Proses Sejarah dalam Islam

by

Worldview Islam merupakan faktor pendukung moralitas dan akhlak yang paling kuat.

Wartapilihan.com, Jakarta —Ajaran moralitas dan akhlak yang hanya berasal dari kondisi-kondisi sosial tertentu tidak memiliki stabilitas layaknya ajaran Islam, karena akhlaknya akan hancur dalam keadaan tertekan, dan terbentuk karena kesesuaiannya dengan ukuran nilai-nilai sosial yang berlaku.

Di samping itu, sifat selektif proses sejarah, seperti penuturan Siddiqi memiliki kemampuan memilih dan menyeleksi orang-orang yang tidak dapat bekerja secara efektif sesuai standar kebudayaan dan peradaban. Sejarah memiliki sifat dan kemampuan untuk menentukan siapa yang pantas memimpin peradaban dan kebudayaan. “Hal-hal yang tidak benar akan bersifat sementara, tetapi kebenaran akan terus berlangsung dan mempengaruhi jalannya sejarah,” jelas Siddiqi.

Pernah sejarawan Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah untuk pertama kalinya merumuskan proses perjalanan sejarah umat manusia dari tiap-tiap bangsa dan peradabannya dari sudut pandang sejarah Islam. Dalam kitab _Mukaddimah_nya tersebut, Ibnu Khaldun nampak terinspirasikan potongan ayat Al-Qur’an, Ali Imran ayat 140:
وَتِلْكَالْأَيَّام ُنُدَاوِلُهَابَيْنَالنَّاسِ
“dan masa kejayaan itu kami pergilirkan kepada tiap-tiap umat manusia.”

Pemahaman akan makna ayat ini nampak terjelaskan di teori siklus Ibnu Khaldun, di mana ia seolah menjelaskan potongan ayat ini “Setiap peradaban itu bangkit dan musnah, kebangkitan peradaban selalu diawali dengan fanatisme dan semangat menuntut ilmu. Setiap peradaban akan sampai pada puncak kejayaannya. Dan yang menjatuhkan suatu peradaban adalah degradasi moral dan hilangnya semangat keilmuan. Sekalipun peradaban itu memiliki kekayaan berlimpah dan tentara yang kuat, ia akan jatuh juga.”

Makna pernyataan ini ialah semakna dengan Ali Imran ayat 140, tiap-tiap umat dan bangsa ditakdirkan oleh Allah SWT memiliki masa kejayaan yang dipergilirkan sesuai usahanya masing-masing. Apa yang menjadi justifikasi bagi kesejarahan ini bukan hanya karena buah pikiran sejarawan Ibnu Khaldun, namun juga karena perihal ini bersumberkan dari Al-Qur’an, firman Allah SWT Yang Maha benar dan Maha pengatur. Al-Qur’an memang tidak menjelaskan proses sejarah berbentuk siklus ( circle,lingkaran) sebagaimana yang ditafsirkan Ibnu Khaldun, namun pemaknaan terhadap ayat lantaran sejarah umat manusia selalu ada pergiliran kejayaan tiap-tiap umat, bangsa dan peradaban, bisa disederhanakan bahwa ‘hukum’ sejarah peradaban umat manusia adalah layaknya sebuah konsep lingkaran. Dengan demikian perjalanan sejarah umat manusia akan selalu ada pergiliran kejayaan dan keruntuhannya. Bergantian hingga akhir masa.

Metode serta sebab-sebab kebangkitan dan runtuhnya suatu umat (peradaban) dengan umat (peradaban) lain berbeda-beda. Kebangkitan suatu masyarakat dalam Al-Qur’an sangat terkait dengan keinginan dan sikap dari mereka sendiri, Allah SWT sendiri berfirman:

“Allah tidak akan mengubah suatu kaum hingga mereka merubah diri mereka sendiri”(QS Ar-Ra’d: 11)

“Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkanNya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS Al-Anfaal: 53)

Dalam kaitannya dengan perubahan umat manusia, sebagai bagian utama dalam ranah sejarah, tiap-tiap umat yang akan berjaya diharuskan merubah diri mereka sendiri dan merubah diri mereka secara berjama’ah. Secara kolektif.

Begitu pula orang-orang beriman, yakni umat Islam. Memiliki syarat-syarat khusus sebagaimana yang tercantum dalam surat An-Nur ayat 55: umat Muhammad SAW harus berubah ke arah peningkatan keimanan, ketaqwaan dan senantiasa mengerjakan amal shalih yang diperintahkan tanpa terkecuali. Apabila mereka hendak dimenangkan oleh Allah dalam pentas peradaban. Jika memakai pemahaman kebalikan terhadap makna ayat, konsekuensinya, jika umat secara kolektif tidak meningkatkan keimanan, tidak bertaqwa serta tidak mengerjakan amal shalih, akan terjadi bencana kehinaan yang akan menimpa. Umat akan dikuasai oleh orang-orang yang tidak beriman. Itu mengapa baik aspek ruhiah yang berupa keimanan maupun aspek lahiriah seperti pengerjaan amal shalih harus senantiasa ditingkatkan, diubah secara progresif hari demi hari. Semuanya itu harus dilakukan agar umat Islam tidak lagi hanya menjadi penonton di pentas peradaban seperti yang kita rasakan saat ini. Wallahu’alam

Ilham Martasyabana, pegiat sejarah Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *