Dalam peristiwa Tanjung Priuk itu Konfrontasi ABRI dengan umat Islam tidak dapat dielakan. 12 September 1984 menjadi saksi sejarah sikap otoritarianisme dan diktatorisme pemerintah pada saat itu.
Wartapilihan.com, Jakarta –Saksi sekaligus pelaku sejarah tragedi Tanjung Priok Dr. Ratono M.A mengatakan, awal riak-riak terjadinya peristiwa berdarah itu karena masyarakat mengkritik pemerintah tentang Pancasila yang dijadikan sebagai asas tunggal dan berlaku bagi semua organisasi kemasyarakatan ataupun organisasi politik.
“Kurang lebih 75 organisasi massa saat itu menolak asas tunggal. Termasuk Petisi 50 juga menolak dan mendukung Letjen Darsono (Pangdam Siliwangi) menggantikan Soeharto. Dibikinlah rekayasa Tanjung Priok oleh pemerintah,” ujar Ratono dalam dialog kebangsaan dan refleksi 33 tahun tragedi Tanjung Priok di STAI-PTDII, Jakarta Utara, Jumat (15/9).
Kala itu, lanjut Ratono, Abdullah bin Nuh dari Bogor, KH. Noer Ali dari Bekasi dan Osman Hamidy dari Tanjung Priok dipelopori oleh Abdul Qadir Djaelani dan dikoordinir oleh Amir Biki menolak asas tunggal Pancasila.
“Kami tidak tahu itu rekayasa. Kami benar-benar memperjuangkan menolak asas tunggal pada saat itu, tapi ada selentingan (desas-desus) para ulama dan aktivis akan dijebak dan ditangkapi,”
Kendati demikian, Ratono dari Angkatan Laut mundur dan bergabung dengan mahasiswa PTDI (perguruan tinggi dakwah Islam) karena ingin memperjuangkan Islam.
“Waktu sidang saya mengatakan, sebelumnya saya Angkatan Laut berjuang mempertahankan Pancasila, tetapi sekarang saya menjadi tentara Allah berjuang membela agama Islam. Allahu Akbar!,” tegasnya menceritakan kenangan dalam persidangan kasus Tanjung Priok tahun 1986.
Sebab itu, Rektor STAI-PTDII itu meminta umat Islam jangan mau di diskriminasi dan kriminalisasi oleh pemerintah, karena yang memperjuangkan Negara Republik Indonesia adalah ulama dan tokoh-tokoh Islam.
“Tapi Alhamdulillah, berkat reformasi 1998, asas Islam kembali diperbolehkan. Dulu kita menentang asas tunggal Pancasila karena bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika,” tandasnya.
“Kami ingatkan kepada pemerintah Jokowi, jangan sekali-kali mendzolimi umat Islam apalagi seperti rohingya yang sampai hari ini masih di bantai. Kita berdoa agar mereka (umat Islam Rohingya) menjadi Mujahid dan yang masih hidup semakin tegar,” tutup Ratono.
Senada dengannya, Syarifiin Maloko mengungkapkan, karakteristik pemerintah adalah membangun. Bukan justru sebaliknya, mengusir, mendzalimi dan mengkriminalisasi rakyatnya.
“Jangan lihat pemerintah dari tampilannya. Orang yang kita lihat santun, bersahaja dan sederhana ternyata keberpihakannya dan kebijakannya tidak kepada Islam,” ucap Syarifiin Maloko.
Padahal, sejak awal kemerdekaan, tambah Syarifiin Maloko, umat Islam sangat toleransi dan menghindari adanya pertumpahan darah sesama anak bangsa.
“Salah satunya adalah Mohammad Natsir dengan mengajukan mosi integralnya. Dimana 17 negara bagian yang terpisah melebur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” terang dia.
Selain itu, dia juga menyoroti berbagai kebijakan pemerintah yang akhir-akhir ini mencuat dan terlihat jelas untuk kepentingan rezim agar terpilih kembali di periode yang akan datang. Diantaranya Undang-Undang Presidential Threshold, Perppu Ormas, reklamasi, dan pembangunan infrastruktur yang tidak berpihak kepada rakyat.
Ahmad Zuhdi