakan akan dialokasikan untuk membangun tanggul laut raksasa.
Sementara itu, Yusuf Wibisono sebagai pakar ekonomi menyatakan, reklamasi Teluk Jakarta menjadi paradoks dilihat dari banyak hal, seperti aspek lingkungan, sosial, ketahanan dan keamanan dan juga secara politis.
“Secara lingkungan, reklamasi menghambat aliran 13 sungai yang bermuara di teluk Jakarta, masalah banjir berpotensi semakin parah. Sedangkan secara sosial, kesenjangan dan segregasi antar kelompok pendapatan akan semakin kuat,” ungkap Yusuf, kepada Warta Pilihan, Kamis malam, (14/9/2017).
“Demikian juga secara hankam, masalah narkoba dan prostitusi misalnya, berpotensi semakin sulit diberantas. Dan secara politik, reklamasi bertabrakan dengan komitmen pembangunan kelautan dan pengembangan wilayah terluar dan tertinggal,”
Menurut dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini, alasan reklamasi terkesan sangat pragmatis, karena menekankan keuntungan ekonomi jangka pendek. “Hal ini tentu melibatkan kepentingan modal yang sangat besar sehingga mampu membuat semua pejabat bersepakat, termasuk yang dulunya menolak,” tandas Yusuf.
Pemerintah memang telah menyepakati Reklamasi ini dengan segala keuntungan yang akan diraupnya yang di sisi lain membayangi para nelayan yang diusir dari lautan tempatnya mencari sesuap nasi. Tetapi, secercah harapan barangkali masih ada. Pemerintah DKI Jakarta yang baru, Anies-Sandi pada Pilkada DKI Jakarta lalu memiliki janji untuk menghentikan reklamasi.
“Mudah-mudahan, ya, cuma bisa berharap, semoga,” pungkas Yusuf.
Eveline Ramadhini